Reformulasi Kebijakan Deradikalisasi Mantan Narapidana Terorisme Dalam Upaya Penanggulangan Tindak Pidana Terorisme Di Indonesia

Hasibuan, Hoiruddin (2017) Reformulasi Kebijakan Deradikalisasi Mantan Narapidana Terorisme Dalam Upaya Penanggulangan Tindak Pidana Terorisme Di Indonesia. Doctor thesis, Universitas Brawijaya.

Abstract

Judul peneltian disertasi ini adalah: “Reformulasi Kebijakan Deradikalisasi Mantan Narapidana Terorisme Dalam Upaya Penanggulangan Tindak Pidana Terorisme Di Indonesia”. Judul ini merupakan representasi tiga isu hukum, yakni: 1) Apa makna kebijakan deradikalisasi mantan narapidana sebagai upaya penanggulangan tindak pidana terorisme di Indonesia?. 2) Apakah kebijakan formulatif deradikalisasi mantan narapidana terorisme di Indonesia saat ini telah menunjang keberhasilan penanggulangan tindak pidana terorisme di Indonesia ?. 3) Bagaimana kebijakan formulatif deradikalisasi mantan narapidana di Indonesia pada masa akan datang?. Penelitian disertasi ini dilakukan karena latar belakang Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menjadi Undang- Undang tidak mengatur dengan jelas perihal pengaturan mengenai masalah pencegahan khususnya deradikalisasi terhadap mantan narapidana terorisme maupun tentang pelaksanaan program deradikalisasi tersebut. Selain itu problem yuridis yang ditemukan dalam Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menjadi Undang-Undang, antara lain: - Bahwa implementasi lebih menitikberatkan pada model “reactive law enforcement” dan mengabaikan pentingnya “proactive law enforcment” dan “preempative law enforcement”. hal ini disebabkan uu tersebut belum mengatur secara memadai kedua model penegakan hukum terakhir. - Dalam Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menjadi Undang-Undang belum v mengatur mengenai deradikalisasi, khususnya untuk mantan narapidana teroris - Pembentukan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) diatur oleh Perpres, memiliki keterbatasan kewenangan, ruang gerak, koordinasi, maupun dalam pengajuan anggaran. - Belum terintegrasinya undang-undang anti terorisme dengan peraturanperaturan lainnya secara baik. Kehadiran Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menjadi Undang-Undang sebenarnya bertujuan untuk mampu menanggulangi permasalahan kekosongan hukum dimana pada saat terjadi peristiwa Bom Bali I, terorisme tidak diatur dalam KUHAP. Pada awal pelaksanaannya, UU tersebut dirasakan mampu untuk memberikan keberhasilan dalam pengungkapan dan menangkap para pelaku terror di Indonesia. Namun, dalam perjalanan setelah para pelaku divonis lalu menjalani hukuman di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) kemudian mereka bebas dan kembali ke tengah masyarakat setelah menyelesaikan hukumannya (status mantan narapidana terorisme). Berdasarkan data yang ada ternyata beberapa diantara mantan narapidana terorisme tersebut bergabung dan terlibat kembali menjadi pelaku tindak pidana terorisme (residivis). Dengan demikian membuktikan bahwa UU anti teror ini dirasa masih belum efektif dapat menanggulangi terorisme, sebab dalam undang-undang tersebut lebih mengatur kepada penindakan dan penegakkan hukum, sedangkan berbagai aspek mengenai upayaupaya pencegahan masih belum terakomodir, sehingga dengan demikian maka belum tercapainya tujuan penanggulangan terorisme yang sejalan dengan semangat perlindungan hak asasi manusia. Hal ini terkait dengan persoalan teoritis, dimana program deradikalisasi selama ini dibebankan hanya pada BNPT dan Polri, walaupun ada peran stake holder lain sangat minim, yang seharusnya menjadi tanggung jawab seluruh komponen bangsa. Keterbatasan praktis yang ditemukan dalam UU Penanggulangan Terorisme yang ada sekarang adalah : 1. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 Tentang vi Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menjadi Undang-Undang tidak mengatur perihal Program Deradikalisasi melainkan hanya fokus pada Penindakan dan penegakkan hukum 2. BNPT sebagai lembaga yang memiliki kewenangan bidang penanggulangan terorisme hanya diatur oleh Perpres No 46 Tahun 2010 Tentang BNPT, sehingga legitimasi kurang kuat. Hal ini berdampak pada ruang gerak dan koordinasi yang dilakukan terbatas, selain itu berdampak pula pada dukungan SDM, sarpras, dan anggaran yang terbatas. Oleh karena itu, ditingkat Undang-Undang terdapat kekosongan hukum mengenai pelaksanaan deradikalisasi. Hal ini tidak boleh terjadi karena pandangan agar hukum dapat membentuk dan merubah suatu keadaan dalam masyarakat sebenarnya telah lama dikembangkan oleh Roscoe Pound dengan teori yang terkenal “law as a tool of social engineering”. Atas dasar pendekatan dan pengkajian filsafat hukum inilah maka hukum yang akan dibangun dalam rangka menanggulangi terorisme melalui deradikalisasi akan tetap berlandaskan nilai ideologi, nilai budaya, nilai historis, nilai sosiologis dan nilai yuridis. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menjadi Undang-Undang secara spesifik memuat perwujudan ketentuanketentuan yang dikeluarkan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dalam Convention Against Terorism Bombing (1997) dan Convention on the Suppression of Financing Terorism (1997), antara lain ketentuan-ketentuan tentang lingkup yuridiksi transnasional dan internasional, serta ketentuan-ketentuan khusus terhadap tindak pidana terorisme internasional dan menjadi ketentuan payung dan bersifat koordinatif (coordinating act) terhadap peraturan perundang-undangan lainnya yang berkaitan dengan pemberantasan tindak pidana terorisme. Materi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menjadi Undang-Undang yang terdiri dari 47 (empat puluh tujuh) pasal yang antara lain mengatur masalah ketentuan umum, lingkup berlakunya, kualifikasi tindak pidana terorisme, tindak pidana yang berkaitan dengan terorisme vii disidang pengadilan, kompensasi, restitusi dan rehabilitasi serta kerjasama internasional. Terkait dengan deradikalisasi: “Deradikalisasi merupakan segala upaya untuk menetralisir paham-paham radikal (keras atau ekstrem) melalui pendekatan interdisipliner, seperti hukum, psikologi, agama dan sosial budaya bagi mereka yang dipengaruhi paham radikal dan/atau pro kekerasan agar menjadi tidak radikal lagi. Tidak ada Indikator jelas mengenai “keras atau ekstrem”. Perbuatan dan pemikiran yang keras atau ekstrem dalam hal ini memerlukan indikator yang jelas. Penafsiran atas pemikiran keras ini dapat melanggar kebebasan berpendapat dan berekspresi dan mengarah pada tindakan negara untuk melakukan penangkapan secara sewenangwenang. Akan muncul subjektivitas pada aparat penegak hukum di lapangan dalam mengidentifikasi “keras” atau “ekstrem.” Kemudian, selain itu terkait dengan Deradikalisasi dalam UU anti teror belum ada materi yang secara khusus mengatur secara jelas dan rinci baik mengenai kewenangan, mekanisme, dan lain sebagainya. Melihat uraian mengenai pengaturan deradikalisasi dalam UU anti teror ini maka terlihat bahwa pengaturan mengenai penanggulangan teorisme yang ada dalam UU tersebut, lebih mengarah pada penindakan (penegakkan hukum) terhadap pelaku terorisme di Indonesia, sehingga belum mampu menyentuh akar permasalahan penyebab terorisme. Diantara aturan-aturan hukum yang ada tersebut maka yang menjadi persolan dalam disertasi ini adalah menyangkut pengaturan, wewenang, dan bentuk deradikalisasi komprehensif bagi mantan narapidana terorisme oleh BNPT. Kewenangan tersebut adalah merupakan bentuk legitimasi yang kuat bagi BNPT dalam melaksanakan kegiatan deradikalisasi tersebut. Terkait banyaknya masalah pada perlindungan hukum tentang pemberantasan tindak pidana terorisme maka ke depan perlu ada perbaikan substansi yang lebih mengarah pada kepastian hukum terkait program deradikalisasi dengan menambah beberapa ketentuan sebagai berikut: - Revisi UU pemberantasan tindak pidana terorisme dengan menambahkan berbagai materi yang mengatur tentang deradikalisasi secara jelas. - Penguatan BNPT melalui pengaturan dengan Undang-undang secara khusus. viii - Integrasi UU pemberantasan tindak pidana terorisme dengan berbagai UU lain terkait upaya penanggulangan terorisme khususnya deradikalisasi agar tidak terjadi tumpang tindih. - Penataan ulang pembagian urusan yang menjadi kewenangan BNPT dan urusan yang menjadi kewenangan aparat penegak hukum, lembagalembaga pemerintah lainnya, dan para stakeholder terkait. - BNPT diberikan wewenang yang lebih luas untuk melakukan berbagai hal dalam upaya melaksanakan program deradikalisasi, adanya aturan khusus bagi para lembaga negara dan para stakeholder untuk memberikan dukungan/bantuan. - Kewenangan BNPT untuk menetapkan kebijakan dasar implementasi Deradikalisasi berupa aturan baku mekanisme pembinaan mantan narapidana terorisme. - Kewenangan dan kewajiban pemerintah daerah apakah itu provinsi dan/atau kabupaten/kota untuk membantu/memberikan dukungan bagi penyelenggaraan program deradikalisasi mantan narapidana terorisme di wilayahnya yang mengacu kepada aturan dasar dalam UU anti teror. - Pengaturan kewenangan dalam program deradikalisasi mantan napi terorisme itu harus memuat aturan teknis yang memungkinkan pemberian ruang pengaturan teknis yang lebih besar kepada BNPT dan mengatur koordinasi dengan para stakeholder.

English Abstract

The title of this dissertation research is: “Reformulation of Deradicalisation Policy Former Terrorism Prisoners in Counteracting Terrorism Crime In Indonesia”. The title is the representation of three legal issues: 1) what is the meaning of combating terrorism through de-radicalization policy against former prisoners of terrorism in Indonesia? 2) How the formulation policy of combating terrorism through de-radicalization against former prisoners of terrorism in Indonesia will work? 3) How will the formulation policy settings of combating terrorism with de-radicalization policy takes place in the future? The dissertation research is done based on the Law No 15 Year 2003 about the Stipulation of Government Regulation in Lieu of Law Number 1 Year 2002 on Combating Terrorism Crime into Law which does not regulate clearly on the prevention of terorrism. Especially dealing with the former prisoners of terrorist action or about the implementation of the de-radicalization program. Beside that, the juridical problems found in Law No. 15 Year 2003 about the Stipulation of Government Regulation in Lieu of Law Number 1 Year 2002 on Combating Terrorism Crime into Law is presented as follows: - Whereas the implementation give more emphasis to model of “reactive law enforcement” and ignore the importance of “proactive law enforcment” and “preempative law enforcement”. It is caused by the law that does not regulate sufficiently on both law enforcement models. - Not to mention, in the anti-terror law. There is no reglation about deradicalization, especially for the former prisoners of terrorism. - The formation of BNPT that is regulated by Presidential Regulation, has limited authorities, latitude, and or coordination in the budget proposal. - There is no integration of anti-terror law with other regulations. The presence of Law No. 15 Year 2003 about the Stipulation of Government x Regulation in Lieu of Law Number 1 Year 2002 on Combating Terrorism Crime into Law actually aimed at combating the vacancy of law problems happened in Denpasar during the first Bali bombing incident. Terrorism is not regulated in the Criminal Code Procedure. The implementation of the anti-terror law is considered as not effective to combat the terrorism. It is because, the law regulates more at the prosecution and law enforcement, while various aspects about prevention efforts are not accommodated. So, the goal of combating terrorism along with the spirit of human right protection has not been achieved yet. It is related with the theoretical problems on where is the de-radicalization program which has been given to BNPT and Police of The Republic of Indonesia so far? This duty should become the responsibility of each national components. The practical limitation in the Law of Terrorism Combat such as: 1. Law No. 15 / 2003 About the Stipulation of Government Regulation in Lieu of Law Number 1 Year 2002 on Combating Terrorism Crime into Law does not regulate about the De-radicalization Program but only focus on the prosecution and the law enforcement. 2. BNPT as the institution that has authorities in the terrorism combat field is only regulated by Presidential Regulation No. 46 / 2010 about National Counter Terrorism Agency, limited legitimation. It impacts to the latitude and coordinated which is limited, beside that impact to the support of human resources, facilities and infrastructure, and limited budget. Because of that, there is legal vacancy about the implementation of deradicalization. It cannot be occured because the legal view should be able to form and change a condition in society which has been developed by Roscoe Pound with the famous theory known “law as a tool of social engineering”. Based on the legal philosophy approach and investigation, then there will be constructed law in effort to overcome the terrorism through de-radicalization will based on the value of ideology, cultural values, historical values, and sociological and juridical values. Law No 15 Year 2003 about the Stipulation of Government Regulation in Lieu of Law Number 1 Year 2002 on Combating Terrorism Crime into Law specifically, regulates the stipulation embodiment given by United Nation (UN) in xi Convention Against Terrorism Bombing (1997) and Convention on the Suppression of Financing Terrorism (1997), among the others about the transnational and international jurisdiction, and special stipulation toward the international terrorism criminal action and become the coordinating act toward other legislation that related with the terrorism criminal action. Materials of Law No.15 Year 2003 about the Stipulation of Government Regulation in Lieu of Law Number 1 Year 2002 on Combating Terrorism Crime into Law consist of 47 (forty seven) articles such as that regulate the general stipulation, the applicable scope, qualification of terrorism, criminal action related with the terrorism in the court session, compensation, restitution, and rehabilitation and national cooperation. Related to the de-radicalization, in article 1 (8) “de-radicalization is a process to make individual or group of individuals who do an action or thought which demand a change that is expressed harshly or through extreme action is directed to the terrorism”. There is no clearly indicators on “harsh or extreme” action. The harsh or extreme action and thought in this case need clear indicators. The interpretation of the harsh thought is a notion which is able to violate the freedom of expression and direct to the state action to arrest arbitrarily. It will emerge subjectivity at the apparatus of law enforcers in field in identifying the “harsh” or “extreme”. The conflict with article 28E and 28I of Constitution 1945 that guarantees the freedom of expression is the declaration of Universal Human of Article Right, article 18 and 19 and International Covenant about Civil and Political Rights article 18 and 19 about the freedom of thought, opinion, and expression. The regulation also has potentials to violate the International Covenant about Civil and Political rights of article 9 about the individual freedom and security where no one can be arrested or detained arbitrarily. Beside that, related to the De-radicalization in the Law. No material is regulated clearly and the details about the authorities, mechanism, and others. Looking at the comments about the de-radicalization regulation in the Law of anti-terror, it seemd that the regulation of terrorism combat in the law is directed to the prosecution (law enforcement) toward the doers in Indonesia. Therefore, it xii we are unable to touch the root of the problems for the terrorism cases. In the law regulations, the problem of this dissertation is related to the regulation, authorities, and comprehensive de-radicalization form for the former prisoners of terrorism by BNPT. The authority is the strong legitimation for BNPT in conducting the law enforcement. In regards with the number of problems in the legal about the regulation of the terrorism combating strategy, then it needs substantial improvement that direct to the legal certainty related with the de-radicalization program by adding several stipulations as follow: - Revision of the Law of terrorism criminal action combat by adding materials that regulates about de-radicalization clearly. - Strengthening BNPT through the Law exclusively. - Integration of the Law of terrorism criminal action combat with variousLaws in effort to combat the terrorism especially deradicalization so, there will be no overlapping jurisdiction. - The re-arrangement of affairs division that become the authority of BNPT and affairs of law enforcers, and other governmental agencies, as well as other stakeholders. - Giving wider authority to BNPT do various things in effort to do de-radicalization program, the presence of special regulation for state institution and stakeholder to give supports. - The BNPT authorities to determine basic policies of deradicalization implementation in the form of standard regulation for development mechanism of former prisoners of terrorism. - Authorities and responsibilities of local government, in many levels such as: provincial, regency, city government to help and giving support for the de-radicalization program of former prisoners of terrorism at their region that refer to the basic regulation in the law of anti-terror. - Regulation Authority in the de-radicalization program of former prisoners of terrorism should contain technical regulation that make possible formore technical arrangement to BNPT and regulate the coordination among the stakeholders

Item Type: Thesis (Doctor)
Identification Number: DIS/345.023 17/HAS/r/2017/061709425
Uncontrolled Keywords: TERRORISM - LAW AND LEGISLATION, RADICALIZATION, TERRORISM - GOVERNMENT POLICY, PRISOMERS
Subjects: 300 Social sciences > 345 Criminal law > 345.02 Criminal offenses > 345.023 1 Specific crimes and classes of crime (Political offenses) > 345.023 17 Specific crimes and classes of crime (Terrorism)
Divisions: S2/S3 > Doktor Ilmu Hukum, Fakultas Hukum
Depositing User: Nur Cholis
Date Deposited: 10 Nov 2017 01:50
Last Modified: 15 Aug 2023 04:24
URI: http://repository.ub.ac.id/id/eprint/5243
[thumbnail of Hoiruddin Hasibuan.pdf] Text
Hoiruddin Hasibuan.pdf

Download (8MB)

Actions (login required)

View Item View Item