Setiawan, Eko and Prof. Dr. Ir. Keppi Sukesi, MS and Prof. Dr. Ir. Kliwon Hidayat, MS and Prof. Dr. Ir. Yayuk Yuliati, MS (2023) Model Konservasi Taman Nasional Alas Purwo Berbasis Kearifan Lokal Dalam Perspektif Sosiologi Lingkungan. Doktor thesis, Universitas Brawijaya.
Abstract
Taman Nasional Alas Purwo adalah kawasan pelestarian alam yang terletak di ujung timur pulau Jawa, tepatnya di bagian selatan Kabupaten Banyuwangi. Sebelumnya dikenal dengan Semenanjung Blambangan, kawasan ini telah di tetapkan sebagai kawasan pelestarian alam yang berfungsi sebagai taman nasional karena keberadaan populasi banteng yang tinggi, mewakili beberapa tipe ekosistem, menyimpan beragam sumberdaya hayati serta bentang alam yang khas dan unik, diantaranya sebagai berikut: Sadengan, Trianggulasi, Pancur, Wisata Goa, Plengkung, Ngagelan, Bedul, Cungur, Sembulungan, Teluk Banyubiru (Slenggrong), Situs Kawitan dan Pura Giri Salaka. Taman nasional merupakan salah satu bentuk pengelolaan kawasan pelestarian yang memberikan kontribusi terhadap perlindungan sistem penyangga kehidupan, perlindungan keanekaragaman hayati dan ekosistemnya, serta pemanfaatan sumber daya alam dan ekosistemnya secara berkelanjutan. Taman nasional merupakan kawasan yang sangat potensial, terutama bagi kehidupan sosial ekonomi masyarakat di sekitarnya. Hubungan masyarakat dengan hutan sudah lama terjalin karena hutan telah membawa manfaat ekonomi, lingkungan dan sosial budaya bagi kehidupan masyarakat. Seiring dengan laju pertambahan jumlah penduduk dan perubahan kondisi sosial ekonomi, demikian pula tuntutan masyarakat terhadap pemanfaatan sumberdaya alam, termasuk kekayaan alam kawasan konservasi. Salah satu konsep pengelolaan yang digunakan untuk menjaga keberadaan potensi kawasan pelestarian alam adalah dengan menghilangkan segala aktivitas masyarakat dari kawasan konservasi. Konsep menghilangkan aktivitas masyarakat banyak digunakan oleh pengelola kawasan pelestarian alam karena diyakini kurang berdampak pada degradasi ekosistem hutan. Namun, konsep ini juga memiliki banyak kelemahan, bahwa masyarakat sekitar telah tertutup akses masuk hutan. Selama ini menjadi sumber pendapatan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Dampak dari penutupan ini adalah masyarakat merambah kawasan pelestarian alam dan berupaya memanfaatkan sumberdaya hutan secara ilegal. Hal ini menyebabkan kerusakan lebih lanjut pada kawasan pelestarian alam, termasuk gejolak keamanan di kawasan Taman Nasional Alas Purwo didominasi oleh pencurian kayu dan perburuan satwa liar. Tujuan dalam penelitian ini adalah, (1) mengkaji dan menganalisis bentuk interaksi masyarakat sekitar desa penyangga di kawasan konservasi Taman Nasional Alas Purwo (2) memperoleh gambaran mengenai latar belakang budaya yang mendasari kearifan lokal masyarakat sekitar Taman Nasional Alas Purwo dalam melakukan konservasi (3) Mengkaji bentuk kearifan lokal masyarakat dalam mendukung pengelolaan sumberdaya hutan (4) merumuskan model transformasi sosial yang terjadi pada masyarakat tradisional pasca penetapan status menjadi Taman Nasional Alas Purwo. Penelitian ini menggunakan paradigma konstruktivisme dengan pendekatan kualitatif yang dilakukan dengan desain studi kasus. Informan ditetapkan dengan teknik purposive. Pengumpulan data melaui observasi dan wawancara. Analisis data menggunakan model interaktif, meliputi komponen-komponen, pengumpulan data, reduksi data, sajian data, penarikan kesimpulan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa interaksi antara masyarakat sekitar desa penyangga dengan Taman Nasional Alas Purwo berupa ketergantungan masyarakat pada sumberdaya alam. Berupa pemungutan hasil hutan, pantai, biasa dikenal dengan sebutan kayal. Kategori ekonomi yang tergolong miskin (golongan residual), sehingga banyak yang menggantungkan hidupnya pada pemanfaatan sumberdaya alam di tiga lokasi yang berbeda, yaitu disekitar pantai untuk memungut biota laut, pemungutan di perairan mangrove atau cacalan, dan yang terakhir pemungutan hasil hutan. Nilai-nilai kearifan lokal masyarakat dengan unsur spiritualitas, mitos, dan kepercayaan berperan dalam konservasi dan perlindungan hutan serta sumber daya alam lainnya. Oleh karena itu, dalam kaitannya dengan pelestarian lingkungan alam, maka internalisasi kearifan lokal yang hakiki merupakan proses yang harus dilakukan untuk tercapainya nilai ekologis. Beberapa aspek pengelolaan Taman Nasional Alas Purwo yang melibatkan masyarakat, salah satunya program pembinaan daerah penyangga yang dilaksanakan di kawasan penyangga. Selain itu ada kegiatan bagi masyarakat di luar kawasan yang peduli dengan konservasi. Bentuk pengelolaan partisipatif terdiri dari, bina cinta alam, bina kader konservasi, kemah konservasi, peran polisi hutan. Sedangkan bentuk pengelolaan non partisipatif, masyarakat lokal sekitar kawasan taman nasional tidak bisa lepas dari mitos dan alam. Terlepas dari benar tidaknya mitos, memberikan pelajaran kepada masyarakat luas bagaimana sikap manusia terhadap alam. Konsekuensi perubahan status kawasan menjadi taman nasional adalah ketegangan dalam kehidupan sosial masyarakat. Perubahan status kawasan menjadi taman nasional mengakibatkan masyarakat sekitar yang sejak lama berinteraksi secara de jure kehilangan akses terhadap sumberdaya dalam kawasan tersebut. Sehingga untuk meminimalisir permasalahan di atas, diperlukan kebijakan pemerintah dengan mengitegrasikan pentingnya pendidikan lingkungan dalam pembelajaran diberbagai kurikulum maupun muatan lokal agar dapat meningkatkan sikap peduli terhadap lingkungan. Oleh karena itu perlu pembiasaan untuk peduli terhadap lingkungan sekolah untuk aktif di program cinta lingkungan.
English Abstract
Alas Purwo National Park is a nature conservation area located on the eastern tip of Java island, precisely in the southern part of Banyuwangi Regency. Previously known as the Blambangan Peninsula, this area has been designated as a nature conservation area that functions as a national park because of the presence of a high bull population, representing several types of ecosystems, storing a variety of biological resources and distinctive and unique landscapes, including the following: Sadengan, Trianggulasi, Pancur, Goa Tourism, Plengkung, Ngagelan, Bedul, Cungur, Sembulungan, Banyubiru Bay (Slenggrong), Kawitan Site and Giri Salaka Temple. National parks are a form of conservation area management that contributes to the protection of life support systems, the protection of biodiversity and ecosystems, and the sustainable use of natural resources and ecosystems. The national park is a very potential area, especially for the socio-economic life of the surrounding community. Community relations with forests have long been established because forests have brought economic, environmental and socio-cultural benefits to people's lives. Along with the rate of population growth and changes in socio-economic conditions, so too do community demands for the use of natural resources, including the natural wealth of conservation areas. One of the management concepts used to maintain the potential existence of nature conservation areas is to eliminate all community activities from conservation areas. The concept of eliminating community activities is widely used by managers of nature conservation areas because it is believed to have less impact on forest ecosystem degradation. However, this concept also has many weaknesses, that the surrounding community has closed access to the forest. So far, it has become a source of income for the community to meet their daily needs. The impact of this closure is that people encroach on nature conservation areas and try to use forest resources illegally. This caused further damage to the nature conservation area, including security turmoil in the Alas Purwo National Park area dominated by timber theft and wildlife poaching. The objectives of this study are, (1) to examine and analyze the form of community interaction around buffer villages in the conservation area of Alas Purwo National Park (2) to obtain an overview of the cultural background that underlies the local wisdom of the community around Alas Purwo National Park in carrying out conservation (3) to examine the form of local wisdom of the community in supporting forest resource management (4) to formulate a model of social transformation that occurs in traditional communities post determination of status to Alas Purwo National Park. This research uses the constructivism paradigm with a qualitative approach carried out with a case study design. Informants are established by purposive techniques. Data collection through observation and interviews. Data analysis using interactive models, including components, data collection, data reduction, data presentation, conclusions. The results showed that the interaction between the community around the buffer village and Alas Purwo National Park was in the form of community dependence on natural resources. In the form of collecting forest products, beaches, commonly known as kayal. The economic category is classified as poor (residual group), so many depend on the use of natural resources in three different locations, namely around the coast to collect marine life, collection in mangrove or cacalan waters, and finally the collection of forest products. The values of local wisdom of the community with elements of spirituality, myths, and beliefs play a role in the conservation and protection of forests and other natural resources. Therefore, in relation to the preservation of the natural environment, the internalization of essential local wisdom is a process that must be carried out to achieve ecological value. Several aspects of Alas Purwo National Park management involve the community, one of which is the buffer area development program implemented in the buffer area. In addition, there are activities for people outside the area who care about conservation. The form of participatory management consists of, fostering love for nature, fostering conservation cadres, conservation camps, the role of forest rangers. While the form of non-participatory management, local communities around the national park area cannot be separated from myth and nature. Regardless of whether or not myths are true, it provides lessons to the wider community about human attitudes towards nature. The consequence of changing the status of the area to a national park is the tension in the social life of the community. The change in the status of the area to a national park resulted in the surrounding communities that had long interacted de jure losing access to the resources in the area. So to minimize the above problems, government policy is needed by integrating the importance of environmental education in learning in various curricula and local content in order to increase attitudes towards the environment. Therefore, it is necessary to get used to caring about the school environment to be active in environmental love programs.
Item Type: | Thesis (Doktor) |
---|---|
Identification Number: | 0623040002 |
Uncontrolled Keywords: | Model Konservasi, Taman Nasional Alas Purwo, Kearifan Lokal, Sosiologi Lingkungan |
Divisions: | S2/S3 > Doktor Ilmu Pertanian, Fakultas Pertanian |
Depositing User: | Unnamed user with username nova |
Date Deposited: | 02 Feb 2024 05:31 |
Last Modified: | 02 Feb 2024 05:31 |
URI: | http://repository.ub.ac.id/id/eprint/215603 |
Text (DALAM MASA EMBARGO)
Eko Setiawan.pdf Restricted to Registered users only Download (3MB) |
Actions (login required)
View Item |