Ardhian, Dhike and Ir. Retno Mastuti, M.Agr.Sc., D.Agr.Sc. and Hartinio Natalia Nahampun, Ph.D. (2024) Strategi Peningkatan Asam Amino Pada Kultur Akar Adventif Kedelai (Glycine Max L. Merr) Melalui Pemberian L-Glutamin Dan Stres Peg. Magister thesis, Universitas Brawijaya.
Abstract
Kedelai merupakan salah satu tanaman pangan yang mengandung asam amino dalam jumlah tinggi seperti fenilalanin, histidin, lisin, valin, isoleusin, leusin, tirosin, triptofan, treonin, dan asam amino berbasis sulfur. Asam amino memiliki peran penting dalam proses metabolisme tubuh, memperbaiki sel yang rusak, mendukung pertumbuhan sel tubuh, dan lain-lain. Pada segi budidayanya, tanaman kedelai tumbuh optimal pada daerah subtropis sehingga mampu menghasilkan kandungan nutrisi seperti asam amino yang lebih tinggi dibandingkan pada tanaman kedelai yang ditanam pada daerah tropis. Beberapa faktor lingkungan seperti perbedaan suhu dan panjang hari menyebabkan kandungan asam amino kedelai tidak stabil sehingga diperlukan alternatif metode lain seperti pendekatan kultur kedelai secara in vitro untuk mendapatkan kandungan asam amino yang lebih stabil. Dibandingkan dengan teknik kultur yang lainnya, kultur akar adventif merupakan salah satu metode alternatif yang dapat digunakan untuk produksi senyawa metabolit tanaman seperti asam amino dalam waktu relatif singkat dan mudah dikerjakan. Selain itu, peningkatan asam amino pada kultur in vitro dapat dilakukan dengan cara manipulasi pada faktor internal dan eksternal. Manipulasi faktor internal dapat dilakukan dengan cara pemberian glutamin yang berfungsi sebagai sumber karbon dan nitrogen pada sintesis asam amino melalui proses amidasi dan aminasi. Sedangkan faktor eksternal dapat dilakukan dengan cara pemberian PEG untuk menstimulasi kondisi cekaman osmotik air yang mengakibatkan terjadinya akumulasi asam amino tertentu sebagai respon pertahanan diri. Berdasarkan hal tersebut, penambahan PEG atau glutamin dapat menjadi metode alternatif dalam meningkatkan kandungan asam amino pada kultur akar adventif kedelai. Penelitian ini dilaksanakan pada Bulan Agustus 2023 hingga Desember 2024 di Laboratorium Kultur Jaringan PT BISI International Tbk, Kecamatan Pare, Kabupaten Kediri, JawaTimur dan pengujian asam amino pada akar adventif kedelai in vitro dilaksanakan di Laboratorium Kimia, Universitas Muhammadiyah Malang, Jawa Timur. Akar adventif diinduksi dari hipokotil kecambah kedelai in vitro umur 3 hari atau hipokotil telah berukuran 2 cm menggunakan media MS padat + IBA 2 ppm dan dimultiplikasi pada media MS cair + IBA 2 ppm dengan subkultur setiap 2 minggu. Perlakuan L-glutamin (1 g/L (G01), 2 g/L (G02), 4 g/L (G04), 8 g/L (G08), 16 g/L g/L (G16)) atau PEG (1% (P01), 2% (P02), 4% (P04), 8% (P08), 16% (P16)) diberikan pada awal fase log kultur cair akar adventif kedelai selama 8 hari. Setelah 8 hari perlakuan, dilakukan penimbangan berat basah akar adventif dan ditentukan nilai IP (indeks pertumbuhan). Analisa kandungan asam amino pada kultur akar adventif kedelai hasil perlakuan L-glutamin atau PEG dilakukan menggunakan HPLC. Rancangan penelitian menggunakan rancangan acak kelompok dengan menggunakan dua variabel bebas dua faktor yaitu metode peningkatan asam amino (pemberian L-glutamin / PEG) dan konsentrasi (Lglutamin : 1, 2, 4, 8, 16 g/L dan PEG : 1, 2, 4, 8, 16 %) dengan ulangan setiap perlakuan sebanyakvii 3 kali. Data yang didapat akan dianalisis menggunakan ANOVA dan dilanjutkan dengan uji Duncan. Media induksi akar adventif kedelai yang menggunakan MS padat dengan penambahan IBA 2 mg/L mampu menghasilkan akar adventif pada kultur 2 hari. Jumlah akar primer terus bertambah secara progresif hingga mencapai puncaknya pada umur kultur 10 hari. Pada rentang umur kultur 10 hingga 14 hari, inisiasi akar primer berhenti dan digantikan oleh inisiasi akar lateral. Setelah inisiasi akar adventif kedelai terjadi, tahap selanjutnya adalah multiplikasi. Kurva pertumbuhan pada tahap multiplikasi menunjukkan bahwa fase lag dimulai pada hari ke- 0 hingga 10 hari setelah induksi, fase log berlangsung dari umur kultur 10 hingga 18 hari dengan penambahan berat basah sebesar 0,4 g dari awal inisiasi, dan fase stasioner terjadi setelah umur kultur 18 hari dengan rata-rata berat basah mencapai 1,29 ± 0,193 g. Selama tahap multiplikasi, terjadi peningkatan berat basah akar adventif kedelai sekitar 6,45 kali lipat dari berat basah awal inisiasi. Perlakuan L-glutamin pada kultur akar adventif kedelai menyebabkan penurunan berat basah dan inisiasi akar lateral seiring dengan peningkatan konsentrasi L-glutamin yang diberikan. Penurunan berat basah tertinggi ditunjukkan pada perlakuan G16 dengan penurunan sebanyak 72,5% dari 0,91 ± 0,05 g menjadi 0,25 ± 0,02 g dari berat basah akar adventif kontrol. Selain itu, nilai IP akar adventif kedelai memiliki pola menurun seiring dengan peningkatan konsentrasi L-glutamin yang diberikan. Hal ini menunjukkan bahwa perlakuan L-glutamin memiliki korelasi negatif dengan berat basah akar adventif kedelai in vitro. Hal serupa juga terlihat pada perlakuan PEG pada akar adventif kedelai in vitro. Peningkatan konsentrasi PEG sebanyak 16% (P16) mengakibatkan penurunan inisiasi akar, menghasilkan penurunan berat basah dari 0,91 ± 0,05 menjadi 0,27 ± 0,05 g. Hasil analisis HPLC mengindikasikan adanya pola peningkatan kuantitatif 20 asam amino dan total asam amino seiring dengan peningkatan konsentrasi L-glutamin dan PEG pada akar adventif kedelai in vitro. Asam amino Gln memiliki kandungan paling rendah, sementara Glu memiliki kandungan tertinggi. Total kandungan 20 asam amino tertinggi dihasilkan dari perlakuan L-glutamin dan PEG pada konsentrasi tertingginya, yaitu G16 (L-glutamin 16g/L) dan P16 (PEG 16%) sebanyak 46,7 ± 2 mg/g BB dan 48,2 ± 0,8 mg/g BB. Selain itu, terdapat pola perubahan persentase kelimpahan asam amino yang sama pada akar adventif kedelai in vitro perlakuan L-glutamin dan PEG. Peningkatan konsentrasi L-glutamin atau PEG menyebabkan asam amino dengan persentase kelimpahan rendah (< 6% dari total asam amino) cenderung memiliki pola meningkat sedangkan asam amino dengan kelimpahan tinggi (> 6% dari total asam amino) cenderung memiliki pola menurun. Asam amino Asn memiliki pola yang berbeda dengan kedua kelompok tersebut sehingga digolongkan dalam kelompok tersendiri. Analisis multivariat menunjukkan adanya pemisahan signifikan antara kontrol dan perlakuan, dengan Gln sebagai asam amino yang paling berkontribusi perlakuan L-glutamin maupun PEG pada akar adventif kedelai in vitro. Dari hasil analisis korelasi diketahui bahwa korelasi antar asam amino yang diuji menunjukkan hubungan yang kuat dengan nilai korelasi > 0,9.
English Abstract
Soybean is one of the food crops that contained high amounts of amino acids such as phenylalanine, histidine, lysine, valine, isoleucine, leucine, tyrosine, tryptophan, threonine, and sulfur-based amino acids. Amino acids play an important role in the body metabolic processes, repairing damaged cells, supporting cell growth, etc. Soybean thrived optimally in subtropical regions, thus capable of producing higher levels of nutrients such as amino acids than in tropical regions. Various environmental factors such as temperature variations and photoperiodism caused the amino acid content of soybeans to be unstable, hence alternative methods such as in vitro soybean culture approaches were needed to obtain more stable amino acid content. Compared to other culture techniques, adventitious root culture was one alternative method that could be used to produce plant metabolite compounds such as amino acids relatively quickly and easily. Additionally, increasing amino acids in in vitro culture could be achieved through manipulation of internal and external factors. The effectiveness of internal factor manipulation could be enhanced by providing glutamine, which acted as a carbon and nitrogen source for amino acid synthesis through amidation and amination processes. External factor manipulation could be achieved by adding PEG to induce drought stress conditions, leading to the accumulation of specific amino acids as a defense response. Therefore, the addition of PEG or glutamine could be an alternative method to increase the amino acid content in soybean adventitious root culture. This study was conducted from August 2023 to December 2024 at the Tissue Culture Laboratory of PT BISI International Tbk, Kediri, East Java, and the amino acid analysis on in vitro soybean adventitious roots was conducted at the Chemistry Laboratory, Muhammadiyah University, Malang, East Java. Adventitious roots were induced from 3-day-old soybean hypocotyls or 2 cm-sized hypocotyls using solid MS + 2 ppm IBA media and multiplied on liquid MS + 2 ppm IBA media with subculture every 2 weeks. L-glutamine (1 g/L (G01), 2 g/L (G02), 4 g/L (G04), 8 g/L (G08), 16 g/L g/L (G16)) or PEG (1% (P01), 2% (P02), 4% (P04), 8% (P08), 16% (P16)) treatments were applied at the beginning of the log phase of soybean adventitious root liquid culture for 8 days. After 8 days of treatment, the fresh weight of adventitious roots was weighed and the growth index (GI) value was determined. The analysis of amino acid content in soybean adventitious root culture treated with L-glutamine or PEG was conducted using HPLC. The research design used a randomized complete block design with two independent variables, two factors: amino acid enhancement method (L-glutamine or PEG application) and concentration (L-glutamine: 1, 2, 4, 8, 16 mg/L and PEG: 1, 2, 4, 8, 16 %), with each treatment replicated three times. The data obtained were analyzed using ANOVA and followed by Duncan's test.ix The soybean adventitious root induction medium using solid MS with the addition of 2 mg/L IBA was capable of inducing adventitious roots on the second day after culture initiation. The number of primary roots continued to increase progressively until reaching its peak at 10 days after initiation. During of 10 to 14 days after initiation, the initiation of primary roots stopped and was replaced by lateral root initiation. After the initiation of soybean adventitious roots occurred, the next stage was multiplication. The growth curve during the multiplication stage indicated that the lag phase started on day 0 until 10 days after subculture, the log phase occurred from 10 to 18 days after subculture with an elevation in fresh weight by 0.4 g from the initial weight, and the stationary phase occurred after 18 days after subculture with an average 1.29 ± 0.193 g FW. During the multiplication stage, there was an increase in soybean adventitious root fresh weight by approximately 6.45 times from the initial fresh weight. The treatment of L-glutamine on soybean adventitious root culture resulted in decreased fresh weight and lateral root initiation along with the increase in the L-glutamine concentration. The highest decrease in fresh weight was observed in the G16 treatment with a reduction of 72.5% from 0.91 ± 0.05 g FW to 0.25 ± 0.02 g FW of control adventitious root. Additionally, the GI value of soybean adventitious roots decreased along with the increase in the given Lglutamine concentration. This indicates that the L-glutamine treatment had a negative correlation with the fresh weight of soybean adventitious roots in vitro. A similar trend was observed in the PEG treatment on in vitro soybean adventitious roots. Increasing PEG concentration by 16% (P16) decreased root initiation, reducing fresh weight from 0.91 ± 0.05 g FW to 0.27 ± 0.05 g FW. HPLC analysis showed a quantitative increase in 20 amino acids and total amino acids with higher L-glutamine and PEG concentrations in vitro soybean adventitious roots. Gln had the lowest content, whereas Glu had the highest. The highest total content of 20 amino acids was produced from L-glutamine and PEG treatments at their highest concentrations, specifically G16 (46.7 ± 2 mg/g FW) and P16 (48.2 ± 0.8 mg/g FW). Furthermore, there was a trend of change in the percentage abundance of amino acids in vitro soybean adventitious roots treated with L-glutamine and PEG. An increase in L-glutamine or PEG concentration caused amino acids with low abundance (< 6% of total amino acids) to tend to increase while amino acids with high abundance (> 6% of total amino acids) tended to decrease. Asparagine (Asn) had a different trend from both groups and was therefore classified into a separate group. Multivariate analysis showed significant separation between control and treatment, with Gln as the most contributing amino acids in vitro soybean adventitious roots. Correlation analysis results revealed strong relationships among the tested amino acids with correlation values > 0.9.
Item Type: | Thesis (Magister) |
---|---|
Identification Number: | 0424090051 |
Divisions: | S2/S3 > Magister Biologi, Fakultas MIPA |
Depositing User: | Unnamed user with username nova |
Date Deposited: | 16 Jan 2025 02:46 |
Last Modified: | 16 Jan 2025 02:46 |
URI: | http://repository.ub.ac.id/id/eprint/234072 |
![]() |
Text (DALAM MASA EMBARGO)
Dhike Ardhian.pdf Restricted to Registered users only Download (3MB) |
Actions (login required)
![]() |
View Item |