Model Kerangka Hukum Pengembalian Benda-Benda Warisan Budaya Pada Masa Kolonial dari Belanda ke Indonesia Dalam Rangka Penemuan Kembali Identitas Bangsa

Liemanto, Airin (2025) Model Kerangka Hukum Pengembalian Benda-Benda Warisan Budaya Pada Masa Kolonial dari Belanda ke Indonesia Dalam Rangka Penemuan Kembali Identitas Bangsa. Doktor thesis, Universitas Brawijaya.

Abstract

Sejak proklamasi kemerdekaan, Pemerintah Indonesia terus berupaya mengembalikan benda-benda warisan budaya yang diambil secara ilegal selama masa kolonial. Ratusan ribu benda warisan budaya Indonesia saat ini masih menjadi bagian koleksi museum, perpustakaan, dan lembaga arsip di Belanda. Meskipun demikian, Indonesia belum memiliki norma hukum yang lengkap untuk memfasilitasi proses pengembalian objek tersebut. Konsekuensinya, cita hukum Indonesia untuk menentukan nasib sendiri atas benda warisan budayanya masih belum terwujud secara optimal. Penelitian disertasi ini bertujuan untuk menciptakan model kerangka hukum pengembalian benda-benda warisan budaya dari Belanda ke Indonesia dalam rangka penemuan kembali identitas bangsa. Kerangka hukum dibangun dengan menganalisis hubungan antara benda warisan budaya dan klaim pengembalian dalam konteks hukum internasional, baik dari segi hard law maupun soft law, serta melalui kajian peraturan perundang-undangan di Indonesia, Uni Eropa, dan Belanda. Analisis juga dilakukan dengan melibatkan berbagai pandangan ahli untuk menghasilkan pemahaman holistik berbasis prinsip-prinsip umum, bukan kasus per kasus. Terdapat tiga rumusan masalah yang menjadi fokus penelitian ini: (1) Apa alasan fundamental pengembalian benda-benda warisan budaya yang diambil secara ilegal pda masa kolonial dari Belanda ke Indonesia? (2) Apa kelemahan hukum internasional, hukum Indonesia, hukum Uni Eropa, dan hukum Belanda dalam mengatur permintaan pengembalian benda warisan budaya tersebut? (3) Bagaimana model kerangka hukum pengembalian benda-benda warisan budaya dari Belanda ke Indonesia dalam rangka penemuan kembali identitas bangsa? Penelitian ini menerapkan metode penelitian hukum normatif dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan, konseptual, dan sejarah. Sumber bahan hukum terdiri dari bahan primer (peraturan perundang-undangan internasional, Uni Eropa, Indonesia, dan Belanda), bahan sekunder (literatur akademik, jurnal, hasil penelitian, prosiding, dan dokumen lainnya), serta bahan tersier (kamus dan ensiklopedia). Data dianalisis secara kualitatif dengan menggunakan metode konstruksi hukum, khususnya metode pengkonkritan hukum, untuk mengurai aturan-aturan yang masih terlalu umum terkait pengembalian benda warisan budaya. Penelitian ini mengidentifikasi lima alasan fundamental dalam pengembalian bendabenda warisan budaya Indonesia, yaitu: (a) status Indonesia sebagai pemilik asli; (b) hubungan keaslian antara negara asal dan benda warisan budaya; (c) hak atas identitasxi budaya; (d) kewajiban negara dalam perlindungan warisan budaya berdasarkan Konvensi Warisan Dunia 1972; dan (e) pemanfaatan benda warisan budaya sebagai sumber nilai ekonomi, sosial, dan budaya. Alasan-alasan ini menunjukkan adanya hubungan inheren antara benda warisan budaya dan negara asalnya, mengingat nilai sejarah dan makna simbolik yang dimiliki benda-benda tersebut bagi masyarakat Indonesia. Fakta historis bahwa Belanda telah mengambil benda warisan budaya Indonesia secara ilegal juga menjadi dasar kuat bagi tuntutan pengembalian, yang mencakup hak kepemilikan, hak akses, dan hak pemanfaatan bagi komunitas lokal. Penelitian ini juga mengidentifikasi berbagai kelemahan dalam kerangka hukum yang ada saat ini. Pada tingkat internasional, kelemahan meliputi sifat non-retroaktif instrumen hukum internasional, keterbatasan ruang lingkup klaim pengembalian, dan kompleksitas penelusuran asal usul benda warisan budaya. Dalam konteks hukum Indonesia, kelemahan mencakup tidak adanya partisipasi masyarakat adat, masalah pengakuan benda warisan budaya di luar negeri, kelembagaan, serta kurangnya pedoman kebijakan terkait pengembalian. Hukum Uni Eropa juga memiliki kelemahan, termasuk kurangnya definisi harmonis mengenai benda warisan budaya, ketidakjelasan regulasi anti-penyitaan di antara negara anggota, kompleksitas pilihan hukum antar negara Anggota, dan tidak adanya perlindungan terhadap masyarakat adat dalam hubungan eksternal EU dengan negara lain. Sementara itu, hukum Belanda memiliki kelemahan terkait pendekatan antar-negara, penafsiran ruang lingkup, tantangan penelitian asal usul, potensi praktik neo-kolonial, serta independensi Komite Penasihat. Untuk mengatasi kelemahan-kelemahan tersebut, disertasi ini menawarkan model kerangka hukum pengembalian benda warisan budaya yang mencakup pembaruan sistem, konsep, dan prosedur. Pembaruan sistem meliputi dekolonialisasi budaya, pembaruan nilai dan standar HAM, etika pengembalian, serta rekonstruksi kerangka legislasi. Pembaruan konsep difokuskan pada penciptaan museum inklusif dan kerja sama pembagian keuntungan. Pembaruan prosedur melibatkan strategi diplomasi, pengakuan peran masyarakat adat, digitalisasi dan akses ke benda warisan budaya, peningkatan kerja sama pendidikan, penelitian, program museum, dan pemberdayaan pengunjung. Model kerangka hukum yang diusulkan ini diharapkan dapat mempercepat proses pengembalian benda warisan budaya Indonesia, menuju dekolonialisasi budaya, dan merekonstruksi kerangka hukum nasional berbasis Negara Hukum Pancasila. Selain itu, model ini juga bertujuan menciptakan museum inklusif yang dapat memperkuat identitas bangsa melalui keterhubungan emosional antara masyarakat, benda warisan budaya, dan sejarahnya.

English Abstract

Since the proclamation of independence, the Indonesian government has continuously sought the return of cultural heritage objects that were taken illegally during the colonial period. Currently, hundreds of thousands of Indonesia's cultural heritage objects remain part of museum, library, and archival collections in the Netherlands. Nevertheless, Indonesia lacks comprehensive legal norms to facilitate the process of returning these objects. Consequently, Indonesia's legal aspiration for self-determination over its cultural heritage has not yet been fully realized. This dissertation aims to establish a model legal framework for the return of cultural heritage objects from the Netherlands to Indonesia as part of reinventing national identity. The legal framework is developed by analyzing the relationship between cultural heritage objects and restitution claims within the context of international law, encompassing both hard law and soft law, and through a review of legislation in Indonesia, the European Union, and the Netherlands. The analysis also involves the perspectives of various experts to achieve a holistic understanding based on general principles rather than case-by-case evaluations. This research addresses three main questions: (1) What are the fundamental reasons for the repatriation of cultural heritage objects taken illegally during the colonial period from the Netherlands to Indonesia? (2) What are the weaknesses of international law, Indonesian law, European Union law, and Dutch law in regulating the restitution requests for these cultural heritage objects? (3) What is the model legal framework for the repatriation of cultural heritage objects from the Netherlands to Indonesia as part of reinventing national identity? This research employs normative legal research methods using statue, conceptual, and historical approaches. Legal sources consist of primary materials (legislation in international law, the European Union, Indonesia, and the Netherlands), secondary materials (academic literature, journals, research reports, proceedings, and other documents), and tertiary materials (dictionaries and encyclopedias). Data is analyzed qualitatively using the method of legal construction, particularly the concretization of law, to elucidate general rules concerning the repatriation of cultural heritage objects. The research identifies five fundamental reasons for the repatriation of Indonesian cultural heritage objects: (a) Indonesia's status as the original owner; (b) the authentic connection between the country of origin and cultural heritage objects; (c) the right to cultural identity; (d) the obligation of states to protect cultural heritage based on the 1972xiii

Item Type: Thesis (Doktor)
Identification Number: 062301
Divisions: S2/S3 > Doktor Ilmu Hukum, Fakultas Hukum
Depositing User: Annisti Nurul F
Date Deposited: 20 Feb 2025 07:56
Last Modified: 20 Feb 2025 07:56
URI: http://repository.ub.ac.id/id/eprint/237273
[thumbnail of DALAM MASA EMBARGO] Text (DALAM MASA EMBARGO)
Airin Liemanto.pdf
Restricted to Registered users only

Download (15MB)

Actions (login required)

View Item View Item