Wijaya, Putu Reditha Cahyani and Ranitya Ganindha,, S.H., M.H. and Afrizal Mukti Wibowo,, S.H., M.H., (2024) Analisis Yuridis Kedudukan Hukum Aset Digital Non Fungible Token Dalam Boedel Pailit Di Indonesia. Sarjana thesis, Universitas Brawijaya.
Abstract
Pada karya tulis ini, penulis mengangkat permasalahan mengenai kekosongan hukum yang mengatur perihal kedudukan hukum aset digital yang mana dalam kasus ini berupa Non-Fungible Token sebagai salah satu bentuk dari aset kripto dalam kepailitan. Pemilihan isu hukum tersebut dilatarbelakangi oleh perkembangan pesat teknologi digital saat ini yang membawa perkembangan baru di mana seorang debitur yang dinyatakan pailit, baik perorangan maupun badan hukum, memiliki harta kekayaan berupa aset digital Non-Fungible Token. Sebagaimana terjadi di Inggris pengadilan memberikan persetujuan likuidasi terhadap aset milik perusahaan Three Arrow Capital yang telah dinyatakan pailit dengan salah satu harta pailit berupa Non-Fungible Token melalui proses pelelangan di muka umum dan penjualan di bawah tangan. Berdasarkan hal tersebut, karya tulis ini mengangkat dua rumusan masalah: (1) Bagaimana kedudukan hukum aset digital Non-Fungible Token dalam boedel pailit di Indonesia? (2) Bagaimana batasan yang tepat terhadap aset digital Non Fungible Token sebagai boedel pailit di Indonesia? Kemudian penulisan karya tulis ini menggunakan metode yuridis normatif dengan 3 (tiga) jenis pendekatan, yaitu metode pendekatan perundang-undangan (statute approach), pendekatan konsep (conseptual approach), dan pendekatan perbandingan (comparative approach). Bahan hukum primer, sekunder, dan tersier yang diperoleh penulis akan dianalisis dengan menggunakan dua metode penafsiran gramatikal, penafsiran sistematis, dan penafsiran ekstensif. Dari hasil penelitian dengan metode yang digunakan di atas, penulis memperoleh hasil bahwa kedudukan hukum Non-Fungible Token merupakan aset digital yang xi masuk dalam kategori benda tidak berwujud berdasarkan hukum benda Indonesia. Inggris menggunakan lima kriteria benda yang dikemukakan oleh hakim senior Inggris pada kasus Ainsworth (1965) untuk melengkapi hukum umum Inggris yang ada. Di sisi lain, pengaturan mengenai Non-Fungible Token di Indonesia masih terbatas pada pengawasan perdagangan yang sejauh ini disamakan dengan mata uang kripto. Hasil perbandingan pengaturan di Inggris dan Indonesia kemudian menunjukkan bahwa karakteristik benda dalam KUHPerdata Indonesia pada dasarnya telah tercakup dalam yurisprudensi hakim yang digunakan untuk menggolongkan Non-Fungible Token sebagai properti di Inggris. Terdapat dua kriteria kebendaan baru, yakni defineable dan have some degree of permanence or stability yang dapat pula digunakan di Indonesia karena memiliki kesesuaian dengan Pasal 505 KUHPerdata. Maka melihat dari kesesuaian tersebut, aset digital dapat dijadikan aset pailit dengan merujuk pada ketentuan hukum benda Indonesia guna menentukan batasan ideal Non-Fungible Token masuk dalam boedel pailit di Indonesia.
English Abstract
In this paper, the author addresses the legal vacuum regarding the legitimacy of digital assets, specifically Non-Fungible Tokens (NFTs), as a form of cryptocurrency asset in bankruptcy cases. The choice of this legal issue is driven by the rapid development of digital technology, which introduces new scenarios where a debtor, whether individual or corporate, possesses digital assets like Non Fungible Tokens. An example from the UK illustrates this, where courts approved the liquidation of assets belonging to Three Arrow Capital, declared bankrupt, including NFTs through public auction and private sale processes. Based on this context, the paper formulates two main issues: (1) What is the legal position of Non-Fungible Token as digital assets in bankruptcy estates in Indonesia? (2) What are the appropriate limitations on Non-Fungible Token as digital assets in bankruptcy estates in Indonesia? The methodology employed in this paper is juridical normative, utilizing three approaches: statutory approach, conceptual approach, and comparative approach. Primary, secondary, and tertiary legal materials are analyzed using grammatical, systematic, and extensive interpretation methods. Through the research conducted, the author concludes that Non-Fungible Tokens are indeed recognized as digital assets falling under the category of intangible property in Indonesian law. In the UK, criteria from the Ainsworth case (1965) have been used to complement existing English law. In contrast, Indonesia's regulation on NFTs is currently limited to trade oversight, similar to cryptocurrencies. Comparing regulations between the UK and Indonesia reveals that the characteristics of property under Indonesian Civil Law are essentially covered in the jurisprudence used to classify NFTs as property in the UK. There xiii are two new criteria for property: definability and having some degree of permanence or stability, which can also be applied in Indonesia under Articles 505 of the Civil Code. Therefore, considering these similarities, digital assets can be classified as bankruptcy assets in Indonesia by referencing to Indonesian property law to establish the ideal boundaries for including Non-Fungible Tokens in bankruptcy estates.
Item Type: | Thesis (Sarjana) |
---|---|
Identification Number: | 052401 |
Divisions: | Fakultas Hukum > Ilmu Hukum |
Depositing User: | Unnamed user with username nova |
Date Deposited: | 16 Dec 2024 01:48 |
Last Modified: | 16 Dec 2024 01:48 |
URI: | http://repository.ub.ac.id/id/eprint/229527 |
Text (DALAM MASA EMBARGO)
Putu Reditha Cahyani Wijaya.pdf Restricted to Registered users only Download (3MB) |
Actions (login required)
View Item |