Rekonstruksi Pengaturan Hak Prioritas Masyarakat Hukum Adat Dalam Tata Kelola Kepariwisataan Nasional Berkelanjutan

Prasada, Dewa Krisna and Prof. Dr. I Nyoman Nurjaya, S.H., M.S and Dr. Rachmi Sulistyarini, S.H., M.H and Dr. Muktiono, S.H., M.Phil (2024) Rekonstruksi Pengaturan Hak Prioritas Masyarakat Hukum Adat Dalam Tata Kelola Kepariwisataan Nasional Berkelanjutan. Doktor thesis, Universitas Brawijaya.

Abstract

Kepariwisataan merupakan program vital setiap negara untuk meningkatkan pemasukan devisa dan mendukung pembangunan nasional. Di Indonesia, pariwisata merupakan bagian penting pembangunan yang terencana, multidisiplin, dan multidimensi. Pemerintah dan pemerintah daerah meningkatkan sarana dan prasarana pariwisata untuk menarik minat wisatawan mancanegara. Dalam konteks Pancasila, Indonesia dengan potensi pariwisata yang melimpah harus memberikan perhatian lebih pada industri pariwisata agar kesejahteraan masyarakat terjamin. Pembangunan pariwisata bertujuan untuk memajukan kesejahteraan umum, termasuk masyarakat hukum adat, sesuai dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia dan undang-undang yang mengakui hak-hak tradisional masyarakat hukum adat. Dalam hal ini, Indonesia harus mengoptimalkan sumber daya alamnya, seperti bumi, air, dan kekayaan alam lainnya, untuk kemakmuran rakyat. Undang-undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan (UU Kepariwisataan) mengatur pelaksanaan Pasal 33 Ayat (5) UUD Tahun 1945 terkait pengelolaan sumber daya alam dalam industri pariwisata. Daya tarik wisata, baik yang alami maupun buatan manusia, menjadi unsur penting dalam pengembangan pariwisata. Namun, UU Kepariwisataan belum cukup memadai dalam melindungi hak-hak masyarakat hukum adat yang memiliki nilai budaya yang sifatnya signifikan sebagai modal pengembangan kepariwisataan. Hak prioritas masyarakat hukum adat masih belum jelas dan konkret dalam undang-undang tersebut. Penjelasan Pasal 19 Ayat (2) hanya mengakui hak individu dan kelompok masyarakat dalam memanfaatkan sumber daya untuk kepentingan bisnis pariwisata. Ketidaklengkapan norma ini menunjukkan perlunya penegasan mengenai pemenuhan hak prioritas masyarakat hukum adat. Problematika filsafat dalam penelitian ini adalah mengkaji kedudukan masyarakat hukum adat dalam pembangunan industri pariwisata berkelanjutan. Masyarakat hukum adat memiliki ikatan tradisional yang penting dalam menjaga harta warisan dan wilayah adat. Dalam industri pariwisata di Indonesia, mereka harus mendapatkan hak prioritas sebagai pengelola destinasi wisata di wilayah adat, yang diatur dalam Pasal 19 Ayat (2) UU Kepariwisataan. Secara epistimologi Pasal 19 Ayat (2) UU Kepariwisataan, hanya memberikan hak prioritas terhadap masyarakat yang di sekitar destinasi pariwisata. Dengan adanya ketentuan di atas maka seyogyanya hak prioritas terkait tata kelola kepariwisataan nasional hanya diberikan kepada masyarakat hukum adat, tanpa ada pihak-pihak lain yang ikut mengaturnya. Perspektif aksiologi tentang hak-hak prioritas menunjukkan bahwa masyarakat hukum adat memperoleh keuntungan dari kontrol atas pariwisata nasional. Problematika teori dalam penelitian ini yaitu terkait bagaimana mengkonstruksikan teori-teori agar bisa menjelaskan, memaparkan, dan memberikan ide baru terkait hak prioritas masyarakat hukum adat dalam tata kelola kepariwisataan nasional berkelanjutan, guna memelihara nilai-nilai keadilan dan terciptanya kesejahteraan yang progresif Ketidaklengkapan norma dalam UU Kepariwisataan sebagaimana yang dijelaskan di atas melahirkan problem yuridis dalam Pasal 19 Ayat (2) UU Kepariwisataan. Isu lain di bawah dimensi sosial berkaitan dengan keutamaan hak-hak masyarakat hukum adat dalam penyelenggaraan pariwisata. Isu ini dikaji melalui lensa sosiologis, yang secara khusus berfokus pada tantangan yang muncul di dalam masyarakat hukum adat itu sendiri ketika berkolaborasi dengan pemangku kepentingan lain dalam tatax kelola sebuah destinasi pariwisata. Berdasarkan urian di atas maka menghasilkan beberapa permasalahan sebagai berikut: 1. Apa makna hak prioritas masyarakat hukum adat dalam tata kelola kepariwisataan nasional berkelanjutan? 2. Mengapa diperlukan urgensi pengaturan hak prioritas bagi masyararakat hukum adat dalam tata kelola kepariwisataan berkelanjutan? 3. Bagaimana pengaturan hak prioritas masyarakat hukum adat dalam pembangunan kepariwisataan nasional yang berkeadilan dan berkelanjutan? Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk menemukan dan merumuskan mengenai konsep hak prioritas dari masyarakat hukum adat dalam tata kelola kepariwisataan yang berkelanjutan, serta merumuskan peran masyarakat hukum adat dalam pengelolaan destinasi wisata dilihat dari perspektif ius constituendum yang sesuai dengan hukum positif di Indonesia serta nilai-nilai keadilan sosial. Adapun tujuan khusus dalam penelitian ini antara lain: Mengkaji makna hak-hak prioritas masyarakat hukum adat dalam regulasi pariwisata yang berkelanjutan dan adil. Mengkaji perlunya menetapkan peraturan untuk mengutamakan hak prioritas masyarakat hukum adat dalam pengelolaan pariwisata berkelanjutan. Untuk menemukan dan merumuskan peraturan yang memastikan hak prioritas masyarakat hukum adat dalam pengelolaan pariwisata yang berkelanjutan dan berkeadilan. Penelitian ini memberikan manfaat teoritis dalam pengelolaan pariwisata berkelanjutan dan solusi terkait hak prioritas masyarakat hukum adat sebagai pengelola destinasi pariwisata, serta manfaat praktis dalam memperkaya penelitian hukum pariwisata, memberikan pemahaman kepada berbagai pihak terkait, dan memberikan kontribusi kepada investor dan pihak swasta dalam pengembangan destinasi pariwisata berkelanjutan. Berdasarkan hasil analisis dalam disertasi ini maka menghasilakan suatu temuan yaitu Hak prioritas masyarakat hukum adat dalam tata kelola kepariwisataan nasional memiliki makna yaitu hak masyarakat hukum adat yang harus didahulukan demi memenuhi kesejahteraan. Sebagaimana corak dari masyarakat hukum adat yaitu tradisional dan religius magis, maka aspek yang hendak didahulukan dalam pembangunan dan pengembangan kepariwisataan yaitu ha-hak tradisional budaya dan agama serta adat istiadat masyarakat hukum adat yang dikemas melalui kearifan lokal berdasarkan prinsip-prinsip HAM dan keadilan sosial. Pentingnya mengatur hak prioritas masyarakat hukum adat dalam tata kelola pariwisata didasarkan pada prinsip pengelolaan lingkungan alam dan tradisi budaya yang khusus bagi mereka. Dalam pembangunan dan pengelolaan pariwisata, pemerintah harus memberikan prioritas kepada masyarakat adat untuk mengembangkan industri pariwisata. Tanpa keberadaan tradisi budaya dan kearifan lokal, pengembangan pariwisata alam tidak akan berhasil. Oleh karena itu, dalam tata kelola pariwisata berkelanjutan, penting untuk memperhatikan hak prioritas masyarakat hukum adat dalam mengakses sumber daya alam untuk pariwisata, serta memberdayakan tradisi budaya dan kearifan lokal. Dengan memberikan hak-hak ini kepada masyarakat hukum adat, Indonesia sebagai negara yang berbasis hukum kesejahteraan dapat mencapai tujuan meningkatkan ekonomi dan kesejahteraan melalui sektor pariwisata. Pembangunan kepariwisataan berkelanjutan harus berbasis pada masyarakat hukum adat melalui kebijakan yang berbasis kolaboratif atau dapat menggunakan community-based development tourism. Salah satu bentuk kebijakan ini adalah memberikan hak prioritas kepada masyarakat hukum adatxi dalam proses pembangunan pariwisata yang berkelanjutan. Dalam lima negara, yaitu Indonesia, Thailand, India, China, dan Amerika, aspek keberlanjutan dan pemberdayaan masyarakat hukum adat menjadi fokus utama dalam undangundang pariwisata nasional. Untuk memperkuat ketentuan Pasal 19 ayat (2) undang-undang pariwisata, perlu ada penambahan Pasal 19 (3) yang secara eksplisit mengatur hak prioritas masyarakat hukum adat dalam pengembangan pariwisata, termasuk hak berdasarkan tradisi budaya, agama, adat istiadat, hasil keuntungan retribusi kepariwisataan, pemberdayaan melalui program pelatihan kerja yang bersertifikasi, serta pedoman kerja sama dalam pengelolaan daya tarik wisata. Penelitian ini merekomendasikan perumusan ketentuan yang eksplisit mengenai kedudukan masyarakat hukum adat dalam undang-undang kepariwisataan dan pemenuhan hak-hak mereka terkait tata kelola pariwisata berkelanjutan, serta perlunya peraturan delegasi yang menentukan terkait pelaksanaan Pasal 53 dan Pasal 54 perihal pemberian sertifikasi kepada pekerja dan pengelolan pariwisata, dimana dalam peratruan tersebut terdapat klausul pasal yang khusus menentukan pemberian sertifikasi kepada masyarakat hukum adat dalam pengelolaan daya tarik wisata berkelanjutan. Pemerintah daerah perlu mengoptimalkan sumber daya alam, budaya, dan manusia dalam pengembangan kepariwisataan berbasis masyarakat hukum adat melalui pemberdayaan sumber daya manusia, dengan membentuk kebijakan kepariwisataan yang mengakui kearifan lokal, sehingga dapat memenuhi hak prioritas masyarakat hukum adat dan melengkapi ketidaklengkapan norma dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan. Perlu adanya rumusan ketentuan lebih lanjut secara eksplisit mengenai kedudukan masyarakat hukum adat yang dapat dituangkan dalam Pasal 1 ketentuan umum dalam undang-undang kepariwisataan dan pemenuhan hak-hak masyarakat hukum adat terkait ketentuan tata kelola kepariwisataan dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan. Selain itu perlu ditentukan secara eksplisit mengenai hak prioritas bagi masyarakat hukum adat dalam Pasal 19 menjadi Pasal 19 ayat (3) yang menentukan mengenai Hak prioritas sebagaimana ketentuan pada ayat (2). Hal di atas penting dilaksanakan karena cenderung berdampak pada kekaburan atau ketidakpastian bagi kedudukan masyarakat hukum adat dalam pembangunan kepariwisataan. Untuk menghindari hal di atas, maka penelitian ini merekomendasikan kepada para legislatif selaku pembuat Undang-Undang untuk merumuskan ketentuan kedudukan masyarakat hukum adat dalam undang-undang kepariwisataan. Penelitian ini juga merekomendasikan kepada Pemerintah Indonesia untuk membuat Peraturan Delegasi Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Sertifikasi Pekerja dan Pengusaha Pariwisata yang di dalamnya memuat ketentuan khusus terkait hak prioritas yang diberikan kepada masyarakat hukum adat. Selain itu, melalui ketentuan Pasal 6 UU Kepariwisataan, penelitian ini merekomendasikan kepada Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif untuk membuat Peraturan Menteri Pariwisata tentang Pedoman Standar Perjanjian Kerjasama Pembangunan Kepariwisataan yang berkelanjutan, dengan menganut paradigma pembangunan pariwisata berbasis kolaborasi. Dengan adanya ketentuan di atas, maka baik peraturan pemerintah dan peraturan daerah harus menjadikan rujukan dalam membentuk kebijakan pembangunan kepariwisataan dengan berdasarkan ketentuan di atas.xii Penelitian ini masih memiliki banyak kekurangan dalam pembahasan mengenai pemenuhan hak-hak masyarakat hukum adat dalam pengelolaan kepariwisataan. Selain itu penelitian ini belum membahas secara rinci tentang bentuk perjanjian kerja sama pengelolaan daya tarik wisata berbasis masyarakat hukum adat dan pemberian sertifikasi pekerja pariwisata bagi masyarakat hukum adat. Untuk itu penelitian ini merekomendasikan kepada para peneliti atau mahasiswa S3 untuk melanjutkan penelitian ini lebih lanjut, karena masih banyak aspek yang belum dibahas mengenai hak-hak masyarakat hukum adat dalam pembangunan kepariwisataan nasional di Indonesia.

English Abstract

Tourism is an essential initiative in any country to enhance foreign currency earnings and bolster economic progress. Tourism plays a crucial role in Indonesia's planned, diversified, and multidimensional development. The government and municipal authorities enhance tourism amenities and infrastructure to lure international tourists. Within the framework of Pancasila, it is imperative for Indonesia, which possesses significant tourist potential, to prioritize the development of the tourism industry to ensure its citizens' well-being. Tourism development aims to enhance the well-being of the general public, including indigenous communities, in line with the ideals of the Unitary State of the Republic of Indonesia and legislation that acknowledges the customary rights of indigenous peoples. Indonesia should maximize the utilization of its natural resources, including land, water, and other resources, to enhance the welfare of its population. The Tourism Law, enacted as Law Number 10 of 2009, governs the application of Article 33 Paragraph (5) of the 1945 Constitution, which pertains to managing natural resources within the tourism sector. Tourist attractions, whether created by nature or by humans, play a significant role in the advancement of tourism. Nevertheless, the Tourism Law fails to adequately safeguard the rights of indigenous peoples, who possess invaluable cultural assets that can contribute to the advancement of tourism. The legal status of indigenous peoples' priority rights remains ambiguous and lacks specificity. Article 19 Paragraph (2) solely acknowledges the entitlements of people and community organizations to utilize resources to advance tourism enterprises. The lack of completeness in this norm highlights the necessity for explicit confirmation to fulfill the priority rights of indigenous peoples. This study aims to analyze indigenous peoples' role in establishing a sustainable tourist sector, focusing on the philosophical issue at hand. Customary law communities are crucial in protecting indigenous heritage and lands through their significant historic connections. According to Article 19 Paragraph (2) of the Tourism Law, managers of tourist locations in customary lands in Indonesia must be given priority privileges in the tourism business. Regarding the study of the origin and meaning of words, Article 19 Paragraph (2) of the Tourism Law specifically grants preferential rights to the local people residing near tourism hotspots. Priority rights for national tourism governance should be exclusively granted to customary law communities, excluding other parties from participating in its regulation. From an axiological standpoint, it can be argued that indigenous peoples derive advantages from having authority over national tourism. The theoretical problems in this study are related to how to construct theories to explain, explain, and provide new ideas related to the priority rights of indigenous peoples in sustainable national tourism governance to maintain the values of justice and the creation of progressive welfare. As described above, the incompleteness of norms in the Tourism Law gives birth to juridical problems in Article 19 Paragraph (2) of the Tourism Law. Another issue under the social dimension relates to the priority of the rights of indigenous peoples in the implementation of tourism. This matter is analyzed from a sociological perspective, notably emphasizing indigenous peoples' difficulties when working with other parties in managing a tourism location. The requirements above give rise to several issues as outlined below: 1. What is the significance of prioritizing the rights of indigenous peoples in the governance of sustainable national tourism? 2. What isxiv the rationale behind establishing priority rights for indigenous peoples in sustainable tourist governance? 3. How can indigenous peoples' priority rights be regulated to ensure their involvement in developing a fair and sustainable national tourism industry? The main aim of this study is to identify and develop the idea of priority rights for indigenous peoples in the governance of sustainable tourism. Additionally, it aims to define the role of indigenous peoples in the management of tourist destinations, considering the perspective of the ius constituendum in line with the positive law in Indonesia and the values of social justice. The primary aim of this study is to evaluate the significance of the priority rights of indigenous peoples in the context of sustainable and equitable tourism management. It is assessing the necessity of implementing rules to give precedence to the fundamental entitlements of indigenous communities in the administration of sustainable tourism. The objective is to identify and develop legislation that guarantees the importance of indigenous people's rights in promoting sustainable and fair tourism. The research conducted in this dissertation reveals that the priority rights of customary law communities in national tourism governance are significant. These rights must be given precedence to ensure these communities' well-being. In customary law societies characterized by traditional and religious values, the focus in tourism development should be on preserving and promoting traditional cultural and religious rights. This can be achieved by showcasing customary law communities and their local wisdom while adhering to human rights and social justice principles. The significance of overseeing the priority rights of customary law communities in tourism governance is rooted in the principles of managing the unique natural environment and cultural traditions inherent to these communities. The government should prioritize Indigenous peoples in developing and managing the tourism industry. The success of natural tourism development is contingent upon the presence of cultural traditions and local wisdom. Hence, in the context of sustainable tourism governance, it is crucial to prioritize the customary rights of indigenous groups in terms of accessing natural resources for tourism. Additionally, it is essential to empower cultural traditions and local knowledge. By bestowing these rights upon customary law communities, Indonesia, as a nation governed by welfare law, can effectively enhance the economy and welfare through the tourism industry. Sustainable tourism development should be founded on the principles of customary law communities, utilizing collaborative-based policies or communitybased development tourism. One approach to implementing this strategy is to grant preferential privileges to customary law groups while developing sustainable tourism. The primary emphasis of national tourism laws in five nations, including Indonesia, Thailand, India, China, and the United States, is on promoting the sustainability and empowerment of customary law communities. To enhance the provisions stated in Article 19 paragraph (2) of the tourism law, it is imperative to introduce Article 19 (3), which governs explicitly the priority rights of customary law communities in the realm of tourism development. These rights encompass various aspects such as cultural traditions, religions, customs, the allocation of tourism levies, empowerment through certified job training programs, and guidelines for collaboration in the administration of tourist attractions.x

Item Type: Thesis (Doktor)
Identification Number: 0624010006
Divisions: S2/S3 > Doktor Ilmu Hukum, Fakultas Hukum
Depositing User: Unnamed user with username nova
Date Deposited: 18 Nov 2024 02:44
Last Modified: 18 Nov 2024 02:44
URI: http://repository.ub.ac.id/id/eprint/232725
[thumbnail of DALAM MASA EMBARGO] Text (DALAM MASA EMBARGO)
Dewa Krisna Prasada.pdf
Restricted to Registered users only

Download (9MB)

Actions (login required)

View Item View Item