Nur, Abubakar Muhammad and Prof. Dr. Ir. Sanggar Kanto, MS and Prof.Dr.Ir.Darsono Wisadirara, MS and Prof.Dr.I.Nyoman Nurjaya, SH.,MS (2019) Resolusi Konflik Dalam Komunitas Hibua Lamo Sebagai Upaya Memelihara Kohesi Sosial(Studi Etnografi Pada Etnis Tobelo Di Halmahera Utara). Doktor thesis, Universitas Brawijaya.
Abstract
Komunitas Hibua Lamo adalah suatu kelompok masyarakat yang hidup dan saling berintegrasi di Halmahera Utara, yang ditandai dengan perlakuan adat- istiadat. Dalam kehidupan bermasyarakat, komunitas Hibua Lamo selalu hidup rukun dan damai, sejak 1606, dibawah landasan nilai-nilai budaya, sebagai basis kearifan lokal. Tahun 1999-2001, komunitas Hibua Lamo dilanda konflik dan kekerasan antar saudara yang bernuansa agama (Islam vs Kristen), mereka saling membunuh. Resolusi konflik merupakan upaya analisis dan penyelesaian masalah yang dialami oleh kelompok masyarakat, untuk menghilangkan alasan-alasan yang bersifat substansial disertai emosional sebagai penyebab konflik, dengan mempertimbangkan nilai-nilai budaya yang dimilikinya. Konflik dan kekerasan yang bernuansa agama di dalam komunitas Hibua Lamo tidak dapat diselesaikan dengan pendekatan agama, melainkan dengan pendekatan adat, padahal diberbagai kasus, konflik yang bernuansa agama, harus diselesaikan melalui pendekatan agama. Tujuan penelitian ini untuk mendiskripsikan dan menganalisis: (1) Perkembangan komunitas Hibua Lamo dan sebab-sebab terjadinya konflik antarsaudara yang berbeda agama di Halmahera Utara; (2) PeranHibua Lamo, sebagai media kearifan lokal yang menjadi simbol perekat sosial dalam resolusi konflik dan upaya memelihara kohesi sosial di Halmahera Utara; (3) Peran Pemerintah Daerah dan Elite Lokal dalam resolusi konflik, sebagai upaya memelihara kohesi sosial. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif, dengan pendekatan etnografi, pengumpulan data melalui observasi, wawancara, dokumen. Pendekatan ini digunakan karena informan yang diperlukan bervariasi dan membutuhkan waktu yang cukup lama (6 bulan 2 minggu dan 5 hari). Hasil penelitian menunjukkan, bahwa proses terjadinya perubahan sosial dan perkembangan komunitas Hibua lamo, ditandai dengan iklim kehidupan bermasyarakat, terpetakan menjadi tiga keadaan: Pertama, keadaan masyarakat sebelum 1999. Pada era ini dinamika kehidupan sosial kemasyarakatan komunitas Hibua Lamo dalam suasana harmonis. Kedua, keadaan komunitas Hibua Lamo, sedang berada dalam suasana berkonflik (1999-2001). Pada era ini sistem kekerabatan menjadi rapuh, semua pranata sosial kacau-balau. Masyarakat telah terprovokasi oleh gerakan tak berwajah (provokator), masing-masing mengambil pilihan dan sikap sesuai akidah dan keyakinan yang dianut. Ketiga, keadaan masyarakat pasca konflik dan kekerasan setelah 2001, era iniproses rekonsiliasi, yakni usaha mempertemukan keinginan pihak-pihak yang telah berselisih untuk mencapai tujuan bersama (menyelesaikan perselisihan dan memelihara kohesi sosial). Konflik dalam komunitas Hibua Lamo dipicuh oleh konflik dan kekerasan antar penganut agama di Ambon 1999. Ada tiga faktor yang menjadi eskalator konflik dan kekerasan di dalam komunitas Hibua Lamo: (1) Fanatisme masing-masing penganut agama yang berlebihan; (2) Rapuhnya nilai-nilai luhur dalam budaya Hibua Lamo; (3) Kelompok masyarakat yang eksodus sebagai dampak dari korban konflik kekerasan di Ambon, masing-masing membawa informasi sesuai dengan penderitaan yang dialaminya, bermuara pada rasa iba oleh masing-masing penganut agama (Islam dan Kristen), mempercepat terjadinya konflik dan kekerasan (saling membunuh) antar saudara dalam komunitas Hibua Lamo, di Tobelo Halmahera Utara. Teknologi resolusi konflik dalam komunitas Hibua Lamo, melalui pendekatan adat dibawah naungan nilai-nilai budaya Hibua Lamo, yang berbasis kearifan lokal, dengan cara “barekata” (silaturahim/saling berkunjung) dan “Higaro”(mengajak). Komunitas Hibua Lamo, telah memiliki salah satu media pengendalian sosial, lembaga adat (Hibua Lamo), sebagai institusi lokal yang berfungsi sebagai perekat sosial. Ketika terjadi konflik dan kekerasan antar saudara yang bernuansa agama, Hein hadir sebagai lokomotif resolusi konflik, berhasil menyatukan masyarakat melalui pendekatan adat, dengan cara “barekata” dan ‘ber-higaro” yakni melakukan silaturahim/berkunjung kepada komunitas yang berkonflik di pengungsian untuk saling mengajak dan membicarakan proses penyelesaian konflik dengan pendekatan “adat se-atoran” (nilai dan norma) sebagai landasan kerukunan sosial di dalam komunitas Hibua Lamo. Lembaga adat Hibua Lamo berfungsi dan berperan sebagai simbol perekat sosial,menampung dan memfasilitasi berbagai komunitas yang berada di wilayah adat, memupuk rasa persaudaraan dari berbagai golongan, mengayomi semua komunitas, melindungi setiap orang yang datang dan menetap di wilayah adat, untuk memelihara kohesi sosial Halmahera Utara. Hein sebagai tokoh sentral dari dua kekuatan, yakni sebagai Bupati untuk mengendalikan regulasi pemerintahan, sebagai “Jikomakolano” (penjaga kawasan adat) untuk mengendalikan fungsi dan peran nilai-nilai budaya sebagai basis kearifan lokal, berhasil memelihara kohesi sosial.Peran Hein sebagai pengendalian regulasi birokrasi dan pengendalian nilai-nilai budaya sebagai basis kearifan lokal, berhasil melahirkan kesadaran kolektif dalam komunitas Hibua Lamo, yakni: Pertama, kesadaran masyarakat tentang sikap kealpaan terhadap fungsi dan peran nilai-nilai budaya lokal sebagai falsafah hidup komunitas Hibua Lamo (etnis Tobelo). Kedua, kesadaran tentang kepentingan politik sesaat oleh elite lokal. Ketiga, adanya sikap mengalah dari kelompok yang berkonflik, bahwa tidak ada yang paling beruntung di antara mereka yang berkonflik. Keempat, segera adanya kesadaran para elite lokal yang terlibat dalam permainan (sebagai motivator konflik), untuk mengakhiri permainannya. Jika konflik dan kekerasan tidak segera berhenti maka wilayahnya (Halmahera Utara) yang baru dimekarkan itu akan terlambat atau tidak segera dibangun. Apabila konflik di antara mereka tidak berhenti dan berjalan terus maka impian kepentingan politik oleh para elite lokal pun tidak kunjung diperoleh. Dalam upaya memelihara keseimbangan perasaan dan rasa keadilan antara komunitas Islam dan Nasrani, Pemerintah Daerah membangun rumah ibadah (Masjid dan Gereja). Kalau sebelumnya hanya dikenal adanya gereja pusat, maka pasca konflik telah dibangun juga Masjid Raya. Kalau ada jalan aspal ke Selatan (daerah mayoritas nasrani) yang dibangun, maka pasca konflik telah dibangun juga jalan aspal ke Utara (daerah mayoritas muslim), sehingga proses hubungan timbal-balik antar masyarakat dan segera adanya pembauran antar kelompok masyarakat secara holistik. Saran-saran: (1) Harus ada Peraturan Daerah tentang pengelolaan resolusi konfli dan kohesi sosial, dan ada klausul di dalam PERDA tersebut menyatakan, bahwa setiap Bupati yang terpilih harus memangku dua jabatan (Bupati dan Jikomakolano/pengendali kawasan adat), selama menjabat Kepala Pemerintahan Daerah (khususnya daerah adat), agar dapat mengendalikan masyarakat secara holistik, melalui dua kekuatan dimaksud; (2) Agar konflik dan kekerasan. antarsaudara tidak terulang lagi, harus ada kesadaran kolektif. Pertama, kesadaran terhadap kepentingan politik sesaat (para elite politik). Kedua, kesadaran tentang sikap kealpaan terhadap eksistensi nilai-nilai budaya lokal, sebagai perekat sosial (para tokoh adat dan komunitas Hibua Lamo). Ketiga, Kesadaran tentang cara berfikir terhadap pemahaman ajaran agama masing-masing, Islam dan Kristen (para tokoh agama dan masyarakat); (3) Pemerintah Daerah bersama elite lokal, harus memfungsikan dan memberdayakan peran lembaga adat sebagai perekat sosial serta menjadi pilar pelestarian nilai-nilai budaya yang berbasis kearifan lokal. Jika ada kehadiran gelombang eksodus sebagai korban koflik dan kekerasan secara masif di daerah asalnya, jangan langsung diberi ruang untuk berbaur dengan masyarakat setempat, harus diisolir di tempat khusus, agar masyarakat tidak segera terprovokasi dan bisa merusak sistem kekerabatannya. Untuk membangun sistem kekerabatan dan memelihara kohesi sosial di dalam komunitas Hibua Lamo, maka budayakan bahasa lokal (bahasa Tobelo) sebagai bahasa pengantar dikalangan komunitas Hibua
English Abstract
Hibua Lamo community is a social group living cohesively in North Halmahera which is characterized by local Adat (Custom). They lived there in peace and harmony since 1606, based on cultural values as its local wisdom basis. From 1999 to 2001 they suffered from a brutal religious conflict among their own brotherhoods (i.e. Moslem vs Christian). A conflict resolution, an analytical effort and problem solving is intended to end these substantial and emotional reasons by using cultural values’ consideration. Religious conflict and violation of Hibua Lamo community could not be solved by religious approach but only by the approaches of Adat. The research is aimed to describe and analyze (1) the development of Hibua Lamo community and causes of conflict among brotherhood and religion in North Halmahera; (2) Hibua Lamo as local wisdom agen which plays its role as social cohesion symbol in conflict resolution and the effort to maintain social cohesion in North Halmahera; (3) Roles of local government and local elites in conflict resolution to maintain social cohesion. The research uses descriptive method and qualitative approach. Data collection method is using observation, interview, documentation study. The method used due to the variety of informan needed. Research findings showed that the process of social change and Hibua Lamo community development are characterized by three different social climates. First, the social condition pre 1999. In this era Hibua Lamo society lived in harmony. Second, the condition of Hibua Lamo community suffered from a conflict between 1999 to 2001. In this era, the brotherhood system was very fragile, social stratification was in messy. The society was provocated by invisible hand and each side standed in accordance with their own faiths. Third, the social condition was characterized by reconciliation post conflict since 2001. It tried to find out a common interest between conflicting parties, i.e. problem solution and maintaining social cohesion. The conflict of Hibua Lamo community was triggered by conflict and violation between different religious groups in Ambon in 1999. There were three factors that caused conflict and violation, those are (1) fanatism and over-acting among different religion groups; (2) the fragile of respected value in Hibua Lamo culture, (3) exodus of social groups as the impact of conflict and violation victims in Ambon, each of disseminate hollow information about their own bad conflict experiences, which was responded negatively (moslem vs Christian groups) to provocate conflict and violation (even assasination) between brotherhoods in Hibua Lamo community in Tobelo, North Halmahera. Conflict resolution offered to Hibua Lamo community to use Adat approach in line with cultural values of Hibua Lamo’s local wisdom, such as “barekata” (brotherhood visit) and “higaro” (invitation). Hibua Lamo community possed social control media, Adat institution (Hibua Lamo) to function as social cohesion. When conflict and violation occured between its brotherhoods with religion background, Hein comes as locomotive for conflict resolution successfully to society through Adat approach by using “barekata” and “higaro” by visiting the conflicting community at refugee camp and motivate them to have a talk about the process of conflict resolution with “Adat se-atoran” approach (value and norm) as the foundation for social cohesion at Hibua Lamo community. Hibua Lamo Adat institution functions and plays a role as social cohesion symbol, to accomodate a wide variety of community within Adat territory, to accumulate their brotherhood from variety of groups, to accomodate all communities, to protect every person who comes and stays at Adat territory, to maintain social cohesion of North Halmahera. Hein, as central figure from two different forces, i.e. as Regent controlling government regulation, and as “Jikonakolano” (guard Adat area) to control function and role of cultural values as local wisdom basis, and succeed to maintain social cohesion. All of which are intended to create collective conscience in Hibua Lamo community that consist of: First, community conscience about indifferent attitude toward function and role of local cultural values as life philosophy of Hibua Lamo community (Tobelo ethnics). Second, conscience about instant political interest by local elites. Third, there is defeatism attitude among conflicting group in that there is no one takes benefit most. Fourth, the conscienceness of local elites who involved in the game to end in itself. If it is not end soon the development of North Halmahera will come to be very late. Another consequence is that the local elites dreams will not come true. In maintaining balance treatment and justice between Moslem and Christian communities, local government build Mosque and Church in balance speed. So, the development of infrastructure always maintain balance between both sides The research recommends that (1) there must be made local regulations to manage conflict resolution and social cohesion, added one point that every elected Regent must hold two respected positions, i.e. Regent and Jikomakolano as long as in charge, in order that he/she is able to control society holistically under those two forces, (2) In order that conflict and violation among brotherhoods not occur in the future, there must be a collective conscience. First, conscience against instant political interest. Second, conscience of idifferent attitude toward the existence of local cultural values as social cohesion (Adat leaders and Hibua Lamo community). Third, conscience about mindset upon each religion faith, i.e. Islam and Christian, (3) Local government and local elites must be functioning and empowering role of Adat institution as social cohesion and also as sustainable pillars of cultural values based on local wisdom. If there is exodus of massive conflict and violation at their origins, avoid their involvement with local community but they must be isolated at special place in order that society does not be provocated and destroy their brotherhood systems. To develop brotherhoodness system and to maintain social cohesion in the Hibua Lamo community, socialize local language (Tobelo language) as mother tongue to communicate among Hibua Lamo community.
Item Type: | Thesis (Doktor) |
---|---|
Identification Number: | DIS/303.69/NUR/r/2019/061906291 |
Uncontrolled Keywords: | Resolusi Konflik, Kohesi Sosial, Komunitas Hibua Lamo, Conflict resolution, social cohesion, Hibua Lamo community. |
Subjects: | 300 Social sciences > 303 Social Processes > 303.6 Conflict and conflict resolution > 303.69 Conflict resolution |
Divisions: | S2/S3 > Doktor Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik |
Depositing User: | Zainul Mustofa |
Date Deposited: | 20 Oct 2022 07:44 |
Last Modified: | 20 Oct 2022 07:44 |
URI: | http://repository.ub.ac.id/id/eprint/195864 |
Text
Abubakar Muhammad Nur.pdf Restricted to Registered users only Download (7MB) |
Actions (login required)
View Item |