Perlindungan Hukum Terhadap Status Hukum Anak Yang Dilahirkan Dalam Perkawinan Poliandri (Studi Kasus Pada Masyarakat Adat Dayak Benuaq Di Desa Mendika, Kecamatan Damai, Kabupaten Kutai Barat, Kalimantan Timur)

Djoka, Maria Olympia Barcelona (2017) Perlindungan Hukum Terhadap Status Hukum Anak Yang Dilahirkan Dalam Perkawinan Poliandri (Studi Kasus Pada Masyarakat Adat Dayak Benuaq Di Desa Mendika, Kecamatan Damai, Kabupaten Kutai Barat, Kalimantan Timur). Magister thesis, Universitas Brawijaya.

Abstract

Perkawinan adalah hal yang sakral. Perkawinan dilaksanakan di depan pemuka agama dan disahkan oleh undang-undang. Sistem hukum perkawinan yang dianut dalam perundang-undangan di Indonesia yaitu kemasyarakatan dan keagamaan yang berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Menurut R. Wirjono Prodjodikoro, Perkawinan adalah hidup bersama antara seorang pria dan seorang wanita yang memenuhi syarat-syarat termasuk dalam peraturan hukum perkawinan. Selain itu perkawinan hanya diakui antara seorang pria dan seorang wanita. Seorang suami diperbolehkan untuk beristeri lebih dari seorang atau berpoligami dengan syarat-syarat tertentu. Permohonan untuk berpoligami bagi suami ditujukan kepada Pengadilan, dengan syarat antara lain adanya persetujuan dari isteri. Begitu pula dengan perkawinan adat. Pada umumnya juga hanya diperbolehkan seorang pria dan seorang wanita menikah. Perkawinan adat di daerah satu berbeda dengan daerah lainnya. Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, diharapkan agar masyarakat adat akan dapat menyesuaikan hukum adatnya dengan undang-undang tersebut. Terdapat perbedaan secara tegas antara publik dan privat. Seperti dalam adat Dayak Benuaq di Kabupaten Kutai Barat dimana hanya diizinkan seorang pria menikah dengan seorang wanita. Tetapi dalam kehidupan di masyarakat terjadi ketidaksesuaian dengan adat istiadat dan undang-undang. Terdapat kasus seorang wanita menikah dengan dua orang pria atau melakukan pernikahan poliandri. Ada dua kasus di Desa Mendika, Kabupaten Kutai Barat, dimana seorang wanita memiliki dua orang suami. Di dalam hukum adat Dayak Benuaq, sebenarnya hal-hal seperti ini dilarang. Ketua adat akan memberikan denda kepada seorang pria yang memiliki dua orang isteri maupun wanita yang memiliki dua orang suami. Namun walaupun sudah diberikan denda, pada akhirnya Ketua adat akan menimbang-nimbang alasan kenapa si wanita memiliki dua orang suami. Apabila alasan tersebut dapat diterima, maka ketua adat akan mengizinkan si wanita tersebut menikah untuk kedua kalinya. Tetapi walaupun sudah dilarang secara tegas oleh undang-undang dan hukum adat, masih saja terdapat banyak praktik dimana seorang wanita memiliki dua orang suami. Sehingga akibat dari perkawinan poliandri ini menimbulkan berbagai macam masalah yaitu diantaranya tentang status hukum anak yang dilahirkan serta bentuk perlindungan anak yang dilahirkan dari perkawinan poliandri tersebut. Hal inilah yang membuat penulis tertarik untuk mengambil penelitian dan menelusuri lebih dalam tentang Perlindung Hukum Terhadap Status Hukum Anak yang Dilahirkan Dalam Perkawinan Poliandri Studi Kasus Pada Masyarakat Adat Dayak Benuaq di iv Desa Mendika, Kecamatan Damai, Kabupaten Kutai Barat, Kalimantan Timur. Dari latar belakang tersebut, maka penulis menarik rumusan masalah sebagai berikut yaitu yang pertama bagaimana pelaksanaan perkawinan poliandri yang terjadi pada masyarakat hukum adat Dayak Benuaq di Desa Mendika, yang kedua bagaimana status hukum terhadap anak yang dilahirkan dari perkawinan poliandri yang terjadi pada masyarakat hukum adat Dayak Benuaq di Desa Mendika, dan yang ketiga adalah bagaimana bentuk perlindungan hukum terhadap anak yang lahir dari perkawinan poliandri dalam hukum adat Dayak Benuaq di Desa Mendika. Hasil dari Penelitian Tesis ini didapat bahwa Pelaksanaan perkawinan Poliandri di dalam hukum Adat Dayak Benuaq Desa Mendika dilaksanakan sebagaimana upacara perkawinan adat dayak benuaq pada umumnya akan tetapi, dalam perkawinan poliandri terdapat denda yang harus dibayarkan oleh isteri terhadap suami pertama yang denda tersebut ditentukan oleh Kepala Desa (Petinggi Desa), Kepala Adat beserta para Pemangku Adat. Jadi yang membedakan antara perkawinan adat biasa dengan poliandri berdasarkan hukum adat dayak benuaq di desa Mendika yaitu terletak pada dendanya yang dilakukan sebelum perkawinan tersebut berlangsung dan nasehat-nasehat dari Kepala Adat saat dilaksanakannya perkawinan tersebut. Ada dua alasan yang menyebabkan Perkawinan Poliandri diizinkan oleh disini yang pertama yaitu karena suami pertama menderita sakit-sakitan. Dan yang kedua karena suami pertamanya sudah tua dan tidak mampu bekerja lagi sehingga tidak dapat menafkahi isterinya. Alasan-alasan ini kemudian dimasukan dalam musyawarah bersama perangkat desa yang kemudian mengizinkan perkawinan poliandri ini berlangsung. Status hukum terhadap anak yang dilahirkan dari perkawinan poliandri yang terjadi pada masyarakat hukum adat dayak benuaq di desa mendika yaitu status hukumnya tidak diakui oleh kacamata hukum positif Indonesia dikarenakan tidak adanya bukti berupa akta kelahiran akibat dari perkawinan poliandri yang tidak dicatatkan sehingga menyulitkan anak tersebut mendapatkan hak-haknya sebagai anak. Sedangkan dilihat dari sudut pandang hukum adat dayak benuaq di desa mendika status hukum ini tidak sama dengan hukum negara. Status hukum anak tetap diakui karena segala sesuatunya akan dikembalikan kepada proses adat yang akan mengakui anak ini sehingga mengeluarkan bukti bahwa anak ini sah di mata masyarakat hukum adat dayak benuaq desa mendika, sehingga anak ini dapat mendapatkan kembali hak-haknya sebagai anak. Berdasarkan hukum negara tidak diakui, berdasarkan hukum adat dayak benuaq di desa mendika diakui. Bentuk perlindungan hukum terhadap anak yang lahir dari perkawinan poliandri dalam hukum adat Dayak Benuaq di Desa Mendika yaitu dengan diakuinya anak tersebut sah secara hukum adat sehingga terhadap anak yang dilahirkan dari perkawinan poliandri tersebut memperoleh hak-haknya sebagai anak pada umumnya. Sedangkan perlindungan hukum yang dapat diberikan dalam sistem hukum positif di Indonesia yaitu dengan dikeluarkannya Putusan MK Nomor 46/PUU-VIII/2010 tentang Status Anak Luar Kawin dan Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang inti dari kedua aturan tersebut dapat menjamin kedudukan dan perlindungan hukum terhadap anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan yang tidak dicatatkan v (poliandri). Berdasarkan kesimpulan tersebut perlu dilakukan beberapa hal sebagai saran untuk ditindaklanjuti, ada pun saran yang dapat penulis tawarkan yaitu sebagai berikut untuk pemangku adat dan kepala desa sebaiknya menimbang kembali apabila ada yang ingin melakukan penyimpangan dalam perkawinan seperti dalam kasus ini adalah poliandri. Apalagi kepala desa adalah wakil dari pemerintah di desa mendika, sebaiknya masyarakat diberikan edukasi tentang akibat-akibat dan dampak dari perkawinan poliandri yang dilaksanakan. Terlebih berdampak langsung kepada anak yang dilahirkan dari perkawinan poliandri tersebut. Dimana anak tersebut statusnya dalam kacamata hukum negara menjadi tidak jelas dan ke depannya akan menimbulkan ketidakdilan bagi anak yang dilahirkan.

English Abstract

Marriage is the sacred thing. The marriage will be held in front of religious representative and recognized by the law. The legal system of marriage in Indonesia which is embraced by societal and religion based on Law Regulation Number 1 Year 1974 about marriage. According to R.WirjonoProdjodikoro, Marriage is a life concurrently between a man and a woman who meet the requirement in the marriage law. Marriage is only valid between a man and a woman. A husband is permissible to marry more than one spouse or polygamy under certain condition. The polygamy request for husband is directed to the court, with condition such as the approval of the wife. Likewise, with traditional marriage. Generally also permitted only a man and a woman get married. Traditional marriage in one area is different from the other. With the enactment of law number 1 Year 1974 about marriage, it is expected that indigenous communities will be able to customize the traditional law by statute. Law number 1 Year 1974 about marriage strictly distinguishes the roles between husband and wife. The husband as head of family, providing a living and giving protection to the wife. The wife as a good housewife, caring for and educating children, and serving the husband. There is a difference unequivocally between public and private. Indigenous Dayak Benuaq in West Kutai Regency only permitted a man married to a woman. But in the society happen mismatch with traditional and laws. There is the case of a woman is married to two men or perform weddings polyandry. There are two cases in the village of Mendika, West Kutai Regency, where a woman had two husbands. In the law of indigenous Dayak Benuaq, actually things like this is prohibited. The traditional leader will give the fine to a man who has two wives and women who had two husbands. But despite being given a penalty, in the end the traditional leader will consider the reason why the woman had two husbands. If those reasons are acceptable, then the traditional leader will allow the women married for the second time. vii Despite being strictly prohibited by law and traditional law, there are still many practices where a woman has two husbands. So as a result of the polyandry marriage raises a variety of problems among them about the legal status of children born and the form of protection of children born from polyandry marriage. It is what makes a writer interested in taking research and searching more deeply about Legal Protection Against the Legal Status Toward Children Born in Polyandry Marriage in Mendika Village, Damai District, West Kutai Regency, East Kalimantan. From the background, the author draws the following problem, the first how the implementation of polyandry marriages occurred in Dayak Benuaq traditional law in the village of Mendika, the second how legal status against the children born from the polyandry marriage occurred in Dayak Benuaq traditional law in the village of Mendika, and the third is what kind of legal protection of children born from the polyandry marriage in the Dayak Benuaq traditional law in the Mendika village. The result of this thesis research obtained that implementation of Polyandry marriage in Dayak Benuaq Tradition Law of Mendika Village is implemented as indigenous dayak benuaq marriage ceremony in General, however, there is a fine of polyandry marriage which must be paid by the wife to the first husband, determined by the head of the village (Village Officers), Traditional Leader along with the Traditional Stakeholders. So the distinguishes between traditional marriage of polyandry with dayak benuaq traditional law based in Mendika village that lies in the fine that is done before the marriage takes place and the advice from traditional head during the marriage. There are two reasons why Polyandry Marriages permitted here first because the first husband is suffering from illness. And the second, because her first husband was old and unable to work any more so can not provide for his wife. These reasons are then placed in the deliberations with the village which allowed the polyandry marriage to take place. The legal status against children born in polyandry marriage occur to Dayak benuaq traditional law in mendika village that it is legal status is not recognized by the positive law of Indonesia because there is no evidence of birth certificate due to unregistered polyandry marriage that make it difficult for the child to get the right. While the legal point of view of the indigenous dayak Benuaq in the mendika village is not the same as State law. The legal status of children is recognized because everything will be returned to the tradition process which acknowledge the child legal in front of the indigenous dayak benuaq law society of the Mendika village. So that, these children can regain their rights as children. Based on State law not recognized, based on Dayak tradition law in the Mendika Village recognized. The form of legal protection of children born from polyandry marriage in Dayak Benuaq tradition law in the Mendika village is the recognition of legally adult children provide legal protection of the child so that in the end the children born from the polyandry marriage was granted his rights as the child. And child protection is seen from the Indonesia positive law that is with thepromulgationn of the verdict of the CONSTITUTIONAL COURT No. 46/PUU-VIII/2010 on the Status of viii Extraordinary Children and Law Number 23 year 2006 on Child Protection which essentially both guarantee the position and legal protection of children Born of unregistered marriage; Because a child born of polyandry marriage is a child belonging to an outsider. Based on these conclusions it is necessary to do some things as suggestions for follow up, there are suggestions that writers could offer are as follows for traditional stakeholders and head of the village should reconsider if anyone wants to make irregularities in marriage as in this case is polyandry. Moreover, the village head is a representative of the government in the Mendika village, the community should be given education regarding the consequences and impact of the polyandry marriages to take place. Moreover, it has a direct impact on the child born of the polyandry marriage. Where the child's status in the eyes of state law becomes unclear and in the future will cause disfavour for the child who was born.

Item Type: Thesis (Magister)
Identification Number: TES/346.017/DJO/p/2017/041709081
Uncontrolled Keywords: CHILDREN - LEGAL STATUS, LAWS, ETC, POLYANDRY
Subjects: 300 Social sciences > 346 Private law > 346.01 Persons and domestic relations > 346.017 Parent and child
Divisions: S2/S3 > Magister Kenotariatan, Fakultas Hukum
Depositing User: Nur Cholis
Date Deposited: 14 Nov 2017 03:15
Last Modified: 29 Nov 2021 07:44
URI: http://repository.ub.ac.id/id/eprint/5432
[thumbnail of BAB V.pdf]
Preview
Text
BAB V.pdf

Download (386kB) | Preview
[thumbnail of DAFTAR PUSTAKA.pdf]
Preview
Text
DAFTAR PUSTAKA.pdf

Download (93kB) | Preview
[thumbnail of BAB VI.pdf]
Preview
Text
BAB VI.pdf

Download (94kB) | Preview
[thumbnail of BAGIAN DEPAN.pdf]
Preview
Text
BAGIAN DEPAN.pdf

Download (169kB) | Preview
[thumbnail of Maria Olympia 156010202111018.pdf]
Preview
Text
Maria Olympia 156010202111018.pdf

Download (3MB) | Preview
[thumbnail of Bab I.pdf]
Preview
Text
Bab I.pdf

Download (271kB) | Preview
[thumbnail of Bab II.pdf]
Preview
Text
Bab II.pdf

Download (157kB) | Preview
[thumbnail of BAB III.pdf]
Preview
Text
BAB III.pdf

Download (935kB) | Preview
[thumbnail of BAB IV.pdf]
Preview
Text
BAB IV.pdf

Download (218kB) | Preview

Actions (login required)

View Item View Item