Zamzabila Abdillah, Syakur and Dr. Indah Dwi Qurbani,, S.H., M.H. and Ria Casmi Arrsa, , S.H., M.H. (2023) Tanggung Jawab Presiden dan DPR Terkait Tindakan Constitutional Disobedience dalam Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja. Sarjana thesis, Universitas Brawijaya.
Abstract
Pada penulisan skripsi ini, Penulis mengangkat permasalahan terkait tindakan constitutional disobedience atau pembangkangan terhadap konstitusi dalam penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020 tentang pengujian formil Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja meminta pembentuk undang-undang untuk memperbaiki Undang-Undang No. 11 Tahun 2020 dengan memperhatikan asas pembentukan peraturan perundang-undangan, khususnya asas partisipasi masyarakat yang bermakna (meaningful participation). Namun Presiden justru menetapkan Perppu No. 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja sebagai tindak lanjut dari putusan MK tersebut yang ditetapkan berdasarkan kriteria kegentingan yang memaksa. Kemudian, DPR sebagai lembaga yang berwenang menguji perppu, menurut amanat Pasal 22 ayat (2) UUD NRI 1945 seharusnya melakukan pembahasan pada sidang pertama setelah perppu ditetapkan. Namun dalam Perppu Cipta Kerja, DPR baru memberikan persetujuan terhadap perppu tersebut pada masa sidang berikutnya. Tindakan tersebut mengarah pada bentuk pembangkangan konstitusi (constitutional disobedience) dan menuntut adanya pertanggungjawaban dari Presiden dan DPR. Berdasarkan permasalahan diatas, penelitian ini mengangkat rumusan masalah yaitu: (1) Apakah penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja memenuhi kriteria tindakan constitutional disobedience yang mengimplikasi tanggung jawab Presiden dan DPR? (2) Bagaimana bentuk tanggung jawab yang harus dilakukan oleh Presiden dan DPR terkait dengan tindakan constitutional disobedience dalam penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja? Penelitian skripsi ini menggunakan metode yuridis normatif dengan pendekatan perundangundangan dan pendekatan konseptual. Bahan hukum yang diperoleh Penulis akan dianalisis menggunakan teknik interpretasi gramatikal dan interpretasi sistematis terhadap peraturan perundang-undangan yang terkait dengan penelitian ini. Dari hasil penelitian yang telah dilakukan, Penulis mendapati bahwa penetapan Perppu Cipta Kerja oleh Presiden yang tidak memenuhi unsur meaningful participation sebagaimana diamanatkan putusan MK merupakan suatu pembangkangan terhadap putusan Mahkamah Konstitusi. Unsur kegentingan yang memaksa dalam konsiderans perppu tersebut juga dirasa kurang tepat karena belum ada urgensi memaksa yang dirasakan masyarakat sehingga tidak tepat Presiden menetapkan Perppu Cipta Kerja. Selain itu, tindakan DPR yang menyetujui Perppu Cipta Kerja tidak pada masa sidang berikut juga merupakan pembangkangan terhadap Pasal 22 ayat (2) UUD NRI 1945. Oleh karena itu, Presiden dan DPR yang telah melakukan runtutan tindakan constitutional disobedience harus melakukan pertanggungjawaban atas dampak dari pembangkangan yang telah dilakukan. Upaya yang dapat dilakukan sebagai bentuk pertanggungjawaban yaitu dengan melakukan pencabutan Perppu Cipta Kerja melalui mekanisme legislative review atau executive review.
English Abstract
In writing this thesis, the author raises issues related to acts of constitutional disobedience or defiance of the constitution in the stipulation of Government Regulation in Lieu of Law Number 2 of 2022 concerning Job Creation. Constitutional Court Decision Number 91/PUUXVIII/2020 regarding the formal review of Law Number 11 of 2020 concerning Job Creation asked the legislators to amend Law Number 11 of 2020 taking into account the principles of forming laws and regulations, in particular the principle of meaningful participation. However, the President instead issued Perppu No. 2 of 2022 concerning Job Creation as a follow-up to the Constitutional Court's decision which was determined based on coercive criteria. Then, the DPR as the authorized institution to examine Perppu, according to the mandate of Article 22 paragraph (2) of the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia, should conduct discussions at the first meeting after the Perppu is enacted. However, in the Job Creation Perppu, the DPR rather gave approval to the Perppu on the second meeting. This action is a form of constitutional disobedience and demands accountability from the President and the DPR. Based on the above problems, this study raises the following problem formulation: (1) Does the stipulation of a Government Regulation in Lieu of Law Number 2 of 2022 concerning Job Creation meet the criteria for constitutional disobedience which implies the responsibilities of the President and the DPR? (2) What are the forms of responsibility that must be carried out by the President and the DPR in relation to constitutional disobedience in enacting Government Regulation in Lieu of Law Number 2 of 2022 concerning Job Creation? This thesis research uses a normative juridical method with statutory approaches, conceptual approaches, and comparative approaches. Legal material obtained by the author will be analyzed using grammatical interpretation techniques and systematic interpretation of the laws and regulations related to this research. From the results of the research that has been done, the author finds that the establishment of the Job Creation Perppu by the President which does not fulfill the meaningful participation element as mandated by the Constitutional Court's decision is a violation of the Constitutional Court's decision. The element of coercive urgency in the preamble to the Perppu is also deemed inappropriate because there is no coercive urgency felt by the public, so it is inappropriate for the President to stipulate the Perppu on Job Creation. Apart from that, the DPR's act of approving the Job Creation Perppu during the second meeting session is also a disobedience of Article 22 paragraph (2) of the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia. Therefore, the President and the DPR who have carried out a series of constitutional disobedience actions must take a form of accountability for the impact of the violations that have been committed. Efforts that can be made as a form of accountability are by repealing the Job Creation Perppu through a legislative review or executive review mechanism.
Item Type: | Thesis (Sarjana) |
---|---|
Identification Number: | 052301 |
Divisions: | Fakultas Hukum > Ilmu Hukum |
Depositing User: | Unnamed user with username verry |
Date Deposited: | 25 Jan 2024 08:15 |
Last Modified: | 25 Jan 2024 08:15 |
URI: | http://repository.ub.ac.id/id/eprint/214106 |
Text (Dalam Masa Embargo)
Zamzabila Abdillah Syakur.pdf Restricted to Registered users only until 31 December 2025. Download (2MB) |
Actions (login required)
View Item |