Inkonsistensi Putusan Terkait Perdamaian Kedua dalam Proses Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang dan Kepailitan Berdasarkan Asas Perdamaian Tunggal

Krista Ardhya Putri, Maria (2024) Inkonsistensi Putusan Terkait Perdamaian Kedua dalam Proses Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang dan Kepailitan Berdasarkan Asas Perdamaian Tunggal. Sarjana thesis, Universitas Brawijaya.

Abstract

Penelitian ini dilatarbelakangi oleh ketidakjelasan Pasal 292 Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (selanjutnya disebut UUKPKPU) dalam mengatur larangan perdamaian kedua setelah proses perdamaian sebelumnya gagal mendapat persetujuan dari para Kreditor pada proses Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (selanjutnya disebut PKPU) sehingga menimbulkan multiinterpretasi bagi hakim dalam menerapkan hukum dan terjadinya inkonsistensi pada praktik putusan pengadilan. Pengaturan Pasal 292 memberikan ruang bagi hakim pengadilan niaga juga mengambil sikap bahwa perdamaian dalam proses kepailitan masih dimungkinkan meski sebelumnya telah gagal untuk mencapai persetujuan Kreditor dalam proses PKPU, padahal terhadap perdamaian yang telah gagal dalam proses PKPU, seharusnya asas perdamaian tunggal berlaku dimana debitor dianggap pailit dengan segala akibat hukumnya, dan harta debitor dianggap tidak mampu membayar utangnya. Alhasil terdapat pertimbangan hakim yang berbeda dalam memutus perkara yang serupa dan melahirkan inkonsistensi dalam bentuk produk putusan pengadilan. Berdasarkan hal tersebut diatas, karya tulis ini mengangkat rumusan masalah: (1) Bagaimana analisis pengaturan asas perdamaian tunggal pada Pasal 292 di Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 dalam proses Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang? (2) Bagaimana analisis pertimbangan putusan hakim dalam Putusan Nomor 80/Pdt.Sus-PKPU/2021/PN.Niaga.Jkt.Pst. dan Putusan Nomor 29/Pdt.Sus-PKPU/2020/PN Jkt.Pst. terkait asas perdamaian tunggal? Penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif dengan metode pendekatan perundang-undangan dan pendekatan kasus. Bahan hukum yang diperoleh penulis akan dianalisis dengan menggunakan teknik analisis penemuan hukum dengan menggunakan metode interpretasi sistematis dan interpretasi gramatikal. Berdasarkan hasil penelitian, ditemukan jawaban bahwa Pasal 292 UUK-PKPU tidak tegas mengatur larangan pengajuan perdamaian kedua setelah perdamaian gagal pada proses PKPU. Maka dari itu, UUK-PKPU perlu memberikan perincian pengaturan diperbolehkan atau tidaknya pengajuan perdamaian kedua dalam proses PKPU dan kepailitan. Berangkat dari pengaturan Pasal 292 UUK-PKPU yang memberikan kelonggaran terkait permohonan perdamaian kedua pada proses PKPU kemudian menimbulkan multiinterpretasi bagi hakim sehingga hakim memiliki celah memberikan pertimbangan hukum berbeda dalam memutuskan perkara perdamaian yang serupa pada proses PKPU dan kepailitan. Hal ini melahirkan inkonsistensi dalam produk putusan pengadilan. Hakim dalam menjatuhkan putusan pailit tidak konsisten, terlihat dari dua kasus serupa yang dianalisis, terdapat hakim yang langsung menyatakan Debitor pailit karena perdamaian gagal pada proses PKPU sebab ditolak para kreditor (Putusan Nomor 80/Pdt.Sus-PKPU/2021/PN.Niaga.Jkt.Pst. sesuai dengan ketentuan asas perdamaian tunggal), namun terdapat hakim yang mengesahkan perdamaian kedua setelah perdamaian sebelumnya gagal pada proses PKPU (Putusan Nomor 29/Pdt.Sus-PKPU/2020/PN Niaga Jkt.Pst tidak sesuai dengan ketentuan asas perdamaian tunggal). Seharusnya hakim tegas menyatakan Debitor pailit dengan segala akibat hukumnya apabila perdamaian telah gagal pada proses PKPU dan tertutupnya ruang mengajukan perdamaian kedua sehingga proses kepailitan tidak berlarut-larut dan sesuai asas perdamaian tunggal.

English Abstract

This research departs from the ambiguity of Article 292 of Law concerning Bankruptcy and the Suspension of Debt Payment Obligations (henceforth referred to as UUK-PKPU) in regulating the prohibition of a second peace agreement following the failure of the previous peace process to obtain approval from the creditors in the Suspension of Debt Payment Obligations (henceforth referred to as PKPU), leading to dissenting interpretations for judges in applying the law and resulting in inconsistency in court rulings. The regulation of Article 292 provides space for commercial court judges to also take the position that peace in the bankruptcy process is still possible even though it has previously failed to reach the agreement of Creditors in the PKPU process, whereas for peace that has failed in the PKPU process, a single peace principle should apply where the debtor is considered bankrupt with all legal consequences, and the debtor's property is considered unable to pay its debts. As a result, there are different judges' considerations in deciding similar cases and giving birth to inconsistencies in the form of court decision products. Based on the foregoing, this paper raises the formulation of the problem: (1) How is the analysis of the single peace principle arrangement in Article 292 of Law Number 37 of 2004 in the process of Suspension of Debt Payment Obligations? (2) How to analyze the judge's decision consideration in Decision Number 80/Pdt.SusPKPU/2021/PN. Niaga.Jkt.Pst. and Decision Number 29/Pdt.Sus-PKPU/2020/PN Jkt.Pst. regarding the single peace principle? This research employs a normative-juridical method supported by statutory and case approaches. The legal material obtained by the author will be analyzed using legal discovery analysis techniques using systematic interpretation methods and grammatical interpretation. Based on the results of the study, the findings indicate that Article 292 of UUKPKPU does not regulate the prohibition of filing a second peace agreement after a failed peace agreement in the PKPU process. Therefore, UUK-PKPU needs to provide details on whether or not the submission of a second peace agreement is allowed in the PKPU and bankruptcy processes. Based on the regulation of Article 292 UUK-PKPU, which provides flexibility regarding the submission of a second peace agreement in the PKPU process, it leads to multiple interpretations for judges, allowing them to give different legal considerations in deciding similar peace cases in the PKPU and bankruptcy processes. This results in inconsistency in court rulings. Judges in declaring bankruptcy are inconsistent, as seen in two similar cases analysed; some judges immediately declared the debtor bankrupt because the peace agreement failed in the PKPU process due to rejection by the creditors (Decision Number 80/Pdt.SusPKPU/2021/PN. Niaga.Jkt.Pst. in accordance with the provisions of the single peace principle), while some other judges approved a second peace agreement after the previous peace attempt failed in the PKPU process (Decision Number 29/Pdt.SusPKPU/2020/PN Niaga Jkt.Pst is not in accordance with the provisions of the single peace principle). Judges should unequivocally declare the debtor bankrupt with all its legal consequences if the peace agreement fails in the PKPU process, and the option to submit a second peace agreement should be closed to prevent prolonged bankruptcy proceedings and adhere to the single peace principle.

Item Type: Thesis (Sarjana)
Identification Number: 052401
Divisions: Fakultas Hukum > Ilmu Hukum
Depositing User: Annisti Nurul F
Date Deposited: 30 May 2024 03:47
Last Modified: 30 May 2024 03:47
URI: http://repository.ub.ac.id/id/eprint/220186
[thumbnail of DALAM MASA EMBARGO] Text (DALAM MASA EMBARGO)
Maria Krista Ardhya Putri.pdf
Restricted to Registered users only

Download (2MB)

Actions (login required)

View Item View Item