Binada, Ulfa (2019) Konstruksi Sosial Atas Identitas Adat Masyarakat Suku Tengger Dalam Merespon Formalisasi Agama. Sarjana thesis, Universitas Brawijaya.
Abstract
Penelitian ini fokus pada konstruksi sosial identitas masyarakat adat Suku Tengger dalam merespon formalisasi agama. Formalisasi agama tersebut merupakan kebijakan pemerintah di era Orde Baru melalui Penetapan Pemerintah No. 1 /PNPS /Tahun 1965 dan UU No. 5 Tahun 1969. Akibat dari formalisasi agama tersebut, masyarakat adat Suku Tengger harus bersiasat untuk masuk ke dalam agama formal (Hindu, Budha, Islam, Katolik dan Kristen). Masyarakat adat Suku Tengger sebelumnya merupakan kelompok masyarakat yang menganut ajaran Siwa. Sehingga setelah formalisasi agama, masyarakat Tengger harus bersiasat untuk melebur ajaran Siwa dengan Hindu yang dibawa oleh PHDI dari Bali. Meskipun sempat mengalami kegoncangan degan berbagai dinamika politik identitas di tanah Tengger, masyarakat Suku Tengger berhasil mensiasati hadirnya agama-agama baru tersebut dengan cara akulturasi dan sinkretisme ajaran Siwa dengan ajaran Hindu dari Bali, sehingga terdapat perbedaan antara Hindu Bali dengan Hindu Tengger. Hindu Tengger tidak mengenal kasta, ngaben, dan terdapat lembaga adat Tengger yang dipimpin oleh dukun disamping lembaga Hindu PHDI yang dipimpin oleh romo mangku. Penulis menggunakan metateori pemikiran Peter L. Berger dan Thomas Luckman yang disebut sebagai konstruksi sosial. Teori konstruksi sosial merupakan hasil dari pemikiran Emil Durkheim tentang obyektivitas dan pemikiran Weber tentang subyektivitas. Peter L. Berger mensintesa kedua paradigma ilmu yang berlawan tersebut menggunakan 3 momentum yaitu eksternalisasi, obyektivasi dan internalisasi. Momen eksternalisasi merupakan fase dimana masyarakat Suku Tengger berinteraksi dengan kebijakan formalisasi agama. Pada momen ini terdapat konflik politik identitas dan siasat yang dilakukan oleh masyarakat Tengger sebagai upaya daya tahan atas ajaran dan budaya luar. Momen obyektivasi merupakan momen dimana masyarakat Tengger telah mampu bernegosiasi dengan dinamika formalisasi agama dan menemukan keseimbangan atau keteraturan (order). Pada fase ini telah terjadi perubahan sosio-kultural melalui akulturasi, asimilasi dan sinkretisme antara ajaran Siwa dengan Hindu yang dibawa dari Bali menjadi Hindu Tengger. Momen yang terakhir adalah internalisasi, pada momen ini telah terjadi penerimaan identitas baru (Hindu Tengger) melalui berbagai acara komunal. Mulai dari upacara adat hingga kajian-kajian yang dilakukan untuk memperkuat identitas baru (Hindu Tengger). Identitas Hindu Tengger merupakan hasil dari siasat dan upaya negosiasi identitas Tengger terhadap fomalisasi agama yang dihadirkan negara.
English Abstract
This study focused on the social construction of the Tengger indigenous people’s identity in response to religious formalization. The religious formalization was the government's policy in the era of New Order through the appointment of Number 1 /PNPS/of 1965 and the 1969 law Number 5. As a result of religious formalization, the Tengger indigenous people had to resort to formal religions (Hindu, Buddhist, Muslim, Catholic, and Christian). The Tengger indigenous people were a group that adhered to the teachings of Shiva. So, after religious formalization, the people of Tengger had to convene to fuse Shiva's teachings with Hinduism brought by PHDI from Bali. Despite the initial shock of identity dynamics in the Tengger lands, the people of the Tengger tribe succeeded in sanctioning the new religion by way of acculturation and syncretism a Shiva's teachings with the Hindu’s teachings of Bali. That was making a difference between Hindu Bali and Hindu Tengger. Hindu Tengger knows no caste or even ngaben, and there is a Tengger indigenous institute led by a shaman “witch-doctor” beside a Hindu PHDI institute led by Romo Mangku. The author uses the metatheory thoughts of Peter L. Berger and Thomas Luckman that called social construction. The social construction theory by Emil Durkheim's thinking about objectivity and Weber's thinking about subjectivity. Peter L. Berger synthesized both opposing science paradigms using 3 momentums that are extermination, objectivation, and internalization. The externalization moment is a phase in which the Tengger people interact with religious formalization policy. At this moment there were political conflicts of identity and tricks committed by the Tengger people like a reinforcement of outside teaching and culture. Objectivation moment is the moment when the Tengger people have been able to ferment and dissolve into existing dynamics in order to find balance or order. In this phase, there has been a socio-cultural change through acculturation, assimilation, and syncretism between the Shiva’s teachings and the Hindu which was brought from Bali to Tengger (Hindu Tengger). The last moment is internalization, at this moment there has been the acceptance of a new identity (Hindu Tengger) through various communal events. From tribal ceremonies to studies to reinforce a new identity (Hindu Tengger). Hindu Tengger's identity is the result of the strategy and negotiation efforts of Tengger's identity towards the formalization of religion presented by the state.
| Item Type: | Thesis (Sarjana) |
|---|---|
| Identification Number: | SKR/FISIP/2019/1162/052000697 |
| Uncontrolled Keywords: | Konstruksi Sosial, Politik dan Identitas-Sosial construction, politics and identity |
| Subjects: | 200 Religion > 207 Missions and religious education > 207.5 Religious education |
| Divisions: | Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik > Ilmu Pemerintahan |
| Depositing User: | Agus Wicaksono |
| Date Deposited: | 18 Aug 2020 03:12 |
| Last Modified: | 18 Aug 2020 03:12 |
| URI: | http://repository.ub.ac.id/id/eprint/178774 |
Actions (login required)
 |
View Item |