Warandoy, Febryanto Umbu Nggau and Prof. Dr. I Nyoman Nurjaya, S.H., M.H and Dr. Herlindah,, , S..H., M.kn (2024) Penyelesaian Sengketa Hak Atas Tanah Ulayat Antara Pemerintah Dengan Masyarakat Hukum Adat Anamburung Sumba Timur. Magister thesis, Universitas Brawijaya.
Abstract
Tesis ini menganalisis mengenai sengketa tanah ulayat yang terjadi pada tahun 2021 di Kabupaten Sumba Timur melibatkan hak atas tanah ulayat yang digunakan Pemerintah Provinsi menjadi lahan peternakan sapi. Pemerintah yang bersengketa dengan masyarakat hukum adat Anamburung terkait pemberian Hak Guna Usaha kepada PT. ASIABEEF. Pemerintah di anggap telah mengambil hak atas tanah ulayat mereka, karena tanah ulayat tersebut dikatakan tercatat dalam aset Pemerintah Provinsi. Klaim sepihak tersebut yang mengatakan bahwa tanah ulayat telah dialihkan yang membuat awal mula pemicu sengeketa antara pemerintah dengan masyarakat hukum adat anamburung. Rumusan masalah dalam tesis ini makna tanah ulayat bagi masyarakatadat Anamburung, dan bagaimana proses penyelesaian sengketa hak atas tanah ulayat tersebut. Penelitian ini menggunakan metode penelitian empiris dengan pendekatan Atropologi Hukum. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan dan menganalisis makna tanah ulayat di masyarakat hukum adat Anamburung Sumba Timur serta mendeskripsikan dan menganalisis bagaimana penyelesaian sengketa atas tanah ulayat antara pemerintah dan masyarkat hukum adat sumba. Hasil dari studi menjelaskan makna tanah ulayat bagi masyarakat adat Anamburung sendiri, tanah ulayat mengandung arti yang sangat penting. Tidak hanya sekedar memiliki nilai ekonomis, tetapi juga memiliki nilai religius. Pandangan filosofis masyarakat adat Anamburung menganggap tanah sebagai “ibu” bagi mereka, sehingga apapun dan bagaimanapun caranya harus dipertahankan. Kemudian Proses penyelesaian sengketa hak atas tanah di Masyrakat Anamburung dilakukan secara non litigasi yaitu secara musyawarah untuk diperoleh kesepakatan antara masyarakat adat dengan Pemerintah Provinsi. Terdapat tiga (3) tahapan yaitu negosiasi, tahapxii musyawarah dan tahap pelaksanaan putusan damai. Pada tahap negotiation belum adanya bukti otentik, pada tahap musyawarah dicapai kesepakatan yaitu masalah tanah yang di sengketakan merupakan tanah ulayat yang sudah dialihkan (tetapi tidak beralih menjadi hak tanah negara) oleh kepala adat Anamburung. Pada tahap pelaksanaan putusan damai (Hori Pandami) dilakukan upacara adat dengan menyediakan binatang ternak (dua babi dan dua sapi) serta pengakuaan dan penghormatan dari pemerintah kepada masyarakat adat bahwa hak ulayat boleh digunakan oleh pemerintah untuk kepentingan pembangunan berupa (uang sirih pinang) yang tidak disebutkan nominalnya diberikan kepada Kepala Adat (Maramba) Anamburung Desa Kabaru. Saran bagi pemerintah perlu dibentuknya Perda tentang ketentuan tanah-tanah ulayat di Kabupaten Sumba Timur, sehingga terlihat jelas aturanaturan tentang eksistensi tanah-tanah ulayat di Kabupaten Sumba Timur, dan penggunaan tanah ulayat yang dilakukan oleh pemerintah seharusnya, bersifat adil juga kepada masyarakat agar tidak merugikan masyarakat adat setempat, karena status tanah ulayat tersebut tidak beralih menjadi tanah negara. Bagi masyarakat adat Kepala adat (Maramba) melakukan upaya secara aktif untuk mensosialisasikan kepada anggota masyarakatnya mengenai status tanah ulayat disertai dengan luas, batas dan cara pemanfaatannya. Bagi investor dalam Kawasan tanah ulayat terdapat zonazona sakaral yang harus di jaga dan tidak dirusak keberadaannya, serta pemanfaatnya harus sesuai dengan konservasi, dan perlu di tambakan lagi pekerja di PT.ASIABEEF.
English Abstract
This thesis analyses a dispute over ulayat land occurring in 2021 in East Sumba Regency, involving ulayat land rights used by the Provincial Government for a cattle farming area. A dispute arose between the government and the Anamburung indigenous community regarding the granting of a Cultivation Rights Title to PT. ASIABEEF. The government is perceived to have seized their ulayat land rights, as the ulayat land was claimed to be recorded as a Provincial Government asset. This unilateral claim that the ulayat land had been transferred sparked the conflict between the government and the Anamburung indigenous community. The key issues explored in this thesis include the significance of ulayat land to the Anamburung indigenous community and the process of resolving the dispute over these ulayat land rights. The research employs an empirical method with a Legal Anthropology approach. The study aims to describe and analyse the significance of ulayat land to the Anamburung Indigenous community in East Sumba and to describe and analyse how the dispute over ulayat land between the government and the Indigenous community of Sumba was resolved. The study findings reveal that ulayat land holds deep significance for the Anamburung indigenous community. It is not only of economic value but also carries religious importance. The community's philosophical view considers the land a "mother," meaning it must be defended at all costs. Resolving the land rights dispute in the Anamburung community was conducted through non-litigation, specifically through deliberation to reach an agreement between the Indigenous community and the Provincial Government. There are three stages: negotiation, deliberation, and the implementation of a peace agreement. During the negotiation stage, no authentic evidence was presented. In the deliberation stage, an agreementxiv was reached that the disputed land was indeed ulayat land that had been transferred (but not converted into state land) by the Anamburung chief. In the implementation of the peace agreement (Hori Pandami), a traditional ceremony was held, involving the offering of livestock (two pigs and two cows) and the government's recognition and respect for the Indigenous community's rights, allowing the government to use the ulayat land for development purposes. This was symbolised by the presentation of "sirih pinang money," the amount of which was not specified, to the Anamburung Chief (Maramba) of Kabaru Village. The thesis recommends that the government establish regional regulations concerning the management of ulayat land in East Sumba Regency to clarify the rules regarding the existence and use of ulayat land in the region. The use of ulayat land by the government should be fair to the community to avoid disadvantaging the local indigenous population, as the status of ulayat land does not transfer to state land. For the Indigenous community, the chief (Maramba) should actively introduce the status of ulayat land to community members, including its size, boundaries, and utilisation methods. For investors, it is essential to recognise that certain sacred zones within ulayat land must be preserved and not damaged, and their use should align with conservation efforts. Additionally, it is suggested that more workers be employed at PT. ASIABEEF.
Item Type: | Thesis (Magister) |
---|---|
Identification Number: | 0424010013 |
Divisions: | Fakultas Hukum > Ilmu Hukum |
Depositing User: | Unnamed user with username nova |
Date Deposited: | 15 Oct 2024 02:31 |
Last Modified: | 15 Oct 2024 02:31 |
URI: | http://repository.ub.ac.id/id/eprint/231607 |
Text (DALAM MASA EMBARGO)
Febryanto Umbu Nggau Warandoy.pdf Restricted to Registered users only Download (23MB) |
Actions (login required)
View Item |