(Studi Kekosongan Presiden dan Wakil Presiden dalam UUD NRI 1945 dari Segi Sistem Pemerintahan dan Jabatan Pelaksana Tugas Kepresidenan Indonesia Pembatasan Kekuasaan)

Ramadhan, Febriansyah and rof. Dr. Setyo Widagdo, S.H., M. Hum and Dr. Aan Eko Widiarto, S.H., M. Hum and Dr. Riana Susmayant, S.H., M.H; (2024) (Studi Kekosongan Presiden dan Wakil Presiden dalam UUD NRI 1945 dari Segi Sistem Pemerintahan dan Jabatan Pelaksana Tugas Kepresidenan Indonesia Pembatasan Kekuasaan). Doktor thesis, Universitas Brawijaya.

Abstract

Keterbatasan hukum buatan manusia diantaranya tidak mampu mendefinisikan masa depan dengan baik (indefinite future), sifat hukum terbatas untuk mempersiapkan (daftar) masalah yang kemungkinan akan terjadi di masa depan beserta penyelesaiannya. Dalil ini menjadi paradigma dasar untuk menelaah kelanjutan jabatan Presiden dan Wakil Presiden dalam menghadapi kekosongan bersamaan yang tidak bisa diprediksi (unpredictable/stokastik) kapan dan bagaimana terjadi, namun konstitusi dituntut memiliki muatan futuristik untuk mengatasi kejadian tersebut dalam rangka menjaga stabilitas dan kelanjutan pemerintahan. Konstitusi harus menavigasi transisi secara pasti dan penuh kedisplinan dengan kendali penuh oleh teks-teks konstitusi, serta meninggalkan ketergantungannya pada supremasi politik dalam berbagai bentuk. Pasal 8 ayat (3) UUD NRI 1945 menentukan jika Presiden dan Wakil Presiden mengalami kekosongan bersamaan, Menteri Luar Negeri, Menteri Dalam Negeri dan Menteri Pertahanan (bekerja secara collegial) yang terhimpun dalam satu jabatan sebagai pelaksana tugas kepresidenan. Pasal 8 ayat (3) UUD NRI 1945 merupakan lingkup dari ‘hukum suksesi kepresidenan’ (presidential succession law) yang membahas peralihan kekuasaan diluar prosedur normal pemilihan umum. Lingkup hukum suksesi kepresidenan dimulai dari pembahasan mengenai sebab-sebab kekosongan bersamaan terjadi, pejabat sementara pengganti Presiden, hubungan eksekutif-legislatif, hingga metode pemilihan Presiden dan Wakil Presiden baru. Disertasi ini terbatas membahas 2 (dua) lingkup dari luasnya hukum suksesi kepresidenan, yakni pejabat dan kekuasaan pelaksana tugas kepresidenan. Penggunaan Menteri Luar Negeri, Menteri Dalam Negeri dan Menteri Pertahanan sebagai pejabat pelaksana tugas kepresidenan merupakan hasil adopsi dari dari TAP MPR VII/1973 ke dalam Pasal 8 ayat (3) UUD NRI 1945. Warisan institusional orde baru ini masih beradaptasi dan dipertahankan dalam struktur ketatanegaraan terkini yang telah merubah sumber pengisian jabatan Presiden dari yang sebelumnya dipilih MPR (orde baru) menjadi pilihan rakyat secara langsung (saat ini). Perubahan struktur dasar ketatanegaraan dan sistem pemerintahan (dalam amendemen) tidak memberi pengaruh besar terhadap pejabat pelaksana tugas kepresidenan, model tersebut lolos proses dekontekstualisasi terhadap berbagai warisan institusional orde baru dalam amendemen UUD 1945 tahun 1999-2002. Secara langsung, ketentuan Pasal 8 ayat (3) UUD NRI 1945 telah merubah kepemimpinan pemerintahan Indonesia, dari yang semula diisi oleh pejabat yang dipilih rakyat (Presiden) menjadi diisi oleh pejabat yang ditunjuk (Menteri). Secara sadar, Presiden dalam membentuk kabinet juga sedang mempersiapkan sendiri siapa penggantinya di kemudian hari. Kebergantungan Menteri atas penunjukan Presiden, menjadi masalah krusial, apabila kekosongan bersamaan terjadi dalam situasi kabinet belum terbentuk, maka tidak ada yang bisa menggantikan kekosongan. Tidak ada alternatif cadangan kekuasaan yang disediakan saat kekosongan terjadi dan kabinet belum terbentuk. Dari segi pembatasan kekusasaan, UUD NRI 1945 belum optimal mendisiplinkan pelaksana tugas kepresidenan baik durasi jabatan dan kekuasaannya. Dalam literatur konstitusi, batasan itu datang dari batas waktu (maksimal) untuk menyelesaikan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden. Saat terpilih, maka waktu maksimal keterpilihan itu bekerja paralel dengan batasan waktu pelakasana tugas kepresidenan. Adapun Indonesia, batasan waktu terbatas hanya mewajibkan MPR untuk ‘memulai’ sidang pemilihan, tidak ada batas waktu kapan MPR harus selesai dan melantik Presiden dan Wakil Presiden baru. Alhasil masaxi kerja pelaksana tugas kepresiden bergantung pada proses politik parlemen yang tidak menentu. Dari segi kekuasaan, pelaksana tugas kepresidenan dapat melaksanakan seluruh kekuasaan Presiden, karena UUD NRI 1945 tidak membedakan antara pelaksana tugas kepresidenan dengan Presiden. Padahal diantara kekuasaan Presiden melekat dengan identitas (pilihan) rakyat dan ekspresi harapan bangsa. Masalah pembatasan kekuasan menjadi tambahan (daftar) masalah tentang penilaian kualitas institusionalisasi pembatasan kekuasaan dalam UUD NRI 1945. Untuk menganalisis dan menyelesaikan masalah-masalah diatas, disertasi ini dipandu dengan 2 (dua) pertanyaan: pertanyaan pertama bersifat diagnostik, bagaimana pengaturan jabatan pelaksana tugas kepresidenan ditinjau dari sistem pemerintahan dan pembatasan kekuasaan di Indonesia? Pertanyaan kedua bersifat preskriptif, bagaimana pengaturan jabatan pelaksana tugas kepresidenan pada masa akan datang yang sesuai dengan sistem pemerintahan dan pembatasan kekuasaan di Indonesia? Dalam menjawab pertanyaan tersebut, disertasi ini didukung metode penelitian doktrinal dengan berbagai pendekatan (filosofis, peraturan perundang-undangan, sejarah hukum dan perbandingan konstitusi). Pembahasan disertasi ini dimulai (bab 3) dengan meneliti arus utama sistem pemerintahan (Islam, Parlementer dan Presidensial) mengenai kekosongan kepemimpinan yang merupakan esensi kekosongan bersamaan Presiden dan Wakil Presiden. Berbagai informasi sejarah, pengalaman dan ilmu pengetahuan tentang kekosongan kepemimpinan dibahas dalam bagian ini dan turut memberi kontribusi akhir dari disertasi ini. Setelah menelusuri arus utama sistem pemerintahan, bab ini membahas Indonesia dengan dalam dua arena: pengalaman (kasus) sejarah dan perkembangan pengaturan. Bagian ini ditutup dengan menganalisis hukum Indonesia dan menghasilkan temuan masalah seputar pelaksana tugas kepresidenan, baik dari segi sistem pemerintahan dan pembatasan kekuasaan, diantaranya: UUD NRI 1945 tidak membedakan secara teliti antara jabatan Presiden dan pelaksana tugas kepresidenan, UUD NRI 1945 juga merubah status jabatan Presiden dari yang sebelumnya merupakan jabatan yang dipilih (elected official) menjadi jabatan yang ditunjuk (appointment official). Selain perubahan itu, juga terjadi perubahan model kerja jabatan Presiden yang semula bekerja secara tunggal (single chief executive) menjadi collegial executive antar sesama personil dalam pelaksana tugas kepresidenan, dan masalah prinsip pembatasan kekuasaan (konstitusionalisme) juga belum diterjemahkan dengan baik dalam Pasal 8 ayat (3) UUD NRI 1945. Bagian ini menjadi dasar penulis untuk menyajikan proposal perubahan untuk hukum masa depan yang dibahas dalam bab berikutnya. Kesimpulan utama yang dihasilkan dari bagian ini antara lain, tiap-tiap sistem pemerintahan bersifat sui generis dalam menghadapi kekosongan kepemimpinan dan menentukan pejabat sementara yang melanjutkan kekuasaan. Dalam satu sistem pemerintahan-pun, terjadi dinamika yang begitu masif dalam penentuan pejabat. Akan tetapi, persamaan nilai diantara sesamanya ialah mempercepat kekosongan kekuasaan dalam rangka menjaga stabilitas kelanjutan pemerintahan. Mengandalkan peralihan kekuasaan pada proses politik dan parlemen (dalam sistem parlementer) merupakan pelajaran buruk yang tidak bisa dijadikan ajaran untuk pengembangan hukum masa depan. Pada bab 4, pembahasan dilanjutkan seputar perbandingan konstitusi dengan tujuan mencari informasi sejarah, pengalaman dan pengaturan mengenai kekosongan Presiden dan Wakil Presiden. Bagian ini diawali dengan uraian hakikat dari perbandingan konstitusi dan pemaknaan penulis (standing position) terhadap konstitusi berbagai dunia, yakni menempatkan studi perbandingan sebagai media percakapan antar konstitusi dunia, klaimxii penulis untuk menghindari pengadopsian identik dari negara tertentu dan memaknai UUD NRI 1945 sebagai konstitusi inklusif yang menerima masukan dari berbagai perkembangan isu konstitusi dunia. Pada bagian berikutnya, bab ini mendeskripsikan berbagai pengalaman dan pengaturan seputar pelaksana tugas kepresidenan dalam 11 (sebelas) konstitusi dunia. Bagian berikutnya, disertasi ini mengagregasi berbagai fitur-fitur umum dalam konstitusi dunia dan mengkonversinya ke dalam fitur-fitur umum hukum suksesi kepresidenan yang menghasilkan 11 (sebelas) fitur, mulai dari jenis produk hukum yang digunakan dalam mengatur hukum suksesi kepresidenan, hingga masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden baru. Sesuai batasannya, disertasi ini hanya membahas 2 (dua) fitur dari hukum suksesi kepresidenan: pejabat dan kekuasaan pelaksana tugas kepresidenan yang kemudian dianalisis secara kontekstual dalam bagian berikutnya. Untuk pejabat pelakasna tugas kepresidenan dalam trend konstitusi global terbagi menjadi 2 (dua) yakni aktor birokrat (Perdana Menteri/Menteri) dan Aktor Birokrat (Ketua DPR/Ketua Senat). Analisis kontekstual tentang keunggulan dan kekurangan diantara kedua aktor beserta relevansinya dengan sistem pemerintahan dibahas dalam bagian ini. Klaim yang dihasilkan dalam bagian ini melanjutkan sebelumnya, tidak ada relevansi identik antara tiap sistem pemerintahan dengan penentuan pejabat pelaksana tugas kepresidenan. Dalam kerangka sistem presidensial justru terjadi kontestasi antar unsur dalam presidensial, antara kelompok yang mengedepankan aspek demokratis yang mendukung pejabat pelaksana tugas kepresidenan harus dari Ketua DPR/Senat karena mengantongi legitimasi demokratis, melawan, kelompok yang mengedepankan aspek pemisahan kekuasaan tegas yang mendukung pejabat pelaksana tugas kepresidenan harus dari Menteri. Bagian sebelum akhir, disertasi ini memberi perhatian khusus terhadap berbagai penelitian terdahulu, penulis menyelisihinya dengan berbagai kritik tekstual dan kontekstual dalam kerangka ketatanegaraan Indonesia. Akhir disertasi ini ditutup dengan keputusan meninggalkan model lama pelaksana tugas kepresidenan oleh Menteri Luar Negeri, Menteri Dalam Negeri dan Menteri Pertahanan, menggantinya dengan Ketua DPR sebagai pelaksana tugas kepresidenan secara tunggal (single chief) yang bersandar pada 4 (empat) argumentasi: (1) menyeimbangkan kebutuhan legitimasi demokratis dan kesinambungan pemerintahan; (2) kualifikasi kepemimpinan politik yang lebih dekat dengan kualifikasi jabatan Presiden; (3) kepemimpinan tunggal lebih unggul, efisien dan efektif untuk menjalankan agenda-agenda dalam pemerintahan sementara waktu (4) keunggulan dari segi ‘waktu’ di mana Ketua DPR yang lebih dulu dilantik dapat menjawab persoalan kekosongan jabatan Presiden dan Wakil Presiden dalam kondisi kabinet kementerian belum terbentuk. Usulan ini didasarkan pada pertimbangan pilihan (antara aktor birokrat dan aktor legitimasi) dengan risiko terendah yang keduanya telah diuraikan secara proporsional dalam disertasi ini. Aktor birokrat dan aktor legitimasi sama-sama memiliki keunggulan dan kekurangan, namun aktor birokrat memiliki kekurangan yang lebih besar dan keunggulan yang lebih sedikit dibanding aktor legitimasi Ketua DPR sebagai pelaksana tugas kepresidenan dibersamai dengan peningkatan konstitusionalisme (pembatasan kekuasaan) yang mengombinasi antara batasan durasi menjabat pelaksana tugas kepresidenan dengan mempersempit kekuasaan pelaksana tugas kepresidenan. Metode pembatasan durasi jabatan pelaksana tugas kepresidenan ialah dengan menetapkan batas waktu maksimal (paling lama) 30 (tiga puluh) hari sejak kekosongan, MPR harus selesai memilih dan melantik Presiden dan Wakil Presiden baru. Penentuan batas maksimal waktu keterpilihan oleh MPR akan bekerja secara paralelxiii dengan durasi jabatan pelaksana tugas kepresidenan, paling lama 30 (tiga puluh) hari apabila Presiden dan Wakil Presiden baru terpilih dan dilantik, maka demi hukum, pelaksana tugas kepresidenan selesai menjabat dan Ketua DPR kembali pada jabatan semula. Pembatasan durasi waktu 30 (tiga puluh) hari ini bekerja dalam dua arena: memberi kepastian durasi masa kerja pelaksana tugas kepresidenan dan menghindari pemilihan Presiden dan Wakil Presiden oleh MPR dari proses berlarut-larut sehingga menempatkan konstitusi sebagai hukum tertinggi yang mendisiplinkan proses politik pemilihan oleh MPR; dan membatasi pelaksana tugas kepresidenan menjabat dalam durasi tidak menentu yang menghambat terbentuknya pemerintahan baru. Dalam pembatasan terhadap kekuasaan pelaksana tugas kepresidenan, prinsip yang dikedepankan ialah memastikan pelaksana tugas kepresidenan tetap efektif dan fleksibel dalam mengoperasikan kekuasaan sebagaimana Presiden. Pilihan metode untuk merealisasikan usulan yang disajikan dalam disertasi ini melalui (cara tunggal) amendemen UUD NRI 1945 di masa depan, disertasi ini menentang segala macam perbaikan dalam bentuk undang-undang. Kontribusi (teoritis) disertasi ini ialah untuk memperkaya literatur konstitusi dan ketatanegaraan mengenai hukum suksesi kepresidenan yang masih sedikit mendapat perhatian (terra incognita). Adapun kontribusi (praktis) dari disertasi ini sebagai kerangka analisis terhadap konstruksi hukum terkini dan sebagai alat uji kelengkapan materi hukum suksesi kepresidenan, yang seluruhnya dapat menjadi kesatuan paket reformasi institusional untuk meningkatkan derajat UUD NRI 1945 sebagai konstitusi struktural yang memadai. Disertasi ini juga membuka proyek penelitian lebih lanjut, diantaranya isu peningkatan kualitas dan derajat UUD NRI 1945 sebagai konstitusi struktural dalam kerangka hukum suksesi kepresidenan (fitur-fitur lain yang belum terbahas), studi hubungan sipil-militer dalam fase kekosongan kepemimpinan, dan berbagai topik lainnya.

English Abstract

The limitations of man-made law include its inability to adequately define the indefinite future; the nature of law is inherently constrained when it comes to foreseeing potential future issues and their resolutions. This principle serves as a foundational paradigm in examining the continuation of the President and Vice President’s terms in the event of an unforeseen simultaneous vacancy, the occurrence and circumstances of which are unpredictable or stochastic. Nonetheless, the constitution is expected to possess a futuristic framework to address such occurrences in order to safeguard governmental stability and continuity. The constitution must navigate transitions with precision and strict discipline, entirely governed by its texts, thereby eliminating any reliance on the supremacy of political dynamics in any form. Article 8, paragraph (3) of the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia (UUD NRI 1945) stipulates that if both the President and Vice President simultaneously experience a vacancy, the Minister of Foreign Affairs, the Minister of Home Affairs, and the Minister of Defense (acting collegially) shall assume the role of acting President. This provision falls within the scope of 'presidential succession law,' which addresses the transfer of power outside the normal electoral process. The scope of presidential succession law encompasses the causes of simultaneous vacancies, the interim officeholders, executivelegislative relations, and the methods for electing a new President and Vice President. This dissertation focuses on two aspects of the broad realm of presidential succession law, specifically the officeholders and the powers of the acting presidency. The use of the Minister of Foreign Affairs, Minister of Home Affairs, and Minister of Defense as acting officeholders is an adoption of the Decree of the People's Consultative Assembly (MPR) VII/1973 into Article 8, paragraph (3) of the 1945 Constitution. This institutional legacy of the New Order continues to adapt and is maintained within the current state structure, which has transformed the source of presidential appointments from previously being made by the MPR (under the New Order) to being directly elected by the people (today). The amendments to the basic state structure and governmental system have had little impact on the officeholders of the acting presidency; this model survived the decontextualization of various institutional legacies from the New Order in the 1999-2002 amendments to the 1945 Constitution. In effect, Article 8, paragraph (3) of the 1945 Constitution has altered the leadership of the Indonesian government from one filled by elected officials (the President) to one filled by appointed officials (the Ministers). Consciously, the President, in forming the cabinet, is also indirectly preparing his or her own successor. The dependence of the Ministers on the President’s appointment poses a crucial issue, as in the event of a simultaneous vacancy occurring before the cabinet is fully formed, there would be no one to fill the void. There is no provision for an alternative reserve of power in such a scenario where both a vacancy occurs, and the cabinet has not yet been established. From the perspective of power limitation, the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia (UUD NRI 1945) has not yet optimally disciplined the acting presidency in terms of both the duration of office and the scope of its powers. In constitutional literature, such limitations typically arise from a maximum timeframe for completing the election of a President and Vice President. Once elected, the maximum duration of this election process runs in parallel with the tenure of the acting president. However, in Indonesia, the onlyxv temporal limitation imposed is that the People's Consultative Assembly (MPR) is required to 'initiate' the election session, with no specific deadline for when the MPR must conclude the process and inaugurate the new President and Vice President. As a result, the term of the acting presidency is subject to the uncertainties of parliamentary political processes. In terms of power, the acting president is vested with the full authority of the President, as the UUD NRI 1945 does not distinguish between the acting presidency and the presidency itself. However, certain presidential powers are inherently tied to the identity of the people's choice and reflect the aspirations of the nation. This issue of power limitation adds to the broader discourse on the institutionalization of power constraints within the UUD NRI 1945. To analyze and address these issues, this dissertation is guided by two key questions: The first, diagnostic in nature, asks how the role of the acting president is regulated in light of Indonesia’s governmental system and its power limitations. The second, prescriptive in nature, seeks to explore how the role of the acting president should be regulated in the future to align with Indonesia’s system of government and power limitations. In answering these questions, this dissertation employs doctrinal research methods with various approaches, including philosophical, legislative, legal-historical, and comparative constitutional analyses. The discussion in this dissertation begins (Chapter 3) by examining the main streams of government systems (Islamic, Parliamentary, and Presidential) concerning leadership vacancies, which are at the core of the simultaneous vacancy of the President and Vice President. Various historical insights, experiences, and academic perspectives on leadership vacuums are explored in this section, contributing to the final conclusions of the dissertation. After delving into the mainstream governmental systems, the chapter turns to Indonesia, focusing on two areas: historical case studies and regulatory developments. This section concludes by analyzing Indonesian law, identifying issues related to the acting presidency from the perspective of both the governmental system and power limitations. Key findings include: the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia (UUD NRI 1945) does not clearly distinguish between the office of the President and that of the acting president; the UUD NRI 1945 has also shifted the status of the presidency from an elected position to an appointed one. In addition to these changes, the role of the President has transitioned from a single chief executive to a collegial executive shared among members of the acting presidency. Furthermore, the principle of power limitation (constitutionalism) has not been adequately translated in Article 8, paragraph (3) of the UUD NRI 1945. This section provides the foundation for the author's proposals for future legal reforms, discussed in the subsequent chapter. The key conclusions drawn from this section include that each system of government is ‘sui generis’ in dealing with leadership vacuums and determining the interim officeholders to continue the administration. Even within a single system of government, there is considerable dynamism in determining the interim officeholder. However, a common value shared across systems is the need to quickly address leadership vacuums to maintain governmental stability. Relying on political and parliamentary processes to transfer power (as seen in parliamentary systems) is a poor lesson and cannot serve as a model for the development of future laws. In Chapter 4, the discussion turns to a comparative constitutional analysis, aiming to gather historical insights, experiences, and regulations regarding the simultaneous vacancy of thexvi President and Vice President. This section begins with an explanation of the essence of comparative constitutional studies and the author’s standing position on the constitutions of various countries, positioning comparative studies as a dialogue among global constitutions. The author claims to avoid identical adoption from any particular country and views the UUD NRI 1945 as an inclusive constitution open to input from developments in global constitutional issues. The following section describes the experiences and regulations surrounding the acting presidency in 11 world constitutions. Next, this dissertation aggregates common features from global constitutions and converts them into general features of presidential succession law, producing 11 features ranging from the types of legal instruments used to regulate presidential succession law to the term of the new President and Vice President. Within the scope of this dissertation, only two features are analyzed: the officeholders and the powers of the acting presidency, which are then examined contextually in the following section. In global constitutional trends, the role of the acting president typically falls into two categories: bureaucratic actors (Prime Ministers/Ministers) and political actors (Speakers of the House/Senate Presidents). This section provides a contextual analysis of the advantages and disadvantages of each type of actor and their relevance to different governmental systems. The claim advanced here follows earlier assertions: there is no identical relevance between governmental systems and the selection of acting presidents. In presidential systems, there is a contest between two groups: one emphasizing democratic legitimacy, supporting the notion that the acting president should be the Speaker of the House/Senate due to their democratic mandate, and the other emphasizing strict separation of powers, arguing that the acting president should be a minister. Before concluding, the dissertation critically reviews previous studies, providing textual and contextual critiques within the framework of Indonesia’s constitutional structure. The dissertation concludes by rejecting the old model of having the Foreign Minister, Home Affairs Minister, and Defense Minister serve as the acting president, proposing instead that the Speaker of the House assume the role as a single chief executive. This proposal is based on four key arguments: (1) it balances the need for democratic legitimacy with continuity of government; (2) the political leadership qualifications of the Speaker of the House are more aligned with the qualifications of the presidency; (3) a single chief executive is more efficient and effective in carrying out governmental agendas during the interim period; and (4) the Speaker of the House, who is inaugurated earlier, can address the leadership vacuum in situations where the Cabinet has not yet been formed. This recommendation is based on a careful comparison between bureaucratic and legitimacybased actors, concluding that while both have strengths and weaknesses, bureaucratic actors present more significant disadvantages and fewer advantages than legitimacy-based actors. The proposal to have the Speaker of the House as acting president is accompanied by an enhancement of constitutionalism (limiting power), combining restrictions on the duration of the acting presidency with a narrowing of the powers conferred upon the acting president. The method proposed to limit the duration of the acting presidency involves establishing a maximum timeframe of 30 days. Within this period, the MPR must elect and inaugurate a new President and Vice President. This time limit works in parallel with the acting president’s term—once the President and Vice President are elected and inaugurated within 30 days, the acting president's role automatically ends, and the Speaker of the House resumes their original position. This 30-day limit serves two purposes: it providesxvii certainty regarding the duration of the acting president's tenure and prevents the MPR’s electoral process from dragging on, ensuring the constitution disciplines the political process and avoids an indefinite acting presidency that could hinder the formation of a new government. In terms of restricting the powers of the acting president, the principle is to ensure the acting president remains effective and flexible in exercising presidential authority while recognizing their temporary status. The proposed method for realizing this recommendation is through a single avenue: amending the UUD NRI 1945 in the future. The dissertation opposes any improvements through mere legislation. Its theoretical contribution enriches the literature on constitutional law and the presidency succession law, an area that has received limited attention (terra incognita). Practically, the dissertation provides an analytical framework for evaluating the current legal construction and serves as a test tool for assessing the comprehensiveness of presidential succession laws, all of which could form a unified package of institutional reforms to enhance the UUD NRI 1945 as an adequate structural constitution. The dissertation also opens avenues for further research, including improving the quality and standing of the UUD NRI 1945 as a structural constitution within the framework of presidential succession law (addressing features not discussed), exploring civil-military relations during leadership vacancies, and various other topics.

Item Type:	Thesis (Doktor)
Identification Number:	0624010011
Divisions:	S2/S3 > Doktor Ilmu Hukum, Fakultas Hukum
Depositing User:	Unnamed user with username nova
Date Deposited:	17 Feb 2025 07:14
Last Modified:	17 Feb 2025 07:14
URI:	http://repository.ub.ac.id/id/eprint/236868

Text (Keterbatasan hukum buatan manusia diantaranya tidak mampu mendefinisikan masa depan dengan baik (indefinite future), sifat hukum terbatas untuk mempersiapkan (daftar) masalah yang kemungkinan akan terjadi di masa depan beserta penyelesaiannya. Dalil ini m) Febriansyah Ramadhan.pdf Restricted to Registered users only Download (5MB)

Actions (login required)

View Item