Cahyani, Maria Endah and Dr. Fahriyah, SP., M.Si and Condro Puspo Nugroho, SP., MP. (2023) Analisis Kelayakan Finansial Usahatani Sedap Malam (Polianthes tuberosa) di Desa Rembang, Kecamatan Rembang, Kabupaten Pasuruan. Sarjana thesis, Universitas Brawijaya.
Abstract
Kecamatan Rembang merupakan salah sentra budidaya bunga sedap malam di Indonesia. Kecamatan Rembang memiliki kontribusi produksi nasional sebesar 58% pada tahun 2020 dan 38% pada tahun 2021 (BPS Kabupaten Pasuruan, 2022). Produksi yang besar menjadikan area ini sebagai pemasok utama permintaan bunga sedap malam dari berbagai wilayah Indonesia. Desa Rembang merupakan Desa dari Kecamatan Rembang dengan jumlah petani dan lahan garapan sedap malam terbesar di Kecamatan Rembang. Bunga sedap malam pertama kali dibudidayakan di Desa Rembang tahun 1973 dan sudah menjadi salah satu ciri khas pertanian dari Desa ini. Hal ini tentunya karena usahatani ini dianggap cukup menguntungkan bagi para petani di Desa Rembang.Tetapi usahatani ini sempat mengalami goncangan pada saat pandemi 2020 karena permintaannya yang menurun drastis. Kondisi saat ng memperngaruhi kondisi pasca pandemi saat ini. Selain itu adanya perubahan kebijakan pemerintah mengenai tidak adanya pemberian pupuk subsidi kepada petani bunga juga menurunkan minat petani di Desa Rembang untuk mengusahakan komoditas ini kembali. Berdasarkan fenomena tersebut maka perlu dilakukan penelitian untuk melihat kelayakan finansial kelayakan finansial dan tingkat sensitivitas usahatani sedap malam potong di Desa Rembang. Metode penelitian yang akan digunakan pada penelitian ini ialah pendekatan kuantitatif, yang bertujuan untuk menguji teori atau hipotesis yang diterapkan. Penelitian ini dilakukan dengan wawancara kepada 40 petani di Desa Rembang, Kecamatan Rembang, Kota Batu, Provinsi Jawa Timur. Waktu penelitian dilaksanakan pada bulan Juni hingga Juli 2022. Berdasarkan hasil Hasil analisis biaya dan penerimaan sedap malam selama 8 tahun usia usahatani, usahatani ini mampu menghasilkan pendapatan sebesar Rp 784.558.515 atau jika dirata-ratakan dalam sebulan menjadi sebesar Rp 8.172.485 /bulan/ha. Arus keluar dalam usahatani meliputi biaya investasi sebesar Rp 28.734.519. Biaya tetap untuk usahatani ini ialah sewa lahan sebesar Rp 5.660.000/tahun/ha, sedangkan biaya variabel yang dihitung di setiap 2 tahun masa tanam adalah sebesar 55.700.525/2 tahun/ha atau jika dirata-ratakan perbulan menjadi 2.320.855/bulan/ha. Selanjutnya hasil analisis kelayakan finansial usahatani bunga sedap malam di Desa Rembang menunjukkan bahwa usaha tersebut layak untuk diusahakan dan dikembangkan. Tingkat suku bunga yang digunakan yakni suku bunga KUR BRI sebesar 6%. NPV didapati sebesar Rp 613.905.946 dengan nilai IRR 129%, Payback Period atau modal yang dikeluarkan sebelum masa produksi akan kembali dalam 7 bulan 20 hari, serta nilai Net B/C yang bernilai lebih dari 1 sebesar 3,42. Hasil analisis sensitivitas usahatani bunga sedap malam di Desa Rembang juga menunjukkan bahwa usaha tersebut tetap layak diusahakan pada berbagai parameter sensitivitas yang disesuaikan dengan kondisi lapang. Parameter yang digunakan yakni adanya penurunan produksi 15% dan 40%, penurunan harga jual sebesar 28,5%, kenaikan biaya tenaga kerja sebesar 10% dan kenaikan biaya pupuk hingga 100%. Kondisi yang paling banyak menurunkan nilai kriteria kelayakan ialah penurunan produksi sebesar 40% tetapi masih layak untuk diusahakan. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, maka terdapat beberapa saran yang diberikan oleh peneliti kepada petani dan dinas terkait. Saran bagi petani yakni adalah untuk melakukan beberapa perbaikan dalam cara budidaya. Pada budidaya sedap malam, biaya yang dikeluarkan untuk tenaga kerja penyiangan cukup tinggi, namun hal ini dapat diatasi jika petani sejak awal menggunakan mulsa untuk menghambat pertumbuhan rumput liar. Selain itu petani sedap malam di Desa Rembang selalu menggunakan bibit dari pembongkaran tanaman lama yang produktivitasnya akan berkurang di setiap penanaman baru. Untuk meningkatkan kualitas dan kualitas sedap malam potong di Daerah Pasuruan, maka alangkah lebih baiknya jika pemerintah atau dinas terkait kembali memprogramkan adanya bibit F1 sedap malam seperti di tahun 2010. Selanjutnya mengenai peralihan pupuk subsidi menjadi pupuk nonsubsidi, diharapkan dinas pertanian terkait dan petani dapat bekerja sama untuk menemukan anjuran intensitas pemupukan yang baru untuk pemupukan sedap malam menggunakan pupuk nonsubsidi. Hal ini karena efektifitas dari pupuk subsidi dan non subsidi memiliki perbedaan. Anjuran yang baru ini dapat menjadi pedoman bagi petani untuk membeli seberapa banyak pupuk yang mereka butuhkan untuk produksi sedap malam yang tetap optimal.
English Abstract
Rembang District is one of the centers for the cultivation of tuberose flowers in Indonesia. Rembang District has a national production contribution of 58% in 2020 and 38% in 2021 (BPS Kabupaten Pasuruan, 2022). The large production makes this area the main supplier for the demand for tuberose flowers from various parts of Indonesia. Rembang Village is a village from the Rembang District with the largest number of farmers and the largest tuberose arable land in the Rembang District. Tuberose flowers were first cultivated in Rembang Village in 1973 and have become one of the agricultural characteristics of this village. This is of course because this farming is considered quite profitable for the farmers in Rembang Village. However, this farming experienced shocks during the 2020 pandemic because demand dropped dramatically. Current conditions that affect the current post-pandemic conditions. Apart from that, changes in government policy regarding the absence of subsidized fertilizers for flower farmers also reduced the interest of farmers in Rembang Village to cultivate this commodity again. Based on this phenomenon, it is necessary to conduct research to see the financial feasibility of the financial feasibility and the level of sensitivity of the beef cattle farming in Rembang Village. The research method that will be used in this study is a quantitative approach, which aims to test the applied theory or hypothesis. This research was conducted by interviewing 40 farmers in Rembang Village, Rembang District, Batu City, East Java Province. The time of the research was carried out from June to July 2022. Based on the results of the analysis of the cost and revenue of tuberose for 8 years of farming, this farm was able to generate an income of IDR 784.558.515 or if it was averaged over a month it became IDR Rp 8.172.485/month/ha. Outflows in farming include investment costs of IDR 28,734,519 and operational costs which include fixed costs and variable costs. Fixed costs are land rents of IDR 5,660,000/year/ha and total variable costs for every 2 years of planting period of 55,700,525/2 years/ha or if averaged per month become 2,320,855/month/ha. Furthermore, the results of the financial feasibility analysis of tuberose flower farming in Rembang Village show that the business is feasible to be cultivated and developed. The interest rate used is the BRI KUR interest rate of 6%. The NPV of this farming is IDR 613,905,946 with an IRR value of 129% where this value is greater than the prevailing interest rate (6%), the Payback Period or investment capital used in farming will return in 7 months 20 days, and the Net B value /C which has a value of more than 1 is 3.42. The results of the sensitivity analysis of tuberose flower farming in Rembang Village show that the business is still feasible to operate on several sensitivity parameters. Sliced tuberose farming is still feasible if there is a decrease in production of 15% and 40%. Associated with a decrease in selling price of 28.5%, an increase in labor costs of 10% and an increase in fertilizer costs of up to 100% in this farming also still shows feasibility. The condition that reduced the value of the eligibility criteria the most was a decrease in production of 40% but it was still feasible to cultivate. Based on the research that has been done, there are several suggestions given by researchers to farmers and related agencies. Advice for farmers is to make some improvements in the way of cultivation. In tuberose cultivation, labor costs for weeding are quite high, but this can be overcome if farmers use mulch from the start to inhibit the growth of weeds. In addition, the tuberose farmers in Rembang Village always use seeds from the demolition of old plants, so that their productivity will decrease with each new planting. In order to improve the quality and quality of the tuberose in the Pasuruan area, it would be better if the government or related agencies re-programmed F1 seeds like in 2010. Furthermore, regarding the transition from subsidized fertilizer to non-subsidized fertilizer, it is hoped that the relevant agricultural services and farmers can work same time to find new fertilization intensity recommendations for fertilizing tuberose tuberose using non-subsidized fertilizers. This is because the effectiveness of subsidized and non-subsidized fertilizers is different. These new recommendations can serve as a guide for farmers to purchase how much fertilizer they need for optimal tuberose production.
Item Type: | Thesis (Sarjana) |
---|---|
Identification Number: | 0521040317 |
Subjects: | 300 Social sciences > 338 Production > 338.1 Agriculture > 338.16 Production efficiency |
Divisions: | Fakultas Pertanian > Agribisnis |
Depositing User: | PKN 01 UB |
Date Deposited: | 08 Jun 2023 02:40 |
Last Modified: | 08 Jun 2023 02:40 |
URI: | http://repository.ub.ac.id/id/eprint/201150 |
Text (DALAM MASA EMBARGO)
Maria Endah Cahyani.pdf Restricted to Registered users only until 31 December 2023. Download (4MB) |
Actions (login required)
View Item |