Model Perdagangan Karet Alam Indonesia : Simulasi Kebijakan Menghadapi Kesepakatan Tripartite Dan Perdagangan Bebas

Napitupulu, Dompak MT (2004) Model Perdagangan Karet Alam Indonesia : Simulasi Kebijakan Menghadapi Kesepakatan Tripartite Dan Perdagangan Bebas. Doktor thesis, Universitas Brawijaya.

Abstract

Karet alam, hingga tahun 1998, adalah komoditas penyumbang devisa terbesar dari sektor pertanian, namun harga karet alam yang terus merosot sejak tahun 1986 menyebabkan komoditas ini hanya mampu menyumbang devisa sebesar US. $. 786,2 juta pada tahun 2001 sehingga berada pada urutan tiga penyumbang devisa sektor pertanian bersama sama udang dan kelapa sawit. Harga karet alam yang turun dengan drastis menyebabkan tiga negara produsen karet alam utama dunia bersepakat untuk melakukan interfensi melalui pengurangan produksi (Supply Management Scheme / SMS) dan penawaran ekspor (Agreed Tonnage Export Scheme / Aets) yang di kenal dengan ‘kesepakatan tripartite’. Namun demikian, apakah kesepakatan tripartite dapat menaikkan harga karet alam Indonesia hingga ke tingkat yang layak khususnya bagi petani karet rakyat masih perlu dipertanyakan. Dalam pada itu, perdagangan intemasional telah mulai memasuki era awal perdagangan bebas, bagaimana kinerja perdagangan karet alam Indonesia dalam menyongsong perdagangan bebas yang secara mutlak akan dilaksanakan pada tahun 2020 juga perlu dikaji. Dua pertanyaan tersebut dapat dijawab dengan menggunakan model perdagangan karet alam Indonesia Tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk menganalisis dampak kesepakatan tripartite dan sejumlah altematif kebijakan dalam koridor liberalisasi perdagangan yang dapat meningkatkan harga dan perolehan devisa dari perdagangan karet alam Indonesia melalui pendekatan model simulatan dinamis dari skenario kebijakan yang dapat dilakukan oleh pemerintah. Hasil penelitian ini dapat memperkaya pendekatan yang dapat dilakukan dalam ilmu perencanaan pembangunan pertanian. Selain berguna dalam pengembangan ilmu, hasil penelitian ini juga diharapkan dapat digunakan sebagai informasi bagi pemerintah dalam melakukan pengambilan keputusan dalam upaya menaikkan harga dan perolehan devisa dari perdagangan karet alam Indonesia. Menaikkan harga dapat dilakukan dengan mengurangi penawaran disatu sisi dan meningkatkan permintaan disisi lainnya. Kerjasama tripartite pada dasamya adalah manifestasi dari struktur pasar karet alam dunia yang oligopoly dimana mayoritas (66,52 %) produksi karet alam dunia dihasilkan oleh tiga negara yakni Indonesia, Malaysia dan Thailand. Kolusi tiga produsen utama sehingga menciptakan struktur pasar oligopoly menyebabkan peluang menaikkan harga dengan cara mengurangi penawaran terbuka untuk dilakukan. Penerapan kesepakatan tripartite dengan demikian akan mampu menaikkan harga dan penerimaan devisa dari perdagangan karet alam Indonesia. Hipotesis lain yang dibangun dalam penelitian ini adalah: penghapusan pajak ekspor, pengurangan subsidi harga pupuk, dan pegurangan areal perkebunan karet dapat menaikkan harga dan perolehan devisa dari perdagangan karet alam Indonesia Data dalam penelitian ini adalah data timeseries yang dihimpun dari berbagai institusi baik nasional maupun mancanegara yang memiliki data kinerja perdagangan karet alam Indonesia. Nilai determinan perdagangan karet alam dalam penelitian ini diprediksi dengan menggunakan model simultan dinamis yang menggambarkan pola hubungan antara variabel dalam industri karet alam mulai dari tingkat produksi hingga perdagangan luar negeri. Simulasi guncangan terhadap kinerja perdagangan karet alam Indonesia serta alternatif kebijakan dilakukan dalam model perdagangan karet alam Indonesia yang terdiri dari 78 variabel endogen dan 261 variabel eksogen. Keterhandalan model diuji dengan menggunakan uji-F, sementara pengaruh variabel prederterminan terhadap variabel endogen dievaluasi dengan indikator koefisien determinasi R 2 , serta signifikasi dari masing masing parameter diuji dengan melihat derajat selang kepercayaan kemampuan menolak hipotesis parameter variabel predeterminan sama dengan nol (Ho: <Xj = 0) serta divalidasi dengan menggunakan pendekatan Gauss-Seidel. Skenario simulasi yang dilakukan meliputi: melanjutkan Kesepakatan Tripartite, pegurangan subsidi pupuk sebesar 15 dan 25 %, peingkatan suku bunga riel sebesar 1,25 kali, peningkatan upah disektor pertanian sebesar 10 persen, peningkatan investasi pertanian sebesar 25 persen, dan penghapusan Lahan Perkebunan karet alam besar. Kinerja perdagangan juga disimulasikan pada kondisi terjadi peningkatan produksi ban dalam negeri sebesar 5 persen, peningkatan harga minyak sawit mentah sebesar 10 persen pertahun, peningkatan harga minyak bumi sebesar 10 persen pertahun, terjadi depresiasi mata uang Indonesia, Malayasia, dan Thailand sebesar 10 persen dan peningkatan GDP negara importir sebesar 5 persen. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa: (1) Kesepakatan tripartite tahun 2002 dan 2003 berdampak pada kenaikan harga karet alam Indonesia sebesar 5,45 % dan penerimaan devisa sebesar 0,31 % namun belum memberikan harga yang layak bagi petani produsen ( US $ 1,191/ kg), (2) Kebijakan tripartite hingga tahun 2008 dapat meningkatkan harga karet alam Indonesia sebesar 2,74 dan perolehan devisa meningkat sebesar 4,27 %. (3) Penghapusan pajak ekspor karet alam oleh Indonesia, Malaysia dan Thailand akan meningkatkan harga karet alam Indonesia sebesar 3,68 persen dan devisa sebesar 5,55 persen, (4) Reduksi subsidi pupuk sebesar 15 persen akan menyebabkan harga karet alam Indonesia naik sebesar 12,50 serta devisa sebesar 9,57 persen, dan (5) Harga yang layak bagi petani dapat diperoleh dengan kombinasi kesepakatan Tripartite dengan penambahan investasi pertanian (15 %), peningkatan upah disektor pertanian (10 %), serta penghapusan lahan perkebunan besar Penelitian ini memiliki beberapa keterbatasan diantaranya adalah: (1) Model yang dibangun belum dapat mengungkap faktor yang mempengaruhi transaksi perdagangan karat alam Indonesia baik di pasar domestik maupun luar negeri secara sempurna karena belum memasukkan variabel mutu karet alam Indonesia dan faktor yang mempengaruhinya, (2) Penelitian ini, meskipun dalam beberapa aspek tertentu didukung oleh data primer, belum dapat mengungkapkan bagaimana pelaksanaan riel dari kesepakatan tripartite yang telah berakhir tahun 2003 yang lalu, dan (3) Keterbatasan data industri yang diperoleh menyebabkan variabel ini hanya dijadikan sebagai variabel eksogen sehingga tidak mengungkap lebih jauh faktor yang mempengaruhinya. Berdasarkan keterbatasan yang dimiliki dalam penelitian ini maka peneliti menyarankan untuk melakukan penelitian yang lebih konprehensif. Dalam penelitian lanjutan disarankan untuk: (1) Menganalisis pelaksanaan nyata kesepakatan tripartite pada tahun 2002 dan 2003 dianjurkan untuk dilakukan, (2) Fakta bahwa harga ekspor karet alam Indonesia lebih rendah dari harga karet alam Malaysia dan Thailand merupakan penomena lain yang menarik untuk dikaji. Penelitian yang dapat mengungkap faktor perbedaan harga karet alam tiga negara produsen utama tersebut dianjurkan untuk diteliti lebih lanjut, dan (3) Variabel agroindustri yang diharapkan menjadi full-factor dalam menggerakkan permintaan bahan baku karet alam di pasar domestik masih terbatas pada ‘jumlah produksi ban yang dihasilkan Indonesia’. Pada penelitian selanjutnya disarankan untuk menjadikan variabel ini sebagai variabel endogen sehingga dapat menambah variabel kebijakan yang dapat dianjurkan untuk disimulasi. Selain saran untuk penelian lanjutan, dalam upaya meningkatkan harga dan perolehan devisa maka disarankan kepada pemerintah untuk: (1) Memperlambat laju pertumbuhan produksi karet alam dengan mengurangi areal tanam atau setidaknya mencegah munculnya areal perkebunan karet yang baru. Set aside jangka panjang lahan pertanian dan realokasi lahan perkebunan karet menjadi lahan perkebunan lain seperti kelapa sawit dapat dilakukan untuk merealisasi saran ini, (2) Perubahan permintaan minyak kelapa sawit yang mengarah pada peningkatan harga CPO diperkirakan akan menyebabkan areal tanam karet semakin berkurang. Berbagai kebijakan yang berkaitan dengan pengembangan komoditas kelapa sawit dan hasil produksinya dengan demikian dapat mengurangi motivasi petani karet untuk membuka areal tanam baru, (3) Mayoritas (90,17 %) dari produk karet alam Indonesia yang diekspor adalah kualitas SIR-20. Mutu bahan baku yang lebih baik seyogyanya lebih disukai oleh konsumen, oleh karena itu pemerintah hendaknya meningkatkan partisipasi aktif dari lembaga Litbang agar mutu karet alam Indonesia dapat lebih ditingkatkan. Kerjasama anrtar negara dibidang Litbang juga disarankan untuk dapat dipererat sebagaimana yang dilakukan dibidang perdagangan, dan (4) Investasi swasta besar pada industri karet alam hendaknya diarahkan pada industri crumb rubber dan pengolahan bahan baku karet alam menjadi barang setengah jadi

English Abstract

It was reported that natural rubber had been the major contributor among agricultural commodities in generating Indonesian foreign income. However its price vast decreasing since year 1996 made it contribute only as much as US $ 786.2 million to the Indonesian foreign income in year 2001. The natural rubber price was so cheap that encouraged three major producer countries to sign an agreement to control the market price through Supply Management Scheme (SMS) and Agreed Tonnage Export Scheme (Aets) that is to reduce the production by four percent and export supply by ten percent a year. Nevertheless, it is still questionable whether the collaboration among those three countries is powerful enough in lifting the natural rubber price up to cover the farmer minimum basic needs. Furthermore, the world trade liberalization is about to coming. How trade liberalization will effect the Indonesian natural rubber trade performance is still need to be analyzed. Comprehensive answer to those two problems could be finely established by constructing an Indonesian Natural Rubber Trade Model. The main goal of this research was to find out some policy instruments that could be taken in lifting up the natural rubber price in presence of tripartite joint declaration and trade liberalization. Data was collected in time series from some legal institutions which present natural rubber trade data on its database. The quantitative value of natural rubber trade determinant in this research was predicted in dynamic simultaneous model. This research, hopefully, could contribute in enriching the agriculture development planning science through offering new natural rubber international trade model. In addition to the scientific contribution, the research also offers some alternatives for the government to increase the natural rubber price as well as gain more foreign income. Theoretically, raising commodity price could be stimulated by reducing the quantity supplied as well as encouraging demand on the other side. Natural rubber supply could be reduced by holding more domestic stock and harvesting less. Collaboration among three natural rubber main producers called tripartite joint agreement’ is, in fact, a manifestation of oligopoly market structure that enable them reducing quantity supplied in order to raise the commodity price. Due to the monopoly power gained by those three main producer countries, it is hypothesized that the two schemes, SMS and Aets, declared in tripartite will raise both price and foreign income gathered from Indonesia natural rubber trade. Other hypotheses built in this research were: natural rubber export tax elimination, reducing fertilizer price subsidy, and lessening natural rubber production area could increase both natural rubber price and foreign income. As it was declared in tripartite joint agreement, reducing both natural rubber home production and export quota by four and ten percent respectively, do lifting up the natural rubber price as well as foreign income, but the model simulation showed that it was still not high enough to let small farmer gain sufficient income to cover his family minimum needs. More specifically, the research findings were: (1) Implementation of tripartite agreement in year 2002 and 2003 could increase the Indonesian natural rubber price up to 5.45 % and foreign income by 0.31 %, (2) Continuing the tripartite agreement until year 2008 could increase the natural rubber price and foreign income by 2.74 % and 4.27 % respectively, (3) Natural rubber export tax exclusion by Indonesia, Malaysia and Thailand will increase the natural rubber price and foreign income by 3.68 % and 5.55 % respectively, (4) Reducing domestic fertilizer price subsidy by 15 % will increase the natural rubber price and foreign income by 12.50 % and 9.57 % respectively, and (5) Sufficient natural rubber price to meet the farmer minimum needs could be generated in combination of tripartite schemes, eliminating large private estate natural rubber production area, as well as increasing agriculture investment and agricultural wage by 15 % and 10 % respectively. Some limitation of the research was: (1) The model has not powerful enough to perfectly reveal the factors effecting Indonesia natural rubber trade since its failure in entering product quality as an endogenous variable, (2) In spite of the primary data has also been collected in supporting data analysis, the research has not able to well explained the riel implementation of supply management scheme (SMS) in small farmer production level, and (3) Industries poor data gathered in this research failed the research to make it as an endogen variable as it was needed to well explain the full factors in raising both natural rubber price and foreign income. Due to the limitation of the research, it is suggested to: (1) Undertake a primary data base research in order to find out the riel implementation of tripartite agreement particularly in small farmer production level, (2) Undertake a more complicated research that enable to uncover the factors effecting price differentiation among three natural rubber main producer countries, and (3) It is necessary to find out more information about agro-industry data to let it be an endogenous variable in constructing a powerful natural rubber trade model. The implications of the research finding to the government economic development program were: (1) In order to facilitate the reduction of production supplied to the foreign market, it is necessary to reduce natural rubber production area. The old natural rubber plantation should be renovated or changed to other export agriculture commodity plantation. Set aside program to the export agriculture commodity estate area could be declared in order to slow down the commodity supplied to the world market, (2) It is found a negative cross elasticity between crude palm oil price and the demand for natural rubber production area. It means that any improvements in crude palm oil trade would hinder farmer to ask more land for natural rubber. It is suggested to the government to improve palm oil industry performances in order to impede new entry in natural rubber industry, (3) It was found that most of exported Indonesian natural rubber was SIR-20 grade, the lowest allowed grade to enter the international natural rubber market. In order to win the international market competition it is suggested to the government to improve the domestic Natural Rubber Research and Development (R&D) Institution performance. It is also suggested that government to initiate tripartite collaboration on R&D among three main natural rubber production countries and ( 4) Private investment on natural rubber industry should be directed to crumb rubber factory as well as natural rubber based row material plants in order to create demand full factors in domestic natural rubber industry.

Item Type: Thesis (Doktor)
Identification Number: -
Divisions: S2/S3 > Doktor Ilmu Pertanian, Fakultas Pertanian
Depositing User: soegeng sugeng
Date Deposited: 31 Jul 2024 02:49
Last Modified: 31 Jul 2024 02:49
URI: http://repository.ub.ac.id/id/eprint/225972
[thumbnail of DOMPAK MT NAPITULU.pdf] Text
DOMPAK MT NAPITULU.pdf

Download (38MB)

Actions (login required)

View Item View Item