Nopembereni, Eti Dewi and Prof. Dr. Ir. Sugiyanto,, MS and Prof. Dr. Ir. Keppi Sukesi,, MS and Dr. Ir. Yayuk Yulianti., MS Model Pengelolaan Perladangan Berbasis Kearifan Lokal (Studi Kasus di Kecamatan Mantangai Kabupaten Kapuas Provinsi Kalimantan Tengah). Doktor thesis, Universitas Brawijaya.
Abstract
Sasaran utama pembangunan sektor pertanian adalah meningkatkan produksi, pendapatan dan kesejahteraan masyarakat khususnya petani. Salah satu indikator kesejahteraan adalah terpenuhinya kebutuhan pangan masyarakat terutama beras (Kementerian Pertanian Republik Indonesia, 2015). Pertanian tanaman pangan terutama padi ladang masih merupakan usaha potensial, yang masih aktif dilakukan oleh masyarakat lokal di wilayah perbukitan dan lahan kering di Kalimantan Tengah. Potensi lahan kering yang masih luas di Kalimantan Tengah, menjadi andalan masyarakat lokal untuk menanam padi ladang dan tanaman pangan lainnya, beserta sayuran dan buah-buahan. Berdasarkan data statistik bidang pertanian tanaman pangan tahun 2017, bahwa luas tanam dan luas panen padi ladang mencapai 85.654 hektar dengan produksi sebesar 177.732 ton dan produktivitas per hektar mencapai 2 ton, (Badan Pusat Statistik Kalimantan Tengah, 2017). Pengelolaan perladangan berpindah masyarakat Kalimantan Tengah, merupakan kearifan lokal sebagai cara untuk memperoleh bahan pangan, sama dengan pengelolaan perladangan berpindah di dunia pada umumnya, khususnya di Asia Tenggara, terkait dengan pengelolaan lahan kering perbukitan. Sistem pertanian perladangan berpindah masyarakat lokal inipun masih terikat dengan tradisi dan nilai-nilai budaya atau kebiasaan yang sudah turun temurun dilakukan oleh masyarakat. Menginggat pengetahuan dan keterampilan yang mereka peroleh merupakan warisan pendahulunya (nenek moyang) sehingga pemahaman ini merupakan kearifan lokal yang masih dipegang teguh oleh masyarakat lokal. Namun bagaimana kondisi masyarakat perladangan berpindah saat ini dengan segala kearifan lokal yang ada didalamnya, harus berhadapan dengan kondisi jumlah penduduk yang semakin berkembang serta kondisi hutan yang sudah semakin berkurang, karena konversi hutan menjadi lahan pertanian dan perkebunan, termasuk pembangunan struktur dan infastruktur, bagaimana perubahan yang terjadi akibat dari aktivitas pembangunan tersebut terhadap aktivitas perladangan berpindah masyarakat lokal di Kalimantan Tengah, juga menjadi perhatian dalam penelitian ini. Permasalahan yang dialami oleh petani lokal perladangan berpindah di Provinsi Kalimantan Tengah, adalah terbitnya kebijakan pemerintah berupa Undang- Undang No. 18 Tahun 2004, dan No. 32 Tahun 2009, serta diperkuat dengan Peraturan Gubernur Kalimantan Tengah No. 15 Tahun 2010, tentang pelarangan untuk membuka hutan dan lahan dengan cara membakar di satu sisi, dengan sistem tebang bakar peladang berpindah di sisi yang lain, menjadi permasalahan bagi petani peladang dalam pengelolaan usaha pertaniannya. Penelitian ini bertujuan, sebagai berikut : (1) Mengidentifikasi pengelolaan sistem perladangan berpindah pada masyarakat lokal. (2) Mendeskripsikan Nilai- nilai Kearifan Lokal yang diterapkan oleh Peladang Berpindah dalam menjalankan Usahataninya. (3) Mendeskripsikan persepsi masyarakat peladang (Berpindah dan Menetap) terhadap implementasi kebijakan pemerintah tentang larangan membakar hutan dan lahan. (4) Menganalisis Hubungan Antara Implementasi kebijakan Pemerintah tentang larangan membuka hutan dan lahan dengan kegiatan Usahatani dan Tingkat Produktivitas yang di capai Petani Peladang Berpindah. (5) Menganalisis hubungan antara implementasi kebijakan pemerintah tentang larangan membuka hutan dan lahan dengan kegiatan usahatani dan tingkat produktivitas yang di capai petani peladang menetap. (6) Menganalisis proses adaptasi petani peladang berpindah ke peladang menetap. (7) Menyusun model pengelolaan perladangan menetap berbasis kearifan lokal dengan teknologi tepat guna menuju masyarakat industri 4.0. Penelitian ini menggunakan paradigma positivistik, karena perladangan berpindah masyarakat lokal ini merupakan penelitian yang didasari pada fakta sosial yang ada di masyarakat, pendekatan ini digunakan karena masyarakat perladangan berpindah bisa diukur secara ilmiah, serta data memenuhi kaidah konkrit, objektif, terukur, rasional dan sistematis. Metode penelitian menggunakan metode campuran (Mixed Methods Research). Teknik penentuan lokasi dan responden penelitian menggunakan metode Purposive Sampling atau penentuan lokasi penelitian secara sengaja diambil wilayah Kabupaten Kapuas. Alasan pegambilan lokasi tersebut karena kegiatan peladang berpindah masih aktif dilakukan, lokasi ini merupakan wilayah dengan petani perladangan yang masih banyak jumlahnya, dengan luasan lahan perladangan yang juga cukup luas. Pengumpulan data kuantitatif dan data kualitatif dilakukan dengan teknik observasi, wawancara menggunakan kuesioner, melalui pertanyaan-pertanyaan secara tertutup dan terbuka, serta wawancara mendalam dan diskusi dalam kegiatan Focus Group Disscusion (FGD) dan dokumentasi, selanjutnya data diolah dengan menggunakan tabulasi, serta analisis menggunakan program SPSS. Hasil penelitian, menunjukan bahwa pengelolaan perladangan berpindah masyarakat lokal di Kalimantan Tengah sudah mengalami transisi ke pertanian menetap, dengan pola pertanaman sepanjang tahun. Perubahan inilah yang menyebabkan semakin intensifnya lahan dikelola untuk menghasilkan bahan pangan keluarga. Meskipun digunakan secara intensif namun masih berbasis subsistensi, dengan berbagai tanaman yang berpotensi ekonomis dikembangkan, dan masih terikat dengan kearifan lokal dalam sistem pengelolaan perladangan nya. Berdasarkan karakteristik peladang bahwa faktor usia semakin produktif, sehingga lebih rasional dalam menggambil keputusan, keterlibatan kaum perempuan dalam pengelolaan perladangan menetap, lokasi usaha mengalami perubahan lebih dekat dan menetap, sehingga pengelolaan lahan bisa lebih efektif. Perladangan menetap dikelola sepanjang tahun, penggunaan pestisida dan herbisida dalam jumlah yang terbatas, sedangkan alat pertanian yang digunakan mulai berkembang kearah penggunaan alat pertanian bermesin. Kearifan lokal semakin bergeser karena orientasi pengelolaan perladangan sudah kearah hasil dan pendapatan, tidak dilakukan rotasi dan bera pada sistem pengelolaan menetap. Kearifan lokal yang merupakan budaya pada saat perladangan berpindah mengalami pergeseran bahkan hilang, terkait dengan peralatan antara lain; Gagaru, Gumbaan, Ranggaman, balayung, Ungking dan tradisi masyarakat lokal atau upacara adat Pakanan Sahur Lewu Dayak, Mamapas Lewu, Acara Adat Manyanggar, dan Pakanan Batu yang sudah hampir punah dan hanya dilakukan pada saat tertentu yang bersifat insidental. Kesimpulan dari kajian ini, yaitu: Berdasarkan hasil identifikasi bahwa sistem pengelolaan perladangan berpindah merupakan pola usahatani tradisional masyarakat Dayak Ngaju pada khususnya dan masyarakat Dayak di Kalimantan Tengah pada umumnya, secara tradisional hanya bertujuan untuk menghasilkan bahan pangan bagi keluarga. Kearifan lokal dalam sistem pengelolaan perladangan berpindah mengalami perubahan, hal ini di sebabkan antara lain sistem yang sudah menetap, dan perkembangan infrastruktur dan pembangunan, yang dilakukan oleh pemerintah. Persepsi masyarakat terhadap implementasi kebijakan pemerintah tentang pelarangan membakar hutan dan lahan, berada pada kategori yang rendah tentang sosialisasi kebijakan pemerintah pada masyarakat lokal sebagai petani peladang yang menggunakan sistem membakar dalam usahataninya. Kebijakan pemerintah tentang kebakaran hutan dan lahan hendaknya memperhatikan kondisi masyarakat sebagai pelaksana usahatani di lapangan, sehingga tidak merugikan masyarakat secara luas, terkait produksi, produktivitas dan pendapatan serta ketahanan pangan masyarakat. Upaya adaptasi yang dilakukan masyarakat peladang secara on farm dan Off farm. Adaptasi yang dilakukan oleh masyarakat di lokasi penelitian ada empat upaya, yaitu; Tidak mengelola lahan sementara waktu (lahan dibiarkan terlantar), membakar malam hari, lahan ditanami tanaman lain (tanpa padi), dan mencari pekerjaan lain (sebagai buruh). Implementasi kebijakan pemerintah tentang pelarangan pembakaran hutan dan lahan, ternyata berkorelasi secara signifikan dengan aktivitas perladangan masyarakat, di mana menunjukan korelasi yang positif dan signifikan antara implementasi kebijakan dengan produktivitas lahan yang rendah dan hilangnya mata pencaharian masyarakat lokal, dengan taraf signifikansi sebesar 95% dan 99%. Pengelolaan perladangan menetap mengalami kemajuan karena, pengelolaan lebih intensif, lebih produktif dan berkelanjutan, dengan upaya antara lain, mengelola lahan sepanjang tahun, komoditi usaha kearah komoditi tanaman sayuran yang berpotensi ekonomi, terjadwal sepanjang tahun untuk tanaman sayuran. Penggunaan teknologi berkembang ke penggunaan teknologi bermesin, jenis benih padi ladang yang dikelola sebagian menggunakan benih padi gogo lokal unggul. Perkembangan ke depan bagi masyarakat perladangan perlu pengelolaan yang menetap, model yang disarankan adalah model pengelolaan perladangan yang menetap, sehingga para peladang bisa diberikan pendampingan dan pemberdayaan guna meningkatkan usahataninya, bagi para peladang berpindah dengan lokasi usaha yang terpencar, sangat sulit untuk diberdayakan, baik secara teknis maupun ekonomis. Secara teknis pengelolaan perladangan menetap akan memerlukan teknologi yang mekanis, secara ekonomis mampu memilih jenis komoditas beserta analisis usahatani. Sektor pertanian harus ikut berubah seiring perkembangan industri 4.0 ini, dengan pola pertanian cerdas maka penerapan teknologi informasi dan komunikasi sangat potensial untuk diterapkan dalam bidang pertanian baik dalam kegiatan budidaya, panen maupun pasca panen, sehingga dengan penerapan teknologi cerdas, maka petani akan mampu meningkatkan nilai tambah.
English Abstract
The main target of the development of the agricultural sector is to increase production, income and welfare of the community, especially farmers. One of the welfare indicators is the fulfillment of people's food needs, especially rice (Ministry of Agriculture of the Republic of Indonesia, 2015). Food crop agriculture, especially upland rice, is still a potential business, which is still actively carried out by local communities in hilly areas and dry land in Central Kalimantan. The vast potential of dry land in Central Kalimantan, became the mainstay of local communities to grow upland rice and other food crops, along with vegetables and fruits. Based on statistical data on food crops agriculture in 2017, the planting area and harvested area of upland rice reached 85.654 hectares with the production of 177.732 tons with production per hectare reaching 2 tons, (Central Bureau of Statistics of Central Kalimantan, 2017). The management of shifting cultivation in Central Kalimantan, is a local wisdom as a way to obtain food, similar to the management of shifting cultivation in the world in general, especially in Southeast Asia, related to the management of hilly dry land. The farming system of shifting cultivation of local communities is still tied to traditions and cultural values or habits that have been handed down for generations by the community. Given the knowledge and skills that they have acquired are inherited from their predecessors (ancestors) so that this understanding is local wisdom that is still held firmly by the local community. But how is the condition of the current shifting cultivation community with all the local wisdom in it, having to deal with the growing conditions of the population and the diminishing condition of the forest, because the conversion of forests into agricultural and plantation lands, including the construction of structures and infrastructure, how changes occurred as a result of these development activities on shifting cultivation activities of local communities in Central Kalimantan, was also a concern in this study. The problem experienced by local farmers of shifting cultivation in Central Kalimantan Province is the issuance of government policies in the form of Law No. 18 of 2004, and No. 32 of 2009, and strengthened by the Central Kalimantan Governor Regulation No. 15 of 2010, concerning the prohibition to open forests and land by burning on one side, with the shifting cultivation system of shifting cultivators on the other side, it becomes a problem for farming farmers in managing their agricultural businesses. This study aims, as follows: (1) Identify the management of shifting cultivation systems of local communities. (2) Identify local wisdom in shifting cultivation systems. (3) Analyzing the perceptions of farming communities on the implementation of government policies on the prohibition of burning forests and land. (4) Analyzing the relationship between government policies and farming activities and the adaptation efforts of the farming community. (5) Analyze the projections of the application of technology in the management of farming with indicators of the industrial revolution. (6) Arrange a shifting cultivation management model based on the local wisdom of the community. This study uses the positivistic paradigm, because shifting cultivation of local communities is a research based on social facts that exist in the community, this approach is used because shifting cultivation communities can be measured scientifically because the data meets concrete, objective, measurable, rational and systematic rules. The research method uses a mixed method (Mixed Methods Research). The technique of determining the location and respondents of the study used the Purposive Sampling method or the determination of the location of the study was deliberately taken the Kapuas Regency area. The reason for taking this location was because the shifting cultivation activities were still actively carried out, this location was an area with a large number of cultivating farmers, with a vast area of cultivated land. The collection of Quantitative data and qualitative data is done by observation techniques, interviews using questionnaires, through closed and open questions, and in-depth interviews and discussions in Focus Group Discussion (FGD) and documentation activities, then the data is processed using tabulation, and analysis using Excel and SPSS programs. The results of the study show that the management of shifting cultivation of local communities in Central Kalimantan has undergone a transition to settled agriculture, with cropping patterns throughout the year. This change has caused more intensive land to be managed to produce family food. Even though it is used intensively, its management is still subsistence-based, with various potentially economical plants being developed, but in its management it is still tied to local wisdom in its farming management system. Shifting cultivation is a structural adaptation of society through its local knowledge, so that today it produces management of settled cultivation based on local wisdom, more productive and sustainable. Based on the characteristics of the farmer that the age factor has become more productive, so that it is more rational in making decisions, there are already women who manage the settled cultivation, business locations have experiencing closer and permanent changes, so that land management can be more effective. Settled cultivation has been managed throughout the year, there have been limited use of pesticides and herbicides, while the agricultural equipment used has begun to develop towards the use of agricultural machinery. Local wisdom has increasingly shifted because the orientation of management of agriculture has been towards yield and income, no bera and rotation has been carried out on the settled management system. Local wisdom which is the culture at the time of shifting cultivation is experiencing a shift and even lost, related to equipment, among others; Gagaru, Gumbaan, Ranggaman, Balayung, Ungking and the traditions of local people or the traditional ceremony of Pakanan Sahur Lewu Dayak, Mamapas Lewu, Manyanggar Traditional Events, and Pakanan Batu which have almost disappeared and are only done at certain times which are incidental. The conclusion of this study, namely: Based on the results of identification that the shifting cultivation management system is a traditional farming pattern of Dayak Ngaju communities in particular and Dayak communities in Central Kalimantan in general, traditionally only aims to produce food for the family. Local wisdom in the management system of shifting cultivation has undergone a change, this has been caused, among others, by the system that has been settled, and the development of infrastructure and construction, carried out by the governmentLocal wisdom in the shifting cultivation management system has changed, the rotation and the fallow/bera system has not been carried out anymore, because the system has settled. Public perceptions on the implementation of government policies regarding the prohibition of burning forests and land are in the low category about the dissemination of government policies on local communities as farmers who use the burning system in their farming. Government policy on forest and land fires should pay attention to the condition of the community as implementers of farming in the field, so that not to harm the community at large, related to production, productivity and income as well as food security of the community. Adaptation efforts made by the farming community with on farm and off farm basis. Adaptation efforts that carried out, there are four efforts made by the community at the location of the study in adaptation efforts, among others; Not managing the land temporarily (land left abandoned), burning at night, land planted with other crops (without rice), and looking for other jobs (as laborers). The implementation of government policies on the prohibition of forest and land burning, evidently correlate significantly with community farming activities, which showed a positive and significant correlation between the implementation of policies with low land productivity and loss of livelihoods of local communities, with a significance level of 95% and 99 %. Management of settled cultivation has progressed because the management is more intensive, more productive and sustainable, with efforts among others; managing land throughout the year, business commodities towards vegetable crop commodities that have economic potential, scheduled throughout the year for vegetable crops. The use of technology has developed into the use of machined technology, the type of upland rice seed which is managed partly has been used superior local upland/gogo rice seeds.
Item Type: | Thesis (Doktor) |
---|---|
Identification Number: | 0619040000 |
Subjects: | 600 Technology (Applied sciences) > 630 Agriculture and related technologies |
Divisions: | S2/S3 > Doktor Ilmu Pertanian, Fakultas Pertanian |
Depositing User: | Nur Cholis |
Date Deposited: | 04 Apr 2023 03:16 |
Last Modified: | 04 Apr 2023 03:16 |
URI: | http://repository.ub.ac.id/id/eprint/197891 |
![]() |
Text
ETI DEWI NOPEMBERENI.pdf Download (7MB) |
Actions (login required)
![]() |
View Item |