Pandu Abyaksa Notonegoro, Duta (2024) Urgensi Pengaturan Kriteria Penjatuhan Pidana Tambahan Dalam Pasal 17 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Sarjana thesis, Universitas Brawijaya.
Abstract
Pasal 17 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Korupsi telah mengatur penjatuhan pidana tambahan yang bersifat fakultatif. Akan tetapi dalam undang-undang tersebut tidak merumuskan kriteria tertentu dalam penjatuhan pidana tambahan untuk memberikan aspek kepastian hukum dalam mencapai tujuan pemidanaan. Berdasarkan hal tersebut, skripsi ini mengangkat rumusan masalah: (1) Apa urgensi pengaturan kriteria penjatuhan pidana tambahan dalam pasal 17 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Korupsi? (2) Bagaimana Alternatif pengaturan kriteria penjatuhan pidana tambahan dalam pasal 17 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Korupsi? Penelitian ini merupakan penelitian yuridis normatif yang menggunakan metode pendekatan peraturan perundang-undangan (statue approach) dan pendekatan konseptual (conceptual approach). Bahan hukum yang dipergunakan bahan hukum primer, bahan hukum sekunder serta bahan hukum tersier yang dilakukan analisis dan penelaahan untuk menjawab isu penelitian. Hasil dari penelitian dapat diketahui bahwa adanya urgensi bahwa UU Tipikor tidak mengatur secara tegas kriteria tertentu penjatuhan pidana tambahan sehingga menimbulkan persoalan dalam konspetualisasi penjatuhan pidana tambahan yang menimbulkan tidak adanya kepastian hukum dalam penjatuhan pidana tambahan, penjatuhan pidana dalam pasal 17 tidak memenuhi tujuan pemidanaan, tidak ada pedoman bagi hakim dalam menjatuhkan pidana tambahan berpotensi menyebabkan disparitas penjatuhan pidana tambahan, serta tindak pidana korupsi tertentu memerlukan pidana tambahan. Sehingga perlu dilakukan reformulasi pengaturan pidana tambahan dalam UU Tipikor dengan memformulasikan kriteria tertentu penjatuhan pidana tambahan dengan kriteria, sebagai berikut: a) Menimbulkan kerugian keuangan negara dan/atau perekonomian negara tidak kurang dari 1 milyar; b) Pelaku tindak pidana korupsi mendapatkan keuntungan mayoritas dari adanya tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 2, 3, 5 sampai dengan 14; c) Pelaku tindak pidana memiliki tingkat kesalahan dalam peran sebagai pelaku intelektual dari terjadinya tindak pidana sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 2, 3, 5 sampai dengan 14; d) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam 2, 3, 5 sampai dengan 14 yang dilakukan memberikan dampak dan kerugian dalam skala regional, e) Pelaku melakukan pengulangan tindak pidana untuk memberikan kepastian hukum penjatuhan pidana tambahan dalam UU Tipikor.
English Abstract
Article 17 of Law Number 31 Year 1999 on Corruption Eradication has regulated the imposition of facultative additional punishment. However, the law does not formulate certain criteria in the imposition of additional punishment to provide aspects of legal certainty and achieve the purpose of punishment. Based on this, this thesis raises the formulation of the problem: (1) What is the urgency of regulating the criteria for imposing additional punishment in Article 17 of Law Number 31 Year 1999 on Corruption Eradication? (2) What is the alternative of regulating the criteria for imposing additional punishment in Article 17 of Law Number 31 Year 1999 on Corruption Eradication? This research is a normative juridical research that uses the method of statutory approach and conceptual approach. Legal materials used are primary legal materials, secondary legal materials and tertiary legal materials which are analysed and reviewed to answer research issues. The results of the research show that there is an urgency that the AntiCorruption Law does not explicitly regulate certain criteria for imposing additional punishment, causing problems in the conceptualization of imposing additional punishment which creates no legal certainty in the imposition of additional punishment, the imposition of punishment in Article 17 does not meet the objectives of punishment, there are no guidelines for judges in imposing additional punishment, potentially causing disparity in the imposition of additional punishment, and certain corruption crimes require additional punishment. Therefore, it is necessary to reformulate the additional criminal arrangements in the Anti-Corruption Law by formulating certain criteria for imposing additional punishment with the following criteria: a) Causing losses to state finances and or the state economy of not less than 1 billion; b) The perpetrators of corruption crimes benefit the majority of the criminal acts referred to in articles 2, 3, 5 to 14; c) The perpetrators of criminal acts have a level of guilt in the role as intellectual actors of the criminal acts referred to in articles 2, 3, 5 to 14; d) The criminal acts referred to in 2, 3, 5 to 14 that are committed have an impact and losses on a regional scale; e) The perpetrators commit repeated criminal acts to provide legal certainty for the imposition of additional punishment in the Anti-Corruption Law.
Item Type: | Thesis (Sarjana) |
---|---|
Identification Number: | 052401 |
Divisions: | Fakultas Hukum > Ilmu Hukum |
Depositing User: | Annisti Nurul F |
Date Deposited: | 28 Jun 2024 09:06 |
Last Modified: | 28 Jun 2024 09:06 |
URI: | http://repository.ub.ac.id/id/eprint/222252 |
Text (DALAM MASA EMBARGO)
DUTA PANDU ABYAKSA NOTONEGORO.pdf Restricted to Registered users only Download (2MB) |
Actions (login required)
View Item |