Dinamika Peraturan Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah Di Indonesia

Syaifullah, M. Agus and Prof. Dr. Suhariningsih,, S.H., S.U and Dr. Sihabudin,, S.H., M.H and Dr. Jazim Hamidi,, S.H., M.H (2018) Dinamika Peraturan Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah Di Indonesia. Doktor thesis, Universitas Brawijaya.

Abstract

Perbankan syariah dalam konteks Indonesia diawali dengan kegiatan lokakarya MUI (Majelis Ulama Indonesia) untuk mendirikan Bank Syariah pada tahun 1990, kemudian secara berurutan mendapatkan kekuatan yuridis formal sejak tahun 1992 dengan diterbitkannya UU. No 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, dan berakhir UU. No 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah. Serentetan undang-undang tersebut secara operasional masih menyisakan permasalahan regulasi, khususnya dalam hal penyelesaian sengketa perbankan syariah. Pengaturan Penyelesaian sengketa tersebut secara konseptual memiliki ambiguitas pengertian dan mewujudkan ambivalen mengakibatkan terjadinya penurunan reputasi, independensi dan wibawa pengadilan jauh dari nilai-nilai keadilan. Penelitian disertasi yang berjudul “Dinamika Peraturan Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah di Indonesia” ini digolongkan sebagai penelitian hukum normatif yang bertujuan untuk mengeksplorasi dan memaparkan serta menemukan materi muatan norma hukum perbankan syariah untuk dianalisis, khususnya berkenaan dengan penyelesaian sengketa sehingga terwujud konsep ideal; antarodhin (saling rela) dan al-adlu (Adil). Pisau analisis dengan metode hermeneutics yang dipergunakan untuk membahas permasalahan hukum dalam penelitian disertasi ini adalah teori keadilan, teori kepastian, dan teori perlindungan. Isu hukumnya terdapat pada Pasal 49 UURI No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama menyatakan bahwa kewenangan Peradilan Agama hanya meliputi perkara-perkara dibidang perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, waqaf, dan sedekah, kemudian disusul dengan UURI No 3 Tahun 2006 bertambah kewenangannya dibidang ekonomi syariah, kemudian seiring perjalanan waktu kemudian muncul perubahan kedua yaitu UURI No 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama Pasal 1 angka (1) menyebutkan; Peradilan agama adalah peradilan bagi orang-orang yang beragama Islam, juga Sema No. 8 Tahun 2008 dan Sema No 8 Tahun 2010 yang tidak konsisten. Menurut Peneliti hal tersebut menunjukkan sikap dan wujud ambivalen terhadap produk hukum peradilan agama. Peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang penyelesaian sengketa perbankan syariah mulai dari undang-undang hingga peraturan pelaksanaannya memunculkan pengertian yang ambigu sehingga terjadi ambivalen, diantaranya adalah: 1) Terjadinya inkonsistensi dalam peraturan perundang-undangan. Inkonsistensi ini terjadi pada ketentuan Pasal 1 angka 1 UURI No. 7/1989 tentang Peradilan Agama dan pasal 49 UURI No 3/2006 Tentang Perubahan UURI No 7/1989 tentang Peradilan Agama serta pasal 1 Angka 1 Tentang Perubahan Kedua UURI No 7/1989 Tentang Peradilan Agama. 2) Terjadi disharmonisasi dalam peraturan perundang-undangan. Disharmonisasi ini terjadi pada ketentuan tentang penyelesaian sengketa perbankan syariah yang diatur dalam pasal 55 (1) UURI No 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah dan pasal 1 (1) UURI No 50 Tahun 2009 Tentang Tentang Perubahan Kedua UURI No 7 Tahun 1989 TentangPPeradilan Agama. 3) Terjadi konfliknnorma dalam peraturan perundang-undangan yang kemudian disusul aturan teknis guna memenuhi kejelasan dalam hal eksekusi sengketa perbankan syariah. Konflik norma ini terjadi pada ketentuan Pasal 55 (1) UURI No. 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah dan pasal 61 UURI No 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian Sengketa serta Pasal 59 (3) UURI No 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman. Berdasarkan hal tersebut diatas, dengan analisa hermeneutics maka kegunaan teoritik dari penelitian hukum ini adalah sebuah upaya untuk menemukan konsep penyelesaian sengketa perbankan syariah pada peradilan yang memiliki reputasi, independensi serta wibawa pengadilan berdasarkan nilai-nilai keadilan. Melalui penganalisaan yang dilakukan atas hasil temuan penelitian dari permasalahan hukum yang dikemukakan, maka dapat disimpulkan: Pertama: Dinamika Peraturan dalam penyelesaian sengketa perbankan syariah di Indonesia utamanya terdapat pada peraturan perundang-undangan terjadi, karena sejak awal kemerdekaan hukum Indonesia yang berdasarkan Pancasila masih banyak dipengaruhi hukum hindia Belanda. Penyelesaian sengketa perbankan syariah, satu aturan memberi kewenangan terhadap lembaga peradilan agama sementara aturan lain membuka pula penyelesaian sengketa oleh pengadilan negeri. Sema no 8 Tahun 2008 point 4 telah memberi kewenangan penuh kepada Pengadilan Agama, namun pada Sema No 8 Tahun 2010 telah mencabut kembali kewenanannya atas pengadilan agama kepada Pengadilan Negeri. Tujuan hukum secara umum harus mencerminkan sisi keadilan yang penuh kemanfaatan, perlindungan serta adanya kepastian hukum. Ketidak-konsistenan ini menurut pendapat peneliti bahwa keinginan pembuat aturan perundang-undangan dipengaruhi oleh ketidakpercayaan serta adanya anggapan ketidak mampuan karena faktor sumberdaya manusianya, padahal amanat undang-undang sudah jelas mengatur sesuai dengan UURI No 21/2008 tentang Perbankan Syariah.. Kedua: Konsep penyelesaian sengketa yang ideal adalah adanya lembaga peradilan yang tidak terbagi-bagi dalam macam-macam lembaga-lembaga peradilan, artinya penyatuan satu atap dalam hal administrasi, organisasi, lembaga dan koordinasi sebagai satu kesatuan, yang membedakan adalah pada sistem tingkatan yang ada, yaitu pengadilan pertama, pengadilan kedua/banding dan terakhir Mahkamah agung, oleh karena itu solusi ideal dalam penyelesaian sengketa perbankan syariah adalah perlu adanya penerapan sistem kamar, sistem kamar menjadi penting artinya untuk mengelola konsistensi putusan. Sistem kamar yang konsisten akan berdampak positif dan jangka panjang guna menjaga kesatuan hukum.

English Abstract

Sharia banking in Indonesia was started with the workshop of Indonesian Council of Ulema (MUI) to set up sharia-based banks in 1990. This has gradually gained juridical power since 1992 along with the issuance of Law Number 7 of 1992 on Banking, Law Number 10 of 1998 on Amendment of Law Number 7 of 1992 on Banking, and Law Number 21 of 2008 on Sharia Banking. However there are still problems over the regulations, especially related to dispute settlement in the sharia banking. The regulation used to settle the disputes still has ambiguity in meaning and ambivalence, leading to decreasing reputation, independence, and separating the court authority away from values of justice. This research is categorised into a normative legal research aiming to explore, elaborate, and find materials consisting of legal norms of sharia banking related to dispute settlement for ideal concept to be analysed; antarodhin (equally willing) and al-adlu (fair). The research analysis involved hermeneutics method to discuss the legal issue, which consists of justice, certainty, and protection theories. Article 49 of Law of the Republic of Indonesia Number 7 of 1989 on Religious Courts states that the scope of authority of Religious Courts only covers cases related to marriage, inheritance, will, bequest, waqaf, and alms, followed by Law of the Republic of Indonesia Number 3 of 2006 which adds authority to the responsibility of religious courts extended to sharia economy. Later, the amendment of Law of the Republic of Indonesia Number 50 of 2009 on Religious Courts Article 1 Paragraph (1) states that Religious Courts are to only serve Moslems, then followed by inconsistent Circular Letter of Supreme court Number 8 of 2008 and Number 8 of 2010. This proves the existence of ambivalence regarding legal products of religious courts. Legislation that regulates dispute settlement in sharia banking starting from laws to the regulations of the execution has brought ambiguity, leading to the ambivalence: 1) inconsistency in legislation. The inconsistency can be seen in the provision of Article 1 Paragraph 1 of Law of the Republic of Indonesia Number 7/1989 on Religious Courts and Article 49 of Law of the Republic of Indonesia Number 3/2006 on the Amendment of Law of the Republic of Indonesia Number 7/1989 on Religious Courts and Article 1 Paragraph 1 on The Second Amendment of Law of the Republic of Indonesia Number 7/1989 on Religious Courts. 2) Dis-harmonisation of Legislation. The dis-harmonisation is found in the provision on dispute settlement in sharia banking regulated in Article 55 (1) of Law of the Republic of Indonesia Number 21 of 2008 on sharia banking and Article 1 (1) of Law of the Republic of Indonesia Number 50 of 2009 on the Second Amendment of Law of the Republic of Indonesia Number 7 of 1989 on Religious Courts. 3) Conflict of norms in the Legislation of Law, followed by technical regulation to clarify the execution of disputes in sharia banking. The conflict is found in the provision of Article 55 (1) of Law of the Republic of Indonesia Number 21 of 2008 on Sharia Banking and Article 61 of Law of the Republic of Indonesia Number 30 of 1999 on Arbitration and Alternatives to Dispute Settlement and Article 59 (3) of the Republic of Indonesia Number 48 of 2009 on Judicial Power. Based on the aforementioned, with hermeneutics as the analysis, the theories used in this legal research represent as an effort to find out concepts of dispute settlement in sharia banking in a court that holds a reputation, independence, and authority according to values of justice. From the analysis of research results, it is concluded as follows: Firstly, the dynamic of regulation regarding dispute settlement in sharia banking in Indonesia is particularly found in the existing regulation because Pancasila-based legal systems in Indonesia have been affected by that of Dutch East Indies since its independence. On one hand, religious courts are authorised to handle the cases of disputes in sharia banking. On the other hand, this case handling can also be within the authority of District Courts. Circular letter of Supreme Court Number 8 of 2008 point 4 has given a full authority to Religious Courts regarding the case, while in the circular letter of Supreme Court Number 8 of 2010, the authority of Religious Courts has been annulled and delegated back to the District Courts. The general objectives of a law should reflect justice that is full of merit, protection, and there must be legal certainty. It is concluded that the inconsistence is due to the absence of trust within the law makers, and there is underestimation over the capacity to provide sufficient human resources needed in making the law. However, sharia banking is clearly regulated in the Law of the Republic of Indonesia Number 21/2008 on shariah banking. Secondly, the ideal concept to settle disputes in sharia banking takes the existence of integrated court under which administrative, organisational, and institutional work is run despite the different levels comprising the first court, the second court/appeal, and Supreme Court. In other words, there should be one umbrella under which the consistent decision is processed. This system is positive in the long run to maintain the unity of law.

Item Type: Thesis (Doktor)
Identification Number: DIS/346.082/SYA/d/2018/061809300
Subjects: 300 Social sciences > 346 Private law > 346.08 Banks and insurance > 346.082 Banks
Divisions: S2/S3 > Doktor Ilmu Hukum, Fakultas Hukum
Depositing User: soegeng sugeng
Date Deposited: 14 Oct 2022 02:41
Last Modified: 14 Oct 2022 02:41
URI: http://repository.ub.ac.id/id/eprint/195679
[thumbnail of M. Agus Syaifullah.pdf] Text
M. Agus Syaifullah.pdf

Download (4MB)

Actions (login required)

View Item View Item