Winanti, Atik and Prof. Dr. Suhariningsih,, SH, SU and Prof. Dr. Abd. Rachmad Budiono,, SH, MH and Dr. Iwan Permadi,, SH, MH. (2019) Politik Hukum Pertanahan Dibidang Hak Guna Usaha (Perkebunan) Yang Berkeadilan Dan Menyejahterakan Rakyat. Doktor thesis, Universitas Brawijaya.
Abstract
Konflik agraria dalam skala luas muncul tatkala suatu wilayah dimasukkan ke dalam areal konsesi baik berupa hak (HGU misalnya) ataupun ijin konsesi. Pemberian HGU yang tidak selektif juga memberi peluang lebar bagi penelantaran tanah tatkala pihak penerima HGU tidak menggunakan sebagaimana peruntukaknya. Pemberian HGU tidak semata-mata terpenuhinya syarat administratif namun lebih karena didasarkan motif ekonomi, politik dan kepentingan pengambil kebijakan di pemerintahan daerah dan kepentingankepentingan lain. Pemberian HGU kepada perusahaan badan usaha maupun koperasi dengan saham kepemilikan kolektif, selain mempertimbangkan terpenuhinya syarat-syarat administratif sangatlah penting pula mempertimbangkan viabilitas pihak yang mengajukan, dan berbagai kejelasan klaim atas tanah. Hal ini penting agar di kemudian hari pemberian HGU tidak memunculkan masalah berupa korupsi sebab ditengarai sebagai kedok melakukan money laundry, penelantaran tanah dan konflik pertanahan yang lebih luas. Dalam perkembangannya hukum dan kebijakan pertanahan Indonesia malah melenggangkan pemberian HGU bahkan, dari catatan pemberian HGU dari masa pemerintahan Orde Lama tidak adanya pembatasan luas tanah untuk perusahaan (dalam bentuk HGU). Disertasi ini mengangkat permasalahan; 1) Mengapa Politik Hukum Pertanahan di Bidang HGU (Perkebunan) saat ini belum memberikan kesejahteraan pada rakyat? 2) Bagaimanakah Politik Hukum Pertanahan dibidang HGU (Perkebunan) yang berkeadilan dan menyejahterakan rakyat? Dengan demikian, Disertasi ini bertujuan untuk : 1) Mengetahui , menganalisis dan menjelaskan dengan menggunakan teori teori terhadap peraturan yang kabur, multi tafsir, dan lentur, yaitu Pasal 12 UU No 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan untuk melindungan hak atas penduduk sekitar perkebunan. 2) Menemukan kejelasan norma Pasal 12 UU No. 39 Tahun 2014 tentang perkebunan yang berhubungan dengan politik hukum Pertanahan dalam perlindungan hak atas penduduk sekitar perkebunan. Metode penelitian yang digunakan dalam disertasi ini yaitu menggunakan metode penelitian secara normatif. Pendekatan yang digunakan yaitu pendekatan Undang-undang (Statute Approach), pendekatan kasus (case approach), pendekatan konseptual (conseptual approach), pendekanan sejarah (History Approach), dengan menggunakan bahan hukum primer, sekunder dan tertier. Adapun hasil penelitian ini diperoleh simpulan dan saran sebagai berikut: 1. Politik hukum pertаnаhаn di bidаng Hаk Gunа Usаhа (perkebunаn), belum mensejahterakan masyarakat karena pada masa Orde Lama, Orde Baru dan di Era Reformasi Hak Guna Usaha Perkebunan di Indonesia masih menempatkan konflik perkebunan pada tempat teratas, yaitu dengan angka 163 konflik 36,22%, konflik HGU (perkebunan) di Indonesia adalah merupakan model konflik yang berkepanjangan dan sulit terselesaikan, banyak korban yang sudah berjatuhan yaitu dari pihak Pemerintah, Pengusaha maupun dari pihak masyarakat, terkait Okupasi dan berlarutv larutnya proses ganti kerugian tanah hak masyarakat sekitar perkebunan yang di kuasai oleh perusahaan perkebunan. 2. Politik hukum pertanahan dibidang HGU (perkebunan) yang berkeadilan dan menyejahterakan rakyat yaitu politik hukum yang bisa mewujudkan kepastian hukum sehingga masyarakat sekitar HGU bisa mendapatkan kesejahteraan yaitu dengan cara mengikut sertakan masyarakat dalam sistem kemitraan Inti Plasma dan merekonstruksi UU No.39/2014 pasal 12 Ayat (1) yaitu menganti kata imbalan menjadi kata ganti kerugian. Rekomendasi kepada Dewan Perwakilan Rakyat dan pemerintah, agar UU No 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan Pasal 12 Ayat (1) sepanjang berkaitan dengan kata “Imbalan” diganti dengan kata-kata yang mudah dipahami dan tidak multi tafsir yaitu kata ganti kerugian.
English Abstract
Agrarian conflict at a large scale can emerge when it is included in the area of concession either in the form of rights to cultivate (hereinafter HGU) or concession permit. Lack of selection in provision of HGU will just lead to a greater chance of land abandonment since those receiving the HGU are not quite aware of the land use. Providing HGU so far is not based on to what extent administrative requirement has been met, but it is more on the account of economy, politics, and interests of policyholders in the government and other interests. In provision of HGU for business entities and cooperatives, it is not only restricted to administrative requirements, but it is also supposed to consider the viability of the individuals who propose for HGU and the clarity of claims over land. All the consideration is deemed essential in case of the situation where the provision of HGU may lead to money laundering, land abandonment, and larger scale land conflict. In contrast, the provision of HGU seems so easy for everyone to get, and it is found out that no restriction of land area has been given to companies in terms of land ownership since Old Order (in the form of HGU). This research paper involves the following research problems: 1) why has the legal politics of land regarding HGU (plantation) not brought any welfare to people? 2) How is legal politics regarding land of HGU seen as to bring justice and welfare to people? In regards to those problems mentioned, this research is aimed to: 1) find out, analyse, and explain Article 12 of Act Number 39 of 2014 concerning Plantation which is murky, multi-interpreted, and malleable in order to protect the rights of the people living in plantation, 2) to find out the clarity of norm in Article 12 of Act Number 39 of 2014 concerning Plantation which is related with legal politics regarding land in terms of giving protection to the people in the plantation. This research employed normative method along with statute, case, conceptual, and historical approaches, while the materials used involved primary, secondary, and tertiary data. The research has brought to the following conclusion and recommendations: 1. The legal politics regarding land of rights to cultivate (HGU) in plantation has not managed to bring welfare to the people because the plantation conflict was on top of others in HGU in Indonesia in Old Order, New Order and Reformation era, accounting for 163 cases of conflict (36.22%). This conflict in plantation in Indonesia is seen as never ending conflict and it is hard to settle, sparking conflict among government, entrepreneurs, and people due to complicated process regarding the compensation for land under the ownership of the people but controlled by plantation organisations. 2. The legal politics of land of HGU (plantation) that brings justice and welfare to people should be able to provide legal certainty, so that people holding the HGU could reach welfare through partnership program of Inti vii Plasma and the construction of Act Number 39/2014 Article 12 Paragraph (1) where the word ‘reward’ should be replaced with ‘compensation’. It is recommended that the members of the House of Representatives and Government replace the word ‘reward’ with another word that is easier to understand and that does not lead to multi-interpretation: ‘compensation’.
Item Type: | Thesis (Doktor) |
---|---|
Identification Number: | DIS/346.043/WIN/p/2019/061901946 |
Subjects: | 300 Social sciences > 346 Private law > 346.04 Property > 346.043 Real property |
Divisions: | S2/S3 > Doktor Ilmu Hukum, Fakultas Hukum |
Depositing User: | soegeng sugeng |
Date Deposited: | 14 Oct 2022 01:20 |
Last Modified: | 14 Oct 2022 01:20 |
URI: | http://repository.ub.ac.id/id/eprint/195648 |
Text
Atik Winanti.pdf Download (3MB) |
Actions (login required)
View Item |