Implikasi Yuridis Penarikan Akta Cerai Oleh Kantor Urusan Agama Sebagai Syarat Perkawinan Yang Kedua/Lebih Terhadap Pembuktian Status Kepemilikan Harta Bawaan

Pramono, Robby and Dr. Budi Santoso,, SH., LLM. and Dr.Hanif Nur Widhiyanti,, S.H, M.Hum (2018) Implikasi Yuridis Penarikan Akta Cerai Oleh Kantor Urusan Agama Sebagai Syarat Perkawinan Yang Kedua/Lebih Terhadap Pembuktian Status Kepemilikan Harta Bawaan. Magister thesis, Universitas Brawijaya.

Abstract

Kantor Urusan Agama (“KUA”) adalah lembaga pencatat perkawinan bagi yang beragama Islam dan dalam menerapkan prosedur terkait persyaratan pencatatan perkawinan, KUA mewajibkan untuk dilakukan penarikan atas akta cerai berikut putusan cerai pengadilan sebagai syarat perkawinan kembali bagi duda/janda, sebagaimana yang ditegaskan dalam Surat Keterangan Kantor Urusan Agama Nomor B.91/Kua.09.03.08/Pw.001/4/2018, tertanggal 13 April 2018. Dasar dari penarikan tersebut mengacu pada ketentuan pasal 6 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 sebagai peraturan pelaksana dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan (“UU Perkawinan”) yang sebenarnya ketentuan pasal 6 Peraturan Pemerintah tersebut menyebutkan bahwa fungsi dari dilampirkannya akta cerai terhadap perkawinan kembali bagi duda/janda adalah sebatas untuk diteliti bukan untuk ditarik terlebih apabila merujuk pada pedoman pencatatan perkawinan yang diatur dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 19 Tahun 2010 Tentang Pendaftaran Penduduk Dan Pencatatan Sipil berikut lampiran-lampirannya disebutkan bahwa persyaratan untuk melaksanakan pencatatan perkawinan kembali bagi duda/janda hanya diwajibkan melampirkan fotokopi akta cerai bahkan tidak ada keharusan melampirkan putusan cerai pengadilan. Implikasi yuridis dari penarikan tersebut telah menimbulkan ketidakpastian terhadap status kepemilikan harta benda/harta kekayaan seseorang, dalam hal ini apakah harta benda/harta kekayaan tersebut masuk ke dalam klasifikasi harta bawaan atau harta gono gini yang perbedaannya sebagaimana telah diatur dalam pasal 36 UU Perkawinan. Permasalahan yang timbul oleh karena adanya ketidakpastian terhadap status kepemilikan harta benda/harta kekayaan terjadi ketika harta benda/harta kekayaan tersebut akan dibebani suatu perbuatan hukum tertentu seperti dijual, dijaminkan ataupun sebatas disewakan. Ketiadaan akta cerai sebagai dasar acuan dalam pembuktian atas status perkawinan seseorang pada saat diperolehnya harta kekayaan, berujung pada sulitnya bagi pihak Notaris/PPAT untuk dapat menentukan pihak-pihak yang wajib dihadirkan guna dimintai persetujuannya. Konsep pembuktian terhadap harta bawaan maupun harta gono gini mengacu pada ketentuan pasal 1865 KUHPerdata serta memiliki beban pembuktian yang mengarah pada Teori Hukum Subjektif karena pasal tersebut menjelaskan tentang barang siapa mengaku memiliki sepenuhnya suatu hak tanpa adanya hak orang lain, maka ia wajib untuk dapat membuktikannya. Untuk itu tujuan penelitian adalah untuk menganalisis implikasi yuridis dari ketentuan penarikan akta cerai yang diwajibkan oleh KUA sebagai persyaratan bagi pihak yang pernah bercerai untuk melangsungkan lagi perkawinan ditinjau dari pembuktian status kepemilikan harta bawaan. Kerangka teoritik yang digunakan adalah: (1) Teori Kepastian Hukum, (2) Teori Kewenangan, (3) Teori Pembuktian. Metode Penelitian menggunakan jenis penelitian berupa yuridis normatif dengan melakukan pengkajian atas bahan-bahan hukum seperti: bahan hukum primer, sekunder maupun tersier. Pendekatanyang digunakan adalah pendekatan bersumber pada perundang-undangan (statute approach) dan Pendekatan Konseptual (Conseptual Approach). Hasil penelitian menyimpulkan bahwa kewenangan KUA dalam menerapkan syarat penarikan akta cerai berikut putusan cerai dari pengadilan terhadap perkawinan kembali bagi duda/janda hanya didasari pada penafsiran terhadap syarat dan ketentuan perkawinan sebagaimana diatur dalam pasal 6 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tanpa melakukan kajian terhadap peraturan pelaksana lainnya terkait proses pencatatan perkawinan. Padahal dalam lampiran Permendagri Nomor 19 Tahun 2010 sebagaimana tersebut diatas telah secara jelas disebutkan syarat perkawinan kembali bagi duda/janda adalah hanya sebatas dilampirkan fotokopi atas akta cerai bahkan tidak perlu mensertakan putusan cerai dari pengadilan. Konsekuensi dari penarikan akta cerai berikut putusan cerai pengadilan sebagai syarat perkawinan kembali bagi duda/janda menyebabkan ketiadaan/tidak dimilikinya bukti otentik sebagai dasar pembuktian status perkawinan seseorang sebagai duda/janda saat diperolehnya harta benda/harta kekayaan, sehingga hal tersebut akan berdampak pada timbulnya ketidakpastian terhadap status kepemilikan harta benda/harta kekayaan seseorang, apakah harta benda/harta kekayaan tersebut masuk ke dalam klasifikasi harta bawaan yang diperoleh setelah terjadinya perceraiaan dan sebelum dilangsungkanya perkawinan kembali atau memang harta benda tersebut merupakan harta gono gini yang diperoleh selama perkawinan terdahulu yang artinya mantan suami/istri terdahulu juga memiliki hak atas harta benda tersebut.

Item Type: Thesis (Magister)
Identification Number: TES/346.016 64/PRA/i/2018/041809914
Subjects: 300 Social sciences > 346 Private law > 346.01 Persons and domestic relations > 346.016 Marriage, partnerships, unions > 346.016 6 Divorce, annulment, separation > 346.016 64 Marital property in divorce, annulment, separation
Divisions: S2/S3 > Magister Kenotariatan, Fakultas Hukum
Depositing User: soegeng sugeng
Date Deposited: 29 Aug 2022 02:10
Last Modified: 29 Aug 2022 02:10
URI: http://repository.ub.ac.id/id/eprint/193667
[thumbnail of Robby Pramono.pdf] Text
Robby Pramono.pdf

Download (2MB)

Actions (login required)

View Item View Item