Pasaribu, Risman (2018) Model Perencanaan Hutan Berkelanjutan: Studi Kasus Hutan Produksi Di Provinsi Banten. Doctor thesis, Universitas Brawijaya.
Abstract
Meningkatnya konversi lahan dari lahan kehutanan menjadi lahan untuk penggunaan lain, perambahan hutan dan perubahan-perubahan lahan hutan menyebabkan berkurangnya luas lahan hutan, turunnya sumbangan hutan kepada pendapatan daerah, menurunnya keanekaragaman hayati dan meningkatnya konflik lahan di Provinsi Banten. Terjadinya kejadian-kejadian tersebut terutama disebabkan karena rendahnya kualitas pengelolaan dan pola perencanaan hutan produksi yang dilaksanakan di provinsi Banten. Pola pengelolaan hutan di Provinsi Banten ternyata masih berbasis kepada pola boxgrid/papan catur. Kelemahan pola boxgrid adalah membiarkan hutan tumbuh apa adanya mengikuti pola alami sedangkan kondisi hutan saat ini sudah banyak yang rusak. Pada sisi lain, pola boxgrid tidak/belum banyak melibatkan berbagai aspek sosial, ekonomi, budaya, dan lingkungan dalam pengelolaan hutan. Oleh karena itu, pengelolaan hutan di Provinsi Banten perlu dilakukan secara terencana dan perlu mengikuti pola perencanaan hutan yang berkelanjutan (sustainable forestry) agar hutan dapat tumbuh dan bermanfaat tidak hanya untuk generasi sekarang (present generation) tetapi juga untuk generasi-genarasi selanjutnya (future generation). Untuk itu diperlukan suatu paradigma baru dalam perencanaan yang lebih memperhatikan aspek-aspek tersebut agar pengelolaan hutan sebagai basis makro perencanaan hutan berkelanjutan. Model pengelolaan hutan tersebut bersifat akomodatif dan partisipatif. Tujuan penelitian ini adalah untuk memberikan masukan mengenai model pengelolaan dan perencanaan hutan produksi yang berkelanjutan untuk diterapkan di dalam dan di luar kawasan HPH di Provinsi Banten. Penelitian menggunakan metode penelitian deskriptif kuantitatif dan kualitatif. Peneltian lapangan dilakukan dari tahun 2016 sampai dengan 2017 di Provinsi Banten. Variabel yang digunakan dalam penelitian ini terbagi empat aspek (A) Aspek sosial, ekonomi budaya yaitu potensi konflik lahan Provinsi Banten, potensi gangguan terhadap hutan dan alokasi situs-situs budaya (B) aspek produksi yaitu rehabilitasi semua data lapangan diambil dengan teknik contoh yang diterapkan adalah stratified sampling with random start dan purposive sampling. Metode pengumpulan data yang digunakan yaitu overlay analysis watershed analysis, buffer analysis, terrain analysis dan AHP analysis. Berdasarkan hasil wawancara mendalam terkait perencanaan hutan saat responden setuju bahwa system boxgrid kurang cocok diterapkan di Provinsi Banten. Berdasarkan hasil analisis GIS dan AHP spesial yang didapat submodel lokasi prioritas rehabilitasi lahan (MLPR) adalah MLPR= (0,3769xspl)+ (0,3699xskl ) + (0,1615skj ) + (0,0917xsfh). Dari persamaan ini didapat aera yang dapat menjadi skala prioritas satu untuk rehabilitasi (dengan tebang habis), yaitu 2,1% prioritas 2 (rehabilitasi tanpa tebang habis) sebesar 12% prioritas 3 (rehabilitasi tapa tebang habis dan xi pembuatan bangunan konservasi) yaitu 31,3% prioritas 4 (pengayaan dan bina pilih) yaitu 39,7%, prioitas 5 (pengayaan dan silvikultur intensif) sebesar 9,9%. Validasi hasil model ini dilakukan melalui survey lapangan, pengamata penutupan lahan dan jaringan jalan dalam kawasan hutan. Pada jalur survei areal yang berhutan didapat potensi flora dan fauna yang dilindungi flora yang dilindungi adalah damar kaca (shorea javanica) dan kemiri (aleuritas moluccana) sedangkan fauna yang dilindungi (versi IUCN) dari golongan mamalia adalah hirangan (prebytis cristata) jampir terancam dan bangkul (macaca nemestrina) terancam. Golongan aves yang ditemukan adalah burung karsikat/pengicau (stumus). 5 plot, gereja (passeridae) 6 plot, pilatuk beras (dinopium sp) dan kutau- kutau ( macuronus gularis) masing- masing 4 plot sebaran flora dan fauna yang ditemukan ini umumnya pada areal hutan skunder. Hasil tumpang susun pada kedua submodel terdahulu adalah submodel prioritas rehabilitasi dengan pertimbangan potensi konflik (MrrNpk) adapun persamaan yang terbentuk adalah mprnpk= (0,9xmspk) + (0,1+mlpr). Dimana aspek potensi konflik dianggap lebih dominan dibandingkan lokasi prioritas rehabilitasi. Dari semua areal peneltian, berdasarkan analisis GIS didapat unit-unit (mue) sebagai unit analisis yang juga di sebut petak akan dikombinasikan dengan persamaan submodel diatas. Luas efektif dan efisien dari unit tersebut antara 50-100 hektar. Pada penelitian ini, jumlah unit atau petak yang dibentuk sebanya 103 buah petak dan 536 buah anak petak. Petak dan anak petak ini diberi nomor mengukuti arah jarum jam. Seluruh ruang di beri nomor kode dengan urutan Provinsi, bagian hutan, KPH dan petak-petak . Model perencanaan hutan berkelanjutan di Provinsi banten berbasis program penataan hutan produksi adalah model kelembagaan dalam pelaksanan perencanaan pengelolaan hutan produksi berkelanjutan. Model perencaan hutan terdiri dari : Kebijakan, Perlindungan dan pengelolaan hutan produksi, pendanaan yang berkelanjutan, Pengaturan kelembagaan-kemitraan lembaga dan keterbatasan masyarakat. Model perencanaan pengelolaan hutan produksi di Provinsi Banten dibangun berdasarkan elemen lembaga yang meliputi: Gubernur pemerintahan Provinsi Banten, Dinas Kehutanan Provinsi Banten dan Kabupaten, BAPPEDA Provinsi Banten dan BAPPEDA Kabupaten, Dinas Kelautan Kabupaten, Dinas Perikanan Kabupaten, Badan Lingkungan Hidup Provinsi Banten dan Kabupaten, LSM, Dinas Pertanian, Dinas Pengairan. Hal ini menunjukkan bahwa lembaga-lembaga ini memiliki tingkat ketergantungan yang tinggi terhadap perubahan lainnya. Struktur hirarki elemen lembaga yang terlibat dalam perencanaan pengelolaan hutan berkelanjutan terdiri dari 7 tingkat. Sub elemen yang menjadi perubahan kunci adalah Gubernur Provinsi Banten dan Dinas Kehutanan Provinsi Banten.
English Abstract
The Increasing number of forest conversion into land for other purpose, forests conversion leads to reduced forest land, declining forest income to local revenues, declining biodiversity, and escalating conflicts in Banten. The occurrence of these events is caused by the low quality management and production planning patterns in Banten. Forest management methods in Banten are still based on boxgrid/chess patterns. Boxgrid disadvantage is to let the forest grow as it follows the natural pattern while the current state of the forest is damaged. On the other hand, Boxgrid does not involve social, economic, cultural and environmental aspects of forest management. Therefore, forest management and planning in Banten needs to apply sustainable for the future generation. For that we need a new paradigm with a plan that takes into account the aspects of forest for sustainable forest planning. The forest management model is accommodative and participatory. The purpose of this study is to provide input on sustainable production management and production planning models to be implemented within and outside the concession area of Banten concessions. This research uses descriptive research method in both quantitative and qualitative approaches. Field research is conducted from 2016 to 2017 in Banten. There are two variables used (A) Social aspects, cultural economy ie potential land conflicts in Banten, potential for disturbance to forests and allocation of cultural sites (B) aspects of production and rehabilitation. All field data taken using the sample technique applied is stratified sampling with random start and purposive sampling. Data collection methods used are overlay analysis watershed analysis, buffer analysis, terrain analysis and AHP analysis. Based on the results of in-depth interviews related to forest planning when the respondent agreed that the system boxgrid not suitable applied in Banten. Based on the results of a special GIS and AHP analysis obtained by submodel location of land rehabilitation priority (MLPR) is MLPR = (0.3769xspl) + (0.3699xskl) + (0,1615skj) + (0,0917xsfh). From this equation is obtained an area that can be one priority scale for rehabilitation (with clear cut), ie 2.1% priority 2 (rehabilitation without clear cutting) by 12% priority 3 (rehabilitation of clearcutting and conservation building) 31, 3% priority 4 (enrichment and cultivation) that is 39.7%, prioitas 5 (intensification and intensive silviculture) of 9.9%. Validation of the results of this model is done through field surveys, land covering and road network in forest areas. In forest area surveys found the potential of protected flora and fauna, such as xiv Damar Kaca (shorea javanica) and candlenut (aleuritas moluccana). While the protected fauna (IUCN version) of the mammalian class is the prebytis cristata and the endangered macaca nemestrina. Groups of aves found are Burung Karsikat (stumus), Burung Gereja (passeridae), Pilatuk Beras (dinopium sp) and Kutau-kutau (macuronus gularis). Distribution of flora and fauna found is generally in secondary forest area. The overlapping result on both previous submodels is the priority submodel of rehabilitation with consideration of potential conflict (MrrNpk) as the equation formed is mprnpk = (0,9xmspk) + (0,1 + mlpr). Where the potential aspect of conflict is considered more dominant than the priority location of rehabilitation. From all areas of the study, based on GIS analysis, the units of analysis (mue), which are called plots, will be combined with the above submodel equations. The effective and efficient area of the unit is between 50-100 hectares. In this study, the number of units or plots formed as many as 103 plots and 536 sub plots. These plots and sub plots are numbered clockwise. All the rooms are given the code number in the order of the province, the forest section, the KPH and the plots. Sustainable forest planning model in Banten province based on production forest management program. The forest planning model consists of: Policy, Protection and management of production forests, sustainable financing, institutional partnership arrangements and community limitations. The production forest management planning model in Banten Province is built on the elements of the institution which include: Banten Governor, Banten Forestry Office, BAPPEDA Banten Province and BAPPEDA of Banten Regency, Regency Maritime Office, Regency Fishing Agency, Environment Agency of Banten and Regency, NGO, Agriculture, and Water Irigation Sector. These institutions have a high dependency on one another in this case. The hierarchical structure of agency elements involved in sustainable forest management planning consists of 7 levels. Sub elements that become key changes are the Governor of Banten and the Forestry Service of Banten.
Other obstract
-
Item Type: | Thesis (Doctor) |
---|---|
Identification Number: | DIS/634.92/PAS/m/2018/061804035 |
Uncontrolled Keywords: | Model, Perencanaan,-Planning, model |
Subjects: | 600 Technology (Applied sciences) > 634 Orchards, fruits, forestry > 634.9 Forestry > 634.92 Forest management |
Divisions: | Program Pascasarjana > Doktor Kajian Lingkungan, Program Pascasarjana |
Depositing User: | Endang Susworini |
Date Deposited: | 03 Feb 2022 05:09 |
Last Modified: | 03 Feb 2022 05:09 |
URI: | http://repository.ub.ac.id/id/eprint/189264 |
Preview |
Text
Risman Pasaribu.pdf Download (5MB) | Preview |
Actions (login required)
![]() |
View Item |