Evaluasi Penggunaan Tepung Bulu Ayam Terhadap Penampilan Produksi dan Jumlah Pin Feather Pada Karkas Itik

Damayanti, Andi Pertiwi and Prof. Dr. Ir. Muh. Nur Ihsan,, MS. and Dr. Ir. Eko Widodo,, M.Agr.Sc.,M.Sc and Prof. Ir. Burhanudin S,, M.Sc.Ag, Ph.D (2018) Evaluasi Penggunaan Tepung Bulu Ayam Terhadap Penampilan Produksi dan Jumlah Pin Feather Pada Karkas Itik. Doktor thesis, Universitas Brawijaya.

Abstract

Penampilan karkas itik lokal Indonesia yang dimanfaatkan sebagai Itik pedaging cenderung menghasilkan itik dengan penampilan karkas yang terkesan kotor. Penampilan tersebut disebabkan oleh banyaknya bulu hitam yang tertinggal dalam karkas setelah prosessing. Karkas yang terlihat kotor ini berpengaruh pada kesukaan konsumen. Penelitian sebelumnya bertujuan untuk menghasilkan itik dengan produksi daging yang tinggi dan penampilan karkas yang bersih telah dilakukan dengan elaborasi beragam aspek, utamanya nutrisi dan genetika. Hasil penelitian menunjukkan performa, efisiensi penggunaan pakan dan kualitas daging yang lebih baik, namun beberapa bulu-bulu jarum (pinfeather) tertinggal dan ditemukan pada karkas. Unggas domestik memiliki siklus alami pertumbuhan bulu yaitu peluruhan atau penanggalan bulu tua (shedding) dan moulting (memperbaharui bulu). Siklus alami ini membantu untuk menentukan kebutuhan nutrisi untuk pertumbuhan bulu dan dapat dijadikan acuan untuk menemukan umur potong yang sesuai bagi itik. Kematangan bulu juga memudahkan pencabutan bulu saat pemprosesan itik menjadi karkas. Hal ini dapat meningkatkan kualitas karkas dan preferensi konsumen karena penampilan karkas yang bersih dari pin feather. Asam amino bersulfur merupakan salah satu penyusun protein bulu, sehingga limbah bulu yang terbuang sebagai hasil samping industri pemotongan unggas berpotensi dimanfaatkan. Praperlakuan dari bulu harus dilakukan untuk mengatasi masalah rendahnya kecernaan protein. Metode hidrolisis enzimatik biasanya digunakan. Allzyme FD dipilih dalam penelitian ini untuk meningkatkan daya cerna tepung bulu. Penelitian ini dilakukan bertujuan untuk mengevaluasi penggunaan tepung bulu ayam terhadap penampilan produksi dan jumlah pin feather pada karkas itik. Tujuan tersebut dicapai dengan melakukan 4 tahap penelitian, yaitu: penelitian tahap 1 dilakukan untuk mengevaluasi kandungan nutrien Tepung Bulu yang dihidrolisis secara enzimatik. Dua bentuk fisik limbah bulu ayam yang berbeda (Pre-grinding dan Post-grinding) digunakan, dan 2 level enzim (0,01% dan 0,02% Allzyme FD/kg tepung bulu). Hasil penelitian tahap 1 menunjukkan bahwa analisis proksimat berturut-turut Pre-G1, Pre-G2, Post-G1 dan Post-G2 untuk protein kasar (%) adalah 89,89; 87,98; 91,03; 90,11, Gross Energi (Kkal/kg) berturut-turut : 5115,8; 4726,5; 4870,4; 4527,8. Sedangkan daya cerna tepung bulu menggunakan pepsin (%) berturut-turut adalah 78,61; 84,4; 76,33 dan 80,76. Untuk analisis kandungan asam amino dapat dilaporkan bahwa hasil kandungan asam amino dalam kisaran yang normal, kecuali kandungan sistin (%) berturut-turut 0,51; 0,53, tidak terdeteksi dan 2,23. Akan tetapi, metode analisis asam amino yang digunakan tidak dapat menganalisis tryptophan dan sistein. Pada tahap II evaluasi dilakukan untuk menguji pengaruh level penggunaan Allzyme FD dan bentuk fisik tepung bulu terhadap kecernaan protein dan nilai Energi Metabolis Semu (EMS), nilai Energi Metabolis Terkoreksi Nitrogen (EMSn). Perlakuan terdiri dari: P0 = 100% pakan basal ; Pre-G1 = 95% P0+ 5% Pre-grinding tepung bulu yang diberi 0,01% Allzyme FD; Pre-G2 = 95% P0 + 5% Pre-grinding tepung bulu yang diberi 0,02% Allzyme FD; Post-G1 = 95% P0 + 5% Post-grinding tepung bulu yang diberi 0,01% Allzyme FD; Post-G2 = 95% P0 + 5% Post-grinding tepung bulu yang diberi 0,02% Allzyme FD. Evaluasi kecernaan dan penentuan nilai energi metabolis EMS dan EMSn dengan Metode terpstra dan Jansen (1976), menggunakan rancangan Acak Lengkap Lengkap 5 x 4 x 1 dan total 20 ekor itik digunakan. Hasil penelitian menunjukkan kecernaan protein pakan P0 (basal), Pre-G1, Pre-G2, Post-G1 dan Post-G2 berturut-turut 83.66a ; 82,83c ; 83,13bc; 83,09bc ; 83.33ab (%). Kecernaan methionin untuk Pre-G1, Pre-G2, Post-G1 dan Post-G2 berturut turut adalah 83,82bc; 90.20a; 89.74a ; 87ab; 81.19c (%). Kecernaan treonin tertinggi terdapat pada perlakuan Pre-G1, Pre-G2, Post-G1 dan Post-G2 masing-masing 84,81ᵃ ; 84,57ᵃ ; 82,22ᵃ dan 79,98ᶜ(%). Perlakuan tidak dapat meningkatkan Nilai EMSn, tetapi berpengaruh signifikan terhadap nilai EMS. Nilai EMSn basal (P0), Pre-G1, Pre-G2, Post-G1 dan Post-G2 berturut-turut (kkal/kg): 3248,6; 3270,5; 3270,4; 3271,1 dan 3271,2. Nilai EMS untuk pakan basal (P0), Pre-G1, Pre-G2, Post-G1 dan Post-G2 (kkal/kg) masing-masing: 3257,5b ; 3280,9a ; 3281,1a ; 3281,4a dan 3281.1a. Berdasarkan pertimbangan kandungan protein kasar dan tingkat kesulitan dalam proses pembuatan tepung bulu, maka Post-grinding dipilih untuk digunakan dalam penelitian 3 dengan tujuan untuk uji pertumbuhan dan penelitian 4 bertujuan pengukuran jumlah Protruding Pin-Feather (PPF) dan Non-Protruding Pin-Feather (NPPF) yang tertinggal pada karkas itik. Penelitian dilakukan selama 10 minggu, Rancangan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) yang terdiri dari 3 perlakuan, yaitu P0: pakan basal, Post-G1 dan Post-G2 dan setiap perlakuan memiliki 6 ulangan. Setiap ulangan masing-masing berisi 6 ekor itik. Variabel yang diukur pada penelitian 3 adalah adalah konsumsi pakan, bobot badan, pertambahan bobot badan (PBB), konversi pakan, dan persentase karkas, sedangkan penelitian 4 mengukur bobot bulu, persentase bulu, jumlah PPF dan NPPF yang tertinggal pada karkas itik umur 7,8,9, dan 10 minggu. Data yang diperoleh ditabulasi menggunakan program excel, diolah berdasarkan analisis varian (ANOVA) menggunakan program DSAASTAT. Uji Jarak Berganda Duncan’s dilakukan apabila ada perbedaan antar perlakuan. Hasil analisis variansi perlakuan menunjukkan perlakuan pakan menunjukkan adanya perbedaan yang sangat nyata (P < 0.01) terhadap konsumsi pakan, PBB, bobot badan akhir, konversi pakan, bobot karkas dan persentase karkas. Hasil uji DMRT menunjukkan bahwa pakan yang Post-G2 lebih tinggi (1428.5a) dibanding itik yang mengkonsumsi pakan Post-G1 (1398.61b) dan itik yang mengkonsumsi pakan basal Post-G1 (1195.33c). Bobot badan tertinggi terlihat pada itik yang mengkonsumsi pakan Post-G2 (1483.2a) diikuti dengan pakan Post-G1(1454.0b) dan pakan P0 (1249.8c). Uji Duncan untuk konversi pakan menujukkan perlakuan terbaik 4.6 diperoleh pada perlakuan Post-G2 diikuti oleh perlakuan pakan Post-G1 (4,8). Dalam hal bobot karkas, hasilnya juga berpengaruh sangat nyata (P<0,01) meningkatkan bobot karkas Post-G2 (861a) dan Post-G1 (841a) dibandingkan yang terendah Basal (711b). Uji Duncan terhadap persentase karkas itik menunjukkan tren yang sama dengan bobot karkas. Persentase karkas itik (%) yang mengkonsumsi pakan basal P0, Post-G1 dan Post-G2 berturut-turut : 56.9a ; 57,9b dan 58.0b. Hasil ANOVA penelitian 4 untuk PPF dan NPPF menunjukkan bahwa perlakuan Post-G1 dan Post-G2 menunjukkan perbedaan sangat nyata (P<0.01) terhadap bobot bulu, persentase bulu, PPF dan NPPF yang tertinggal pada karkas itik umur 7, 8, 9 dan 10 minggu, kecuali persentase bulu umur 8 dan 9 minggu. Uji Duncan terhadap perlakuan menunjukkan bobot bulu dan persentase bulu minggu 7 dan 10 lebih tinggi dibandingkan control (P0). Jumlah PPF dan NPPF yang tertinggal pada karkas untuk setiap umur pemotongan (7 – 10 minggu) mencerminkan kecepatan berkurangnya jumlah kedua jenis bulu tersebut. Kesimpulan dari penelitian ini adalah prosessing dan penambahan enzim secara deskriptif meningkatkan kecernaan in vitro tetapi menurunkan energi bruto (GE). Pakan Post-G1 dan Post-G2 menurunkan konsumsi pakan, tetapi kecernaan protein meningkat. AME pakan tersebut juga meningkat dibandingkan basal, tetapi tidak untuk AMEn. Pakan Post-G2 menghasilkan penampilan produksi yang paling baik, juga terhadap berat dan persentase bulu. Jumlah PPF dan NPPF menurun atau lebih rendah dibandingkan pakan basal, menunjukkan peningkatan penampilan karkas itik yang dipotong mulai umur 7 hingga 10 minggu.

English Abstract

Appearance of Indonesian local duck carcass which is used as broiler ducks tends to produce duck with dirty carcass appearance. This appearance is caused by many black feather left on the carcass after processing. The dirty carcass influences degree of preference of consumer. Research previously icaimed to produce a duck with high yield of meat and carcass with clean appearance has been done elaborated different aspects mainly nutrition and genetics studies. The result of research showed that performance, efficiency of feed utilization and meat quality improved, however some pin feathers remained and found on the carcass. Domestic fowl has a natural feather growth cycle, namely shedding and moulting (renew) of feathers. This natural cycle can be used to determine nutrient requirement for feater growh and to be a reference to determine slaughter age of duck. To support the natural cycles of feather growth and stimulate feathers maturity needed nutrients to feather growth. Feathers maturation could also help to ease feather plucking during processing of carcass. This can improve carcass quality and consumer preferences because appearance carcass clean from pin feather. Sulfuric amino acids are of building blocks of protein in feathers, therefore unutilized feathers as a byproduct of poultry slaughter industry could be potentially used. Pre-treatment of feather has to be done to cope with problem of low protein digestibility. Enzymatic hydrolysis method is commonly used. Allzyme FD was selected in this study to improve digestibility of feathers meal. This research was conducted aimed to evaluate evaluate the use of feather meal on performance production and number of pin feather on carcass of duck. The objectives were achieved by conducting four stages of research, the first study was conducted to evaluate nutrient contents of enzymatically hydrolyzed feather meal. Two kinds of feather meals were used, pre and post grinding, then two levels of an enzyme (0.01 and 0.02% Allzyme FD /kg feather meal). The results showed that proximate analysis indicated that crude protein (%) of the respective Pre-G1, Pre-G2, Post-G1 and Post-G2 were 89.89; 87.98; 91.03; 90.11, Gross Energy (kcal/kg), respectively: 5115.8; 4726.5; 4870.4; 4527.8. While the respective digestibility (%) of feather meal using pepsin were 78.61; 84.4; 76.33 and 80.76. For amino acid analysis, it could be reported that the concentrations of amino acids were in normal range, except the respective cysteine content (%) which were 0.51; 0.53, undetectable and 2.23 seemed varied among the treatments. Therefore, this amino acid analysis method could not analyze tryptophan and cysteine.In the second study, evaluation was conducted to examine effect of the level of allzyme FD and physical forms of feather meal on protein digestibility and energy value Metabolic (AME), energy value Metabolic Nitrogen Corrected (AMEn). The treatments consisted of P0 = 100% Basal ration; Pre-G1 = 95% P0+ 5% Pre-grinding of feather meal treated with 0.01% Allzyme FD; Pre-G2 = 95% P0 + 5% Pre-grinding of feather meal treated with 0.02% Allzyme FD; Post-G1= 95%P0 + 5% Post-grinding of feather meal treated with 0.01% Allzyme FD; Post-G2 = 95% P0 + 5% Post-grinding of feather meal treated with 0.02% Allzyme FD. Evaluation of digestibility and Apparent Metabolizable Energy (AME) and AME corrected for Nitrogen (AMEn) by using method of Terpstra and Jansen (1976) employing a Completely Randomized Design (CRD) 5 x 4 x 1 and total of 20 ducks were used. The results showed that the values of protein digestibility (%) were 83.66a ; 82,83c ; 83,13bc; 83,09bc ; 83.33ab for Pre-G1, Pre-G2, Post-G1 and Post-G2, respectively. Digestibility values of methionine (%) were 83.82 ± 3.5bc (Basal); 90.20 ± 1.14a; (Pre-G1); 89.74 ± 3.5a (Pre-G2); 87 ± 2.85ab (Post-G1); 81.19 ± 2.04c (Post-G2). Threonine digestibility values (%) from the highest values were 84,81ᵃ; 84,57ᵃ; 82,22ᵃ and 79,98ᶜ for Pre-G1 treatment, Pre-G2, Post-G1, and Post-G2, respectively. Treatments did not affect AMEn, but significantly affected AME. AMEn values for Basal feed, Pre-G1, Pre-G2, Post-G1 and Post-G2 were 3248.6 kcal/kg; 3270.5 kcal/kg, 3270.4 kcal/kg; 3271.1 kcal/kg and 3271.2 kcal/kg, respectively. While the respective AME values were for basal feed, Pre-G1, Pre-G2, Post-G1 and Post-G2 (Kcal/kg) 3257,5b ; 3280,9a; 3281,1a ; and 3281,4a, 3281.1a. By considering crude protein content and difficulty of processing feather meal, the Post-grinding was chosen to be used in experiment 3 with the objective to test growth performance, while experiment 4 was intended to measure the number of Protruding Pin-Feather (PPF) and Non Protruding Pin-Feather (NPPF) remained on carcass of ducks. The research was conducted for 10 weeks, design used was Completely Randomized Design (CRD), consisted of 3 treatments, namely P0: basal feed, Post-G1 and post-G2, and each treatment was repeated 6 times. Each replication contained 6 ducks. Variables measured in experiment 3 were feed intake, body weight gain (BWG), feed conversion and carcass percentage, while in the experiment 4 measured feather weight, feather percentage, the number of PPF and NPPF on carcass of ducks remained after age of 7,8,9, and 10 weeks. The data obtained were tabulated by using excel program, processed based on variance analysis (ANOVA) by using DSAASTAT program. Duncan's Multiple Range Test was performed when difference between treatments observed. Results of variance analysis showed the treatments showed a highly significant difference (P <0.01) on the feed intake, body weight gain, final body weight, feed conversion, carcass weight and carcass percentage. Further trials using DMRT (Duncan Multiple Ration Test) showed that Post-G2 feed showed higher body weight gain (1428.5a) than both ducks fed Post-G1 (1398.61b) and ducks fed basal feed (Basal: 1195.33c). The highest body weight seen in ducks consumed Post-G2 (1483.2a) followed by Post-G1 (1454.0b) and basal feed (Basal): 1249.8c. Duncan's multiple range 56.9a ; 57,9b and 58.0b. The results of Duncan's multiple range test in experiment 4 for PPF and NPPF showed a significant (P<0.01) results on weight of feather, feathers percentage, PPF and NPPF left on the carcass ducks aged 7, 8, 9 and 10 weeks, except for percentage of feathers age of 8 and 9 weeks. Duncan's multiple range test showed that treatment produced more feather and feather percentage is higher than the control. Number of PPF and NPPF left on the carcass at each slaughter age (7-10 weeks) reflected the speed reduced number of both feathers. The conclusion are processing and supplementation of enzyme descriptively improves in vitro digestibility of protein, but it might decrease gross energy content. Post-G1 and Post-G2 feeds decreased feed consumption but protein digestibility increased. The AME also increased as compared with basal feed, but not for AMEn. Post-G2 feed shows the best production performances, of weight and percentage of feather too. The number of PPF and NPPF decreases or lower as compared with basal feed, indicated an increase in appearance of duck carcass when slaughtered from 7 to 10 weeks of age.

Item Type:	Thesis (Doktor)
Identification Number:	DIS/636.597/DAM/e/2018/061810937
Subjects:	600 Technology (Applied sciences) > 636 Animal husbandry > 636.5 Chickens and other kinds of domestic birds > 636.59 Other poultry > 636.597 Ducks
Divisions:	S2/S3 > Doktor Ilmu Ternak, Fakultas Peternakan
Depositing User:	soegeng sugeng
Date Deposited:	24 Oct 2022 03:47
Last Modified:	24 Oct 2022 03:47
URI:	http://repository.ub.ac.id/id/eprint/195921

Text Andi Pertiwi Damayanti.pdf Download (4MB)

Actions (login required)

View Item