Anggraini, Dewi and Dr. Mohamad Anas, S.Fil.I, M.Phil. and Wike, S.Sos, M.Si, DPA. (2023) Relasi Simbolik Konsepsi Disabilitas Dalam Perencanaan Pembangunan (Studi Kasus Musrenbang Tematik Disabilitas Di Kota Malang). Magister thesis, Universitas Brawijaya.
Abstract
Mulai tahun 2018, Kota Malang membuat inovasi dengan acuan SDGs untuk melibatkan kelompok rentan dalam proses perencanaan pembangunan melalui Musrenbang Tematik. Bappeda mengumpulkan stakeholder dari komunitas atau organisasi penyandang disabilitas atau orang tuanya, akademisi, lembaga swasta yang bergerak di bidang penanganan isu disabilitas, dan para profesional lainnya. Namun, pada tahun 2021, kecurigaan peneliti atas 39 usulan pada RKPD Tahun 2022 yang diajukan dan tidak terakomodir seluruhnya menjadi alasan utama studi ini dilakukan. Selain itu, data pendukung hasil survey tahun 2016 yang dilakukan oleh UPPM STP-IPI Malang, PPRBM Bhakti Luhur, dan CBM di Malang Raya juga menunjukkan lemahnya partisipasi penyandang disabilitas dalam proses pembangunan. Survey tersebut menunjukkan bahwa partisipasi penyandang disabilitas dalam pembangunan hanya diakui oleh 7,14% responden penyandang disabilitas, 5,53% responden dari komunitas; dan responden dari institusi pemerintah/swasta tidak menyinggung pengakuan tersebut. Urgensi penelitian ini untuk meninjau lebih lanjut kesiapan daerah terhadap implementasi Peraturan Pemerintah Nomor 70 Tahun 2019 melalui RANPD (Rencana Aksi Nasional Penyandang Disabilitas) yang diturunkan menjadi RADPD (Rencana Aksi Daerah Penyandang Disabilitas). Hal ini ditinjau dari keselarasan implementasi Musrenbang Tematik Disabilitas dengan konsepsi disabilitas model hak asasi. Pada penelitian dengan pendekatan kualitatif ini, peneliti menggunakan desain studi kasus untuk mengkaji secara rinci relasi simbolik dihasilkan oleh konsepsi disabilitas antar agen dan struktur dalam proses perencanaan pembangunan khususnya Musrenbang Tematik Disabilitas di Kota Malang. Beberapa studi terdahulu menemukan bahwa konsepsi disabilitas memberikan pengaruh pada kebijakan pemerintah dan relasi yang terbangun di antara penyandang disabilitas dan pemerintah (Anggraini, Anas, and Wike 2022; Audiyah 2019; Madden et al. 2020; Putra 2018; Thohari 2011; Tsaputra 2019; Wike 2015). Peneliti kemudian membangun rumusan masalah dan tujuan penelitian dengan kerangka konseptual yang dibentuk melalui Teori Praktik Sosial Bourdieu. Penelitian ini menggali hasil refleksi konsepsi disabilitas yang melekat sebagai habitus antara penyandang disabilitas dan pemerintah, yang dilanjutkan bagaimana dinamika tersebut terbentuk antara pertukaran habitus dan kapital yang dimiliki, dan kemudian kedua topik tersebut dipertemukan pada arena yang tercipta di dalam Musrenbang Tematik Disabilitas. Dengan keterbatasan informan yang ditentukan dengan purposive sampling (4 penyandang disabilitas dan 3 staff Bappeda), catatan lapangan (observasi) dan dokumentasi selama mengikuti tahapan Musrenbang Tematik Disabilitas RKPD Tahun 2023 dan RKPD Tahun 2024, serta analisis sumber-sumber lain di media pemerintah dan swasta, penelitian ini memiliki beberapa temuan yang mampu menjawab rumusan dan tujuan penelitian. Pertama, kecenderungan refleksi yang berbeda dari penyandang disabilitas yang mengacu pada kebutuhan akan pemenuhan hak mereka (konsepsi model hak) yang disertai konsepsi model karitatif, model moral, dan model sosial serta pemerintah yang memiliki kecenderungan melihat penyandang disabilitas dari simbol yang muncul dari tubuh mereka (konsepsi model medis) yang kemudian disertai dengan isu kesetaraan hak penyandang disabilitas (konsepsi model hak) dan konsepsi model karitatif. Kedua, dinamika yang dialami oleh penyandang disabilitas ialah pemerintah (beberapa organisasi perangkat/pemerintan daerah atau OPD) cenderung memposisikan mereka sebagai objek pembangunan. Sementara dinamika relasi yang dihadapi oleh pemerintah (Bappeda) yang terbangun hanya pada momentum tertentu (Musrenbang), penyandang disabilitas cenderung memiliki citra positif sebagai subjek pembangunan. Demikian halnya penyandang disabilitas merasa mereka memiliki ruang yang dinantikan dan difasilitasi oleh Bappeda yang terlihat dari kepuasan mereka akan hadirnya Musrenbang Tematik Disabilitas. Meskipun, acuan Bappeda membangun relasi dengan penyandang disabilitas adalah Dinas Sosial. Ketiga, ketika kedua temuan tersebut masuk pada arena Musrenbang Tematik Disabilitas, refleksi dan dinamika sebelumnya mengungkap faktor-faktor yang menguatkan dan melemahkan partisipasi penyandang disabilitas dalam perencanaan pembangunan, baik secara internal maupun eksternal. Faktor-faktor tersebut terbangun dalam diri penyandang disabilitas sebagai self-determination untuk menghadapi praktik sosial. Keempat, kemampuan penyandang disabilitas membangun self-determination menentukan strategi yang dipilih untuk mempertahankan posisi mereka dalam perencanaan pembangunan. Walaupun keberlanjutan kekerasan simbolik sebagai dampak refleksi dan dinamika relasi antara penyandang disabilitas dan pemerintah (beberapa OPD) sebelumnya ada di dalam Musrenbang Tematik Disabilitas, pemerintah (Bappeda) juga berupaya mereduksi kekerasan simbolik dengan membangun transformasi sosial melalui narasi kesetaraan berdasarkan kebijakan perencanaan pembangunan yang inklusif kepada perwakilan OPD. Pada akhirnya, kemampuan adaptasi dan pembenahan akumulasi kapital dalam dalam praktik sosial untuk merekonstruksi dinamika konsepsi disabilitas yang proporsional tanpa mencederai martabat penyandang disabilitas menjadi tugas bersama. Dengan kata lain, identitas penyandang disabilitas tidak berhenti pada pemaknaan individu yang secara utuh tidak mampu yang harus selalu dibantu (konsepsi model medis dan karitatif). Penelitian ini memiliki implikasi teori mengacu pada perlu ada penelitian berikutnya di berbagai aspek isu disabilitas yang kaya akan intersection problems serta pengembangan teori kritik disabilitas dan teori feminis disabilitas. Implikasi praktis mengacu pada 1) perlunya pemerintah mengintegrasikan disability awareness pada beragam sistem program/kegiatan yang telah ada, salah satunya seperti ujian CPNS atau diklat ujian dinas, 2) tinjauan ulang pengarusutamaan isu disabilitas terkait implementasi SAKIP (Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah) dan cross-cutting program. Saran yang ditawarkan bagi pemerintah, perlu reduksi peran delegasi di tahap desk-review, membangun relasi kelas sosial yang sama dengan penyandang disabilitas dalam perencanaan pembangunan. Saran bagi penyandang disabilitas perlu membangun relasi lebih luas dengan berbagai pihak dan perlu membentuk sistem untuk identifikasi persoalan dan kebutuhan secara terstruktur sebagai bahan advokasi. Saran bagi LKS (Lembaga Kesejahteraan Sosial), pemerhati isu disabilitas, dan kelompok orang tua ialah perlu mereduksi peran sebagai subjek dan memberi kesempatan lebih banyak pada penyandang disabilitas sebagai subjek pembangunan dan membangun inisiatif kerjasama untuk memberi dukungan tersebut sesuai fokus kerja LKS atau komunitas.
Item Type: | Thesis (Magister) |
---|---|
Identification Number: | 0423 |
Divisions: | Program Pascasarjana > Magister Kajian Perempuan, Program Pascasarjana |
Depositing User: | Sugeng Moelyono |
Date Deposited: | 26 Jan 2024 07:05 |
Last Modified: | 26 Jan 2024 07:05 |
URI: | http://repository.ub.ac.id/id/eprint/214365 |
![]() |
Text (DALAM MASA EMBARGO)
Dewi Anggraini.pdf Restricted to Registered users only Download (11MB) |
Actions (login required)
![]() |
View Item |