Pengaruh Pemberian Rapamycin Jangka Panjang terhadap Konsentrasi Kalsium Intraseluler dan Aktivitas RhoA pada Organotypic Hippocampal Slice Culture Model Epilepsi yang Diinduksi dengan Asam Kainat

Karimah, Rumman and dr. Hidayat Sujuti, Sp.M, PhD and Prof. Dr. drh. Aulanni’am, DES (2022) Pengaruh Pemberian Rapamycin Jangka Panjang terhadap Konsentrasi Kalsium Intraseluler dan Aktivitas RhoA pada Organotypic Hippocampal Slice Culture Model Epilepsi yang Diinduksi dengan Asam Kainat. Magister thesis, Universitas Brawijaya.

Abstract

Epilepsi merupakan salah satu gangguan neurologis yang paling banyak terjadi di dunia. Hingga 2018, dinyatakan terdapat 30% pasien epilepsi refrakter obat, yaitu pasien epilepsi yang masih mengalami kejadian kejang dan gejala perburukan yang ditandai dengan meningkatnya frekuensi kejang dan penurunan kognitif meskipun dalam penggunaan Obat Anti Epilepsi. mTOR adalah serin/ treonin kinase yang merupakan protein multidomain yang terdiri dari dua multikompleks yang berbeda, yaitu mTORC1 dan mTORC2. Pada beberapa penelitian yang dilakukan dengan hewan coba model epilepsi lobus temporal menunjukkan peran mTORC1 dalam epileptogenesis. Epileptogenesis terjadi dikarenakan pada peningkatan signaling mTORC-1 akan memberikan stimulasi elektrik pada amygdala dan angular bundle. Namun demikian, peran fungsional mTORC2 dalam sirkuit persinyalan mTOR hingga saat ini masih belum banyak diteliti. RhoA yang merupakan salah satu downstream dari mTORC2 diyakini sebagai salah satu protein yang berperan dalam patogenesis epilepsi dengan hipereksitabilitas yang akan menginduksi perubahan pada F-actin network. Hipokampus adalah daerah otak yang paling rentan terhadap kerusakan dan penelitian pada hipokampus secara in vivo telah banyak dilakukan untuk melihat mekanisme kejang dengan farmakoresisten dan dapat digunakan untuk identifikasi senyawa antikonvulsan baru yang efektif dalam epilepsi resisten obat. Sejak tahun 1980 asam kainat telah digunakan sebagai agen penginduksi kejang untuk mengidentifikasi aksi eksitatorik yang berlebih pada neuron. Fluoresensi kalsium merupakan pendekatan alternatif untuk mengukur aktivitas neuronal dengan memantau fluktuasi konsentrasi kalsium intraseluler yang menyertai depolarisasi neuron. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh pemberian rapamisin jangka panjang terhadap konsentrasi kalsium intraseluler dan aktivitas RhoA pada Organotypic Hippocampal Slice Culture model epilepsi yang diinduksi dengan asam kainat. Penelitian yang dilakukan merupakan suatu penelitian true experimental post test-only pada Organotypic Hippocampal Slice Culture (OHSC) dari hewan coba Rattus norvegicus strain wistar yang diinduksi dengan asam kainat sebagai agen prokonvulsan, dan diberi perlakuan dengan pemberian rapamisin dengan waktu yang berbeda-beda. Asam kainat diberikan secara bath application dengan dilakukan homogenisasi asam kainat 7 μM dari stock dengan 900 μM media kultur. OHSC dibagi ke dalam 6 kelompok yang terdiri dari kontrol positif viii (asam kainat 7 μM), kontrol negatif (media kultur), KP1 (asam kainat 7 μM + rapamisin 20 nM selama 3 hari), KP2 (asam kainat 7 μM + rapamisin 20 nM selama 5 hari), KP3 (asam kainat 7 μM + rapamisin 20 nM selama 8 hari), KP4 (asam kainat 7 μM + rapamisin 20 nM selama 10 hari). Selanjutnya dilakukan pengukuran konsentrasi kalsium intraseluler menggunakan immunifluoresensi dan aktivitas RhoA menggunakan western blot. Data yang didapat dipastikan normal dan homogen menggunakan Saphiro Wilk dan Levene yang kemudian dilanjutkan dengan uji one way ANOVA dan post-hoc Tukey HSD. Uji korelasi Spearman dilakukan untuk mengetahui signifikansi hubungan antara pemberian rapamisin jangka panjang terhadap konsentrasi kalsium intraseluler dan aktivitas RhoA. Hasil penelitian menunjukkan bahwa semakin lama paparan rapamisin, maka semakin rendah konsentrasi kalsium intraseluler yang terlihat dengan semakin rendahnya pendaran yang muncul pada pewarnaan kalsium intraseluler. Adapun perbedaan efek penurunan konsentrasi kalsium intraseluler pada setiap kelompok menunjukkan hasil yang signifikan (p<0,05), dengan KP4 sebagai kelompok yang menunjukkan penurunan paling tinggi yaitu 55,91% dibandingkan dengan kelompok K+. Sedangkan hasil aktivitas RhoA pada penelitian ini memiliki pola yang sama dengan hasil konsentrasi kalsium intraseluler diatas, dimana didapatkan semakin lama paparan rapamisin, maka semakin rendah aktivitas RhoA yang terlihat dengan semakin rendahnya ketebalan pita protein RhoA yang muncul pada pembacaan western blot. Adapun perbedaan efek penurunan aktivitas RhoA pada setiap kelompok menunjukkan hasil yang signifikan terhadap kelompok K+ (p<0,05), dengan KP4 sebagai kelompok yang menunjukkan penurunan paling tinggi yaitu 69,91% dibandingkan dengan kelompok K+. Penelitian ini juga menemukan adanya korelasi positif antara penurunan konsentrasi kalsium intraseluler dengan penurunan aktivitas RhoA (p=0,000; r=0,703).

English Abstract

Epilepsy is one of the most common neurological disorders in the world. In 2018, there were 30% of drug-refractory epilepsy patients, namely epilepsy patients who still experienced seizures and worsening symptoms as indicated by the frequency of seizures and cognitive decline despite the use of anti-epileptic drugs. mTOR is a serine/threonine kinase which is a multidomain protein consisting of two different multicomplexes, namely mTORC1 and mTORC2. In several epilepsy studies conducted with experimental animal models of the temporal lobe, the role of mTORC1 in epileptogenesis has been demonstrated. Epileptogenesis occurs because the increase in mTORC-1 signaling will provide electrical stimulation to the amygdala and angular bundle. However, the functional role of mTORC2 in the mTOR signaling circuit has not been widely studied to date. RhoA which is one of the downstream of mTORC2 is believed to be one of the proteins that play a role in the pathogenesis of epilepsy with hyperexcitability that will induce changes in the F-actin network. The hippocampus is the brain that is most susceptible to damage and in vivo studies on the hippocampus have been carried out to examine the mechanism of pharmaco-resistant seizures and can be used to identify new anticonvulsant compounds that are effective in drug-resistant epilepsy. Since the 1980s, kainic acid has been used as a seizure-inducing agent to identify its exaggerated excitatory action on neurons. Calcium fluorescence is an alternative approach to measuring neuronal activity by simplifying the intracellular calcium concentration that accompanies neuronal depolarization. The aim of this study was to determine the effect of long-term administration of rapamycin on intracellular calcium concentration and RhoA activity in an Organotypic Hippocampal Slice Culture epilepsy model induced by kainic acid. This research is a true experimental post-test-only study on Organotypic Hippocampal Slice Culture (OHSC) from Rattus norvegicus strain wistar induced with kainic acid as a proconvulsant agent, and treated with rapamicin at different times. Cainic acid was given by bath application by homogenizing 7 M kainic acid from stock with 900 M culture media. The OHSCs were divided into 6 groups consisting of positive control (7 M kainic acid), negative control (culture media), KP1 (7 M kainic acid + 20 nM rapamycin for 3 days), KP2 (7 M kainic acid + 20 nM rapamicin for 3 days). 5 days), KP3 (7 M kainic acid + 20 nM rapamycin for 8 days), KP4 (7 M kainic acid + 20 nM rapamicin for 10 days). Subsequently, the intracellular calcium concentration was measured using immunofluorescence and RhoA activity using western blot. The data obtained were confirmed to be normal x and homogeneous using Saphiro Wilk and Levene, which was then followed by one-way ANOVA and post-hoc Tukey HSD tests. Spearman correlation test was conducted to determine the significance of the relationship between long-term administration of rapamycin on intracellular calcium concentrations and RhoA activity. The results showed that the longer the exposure to rapamycin, the lower the intracellular calcium concentration as seen with the lower luminescence that appeared on intracellular calcium staining. The difference in the decrease in intracellular calcium concentration in each group showed significant results (p<0.05), with KP4 as the group showing the highest decrease, namely 55.91% compared to the K+ group. While the results of RhoA activity in this study had the same pattern as the results of the intracellular calcium concentration above, where an increase in the duration of exposure to rapamycin was obtained, the lower RhoA activity was seen with the lower thickness of the RhoA protein band that appeared when reading western blot. Several differences in the effect of decreasing RhoA activity in each group showed significant results in the K+ group (p<0.05), with KP4 as the group showing the highest decrease, ie 69.91% compared to the K+ group. This study also found a positive correlation between decreased intracellular calcium concentration and decreased RhoA activity (p=0.000

Item Type: Thesis (Magister)
Identification Number: 0422060124
Subjects: 600 Technology (Applied sciences) > 616 Diseases > 616.02 Special topics of disease > 616.025 Medical emergencies / Emergency medicine / Emergency nursing / Triage (Medicine)
Divisions: S2/S3 > Magister Ilmu Biomedis, Fakultas Kedokteran
Depositing User: Endang Susworini
Date Deposited: 08 Feb 2023 04:01
Last Modified: 08 Feb 2023 04:01
URI: http://repository.ub.ac.id/id/eprint/197332
[thumbnail of DALAM MASA EMBARGO] Text (DALAM MASA EMBARGO)
Rumman Karimah.pdf
Restricted to Registered users only until 31 December 2024.

Download (4MB)

Actions (login required)

View Item View Item