Titik Singgung Kewenangan Mengadili Antara Peradilan Tata Usaha Negara Dengan Peradilan Umum Terhadap Sengketa Hak Atas Tanah Berdasarkan Sertifikat Tanah Yang Dikeluarkan Oleh Badan Pertanahan Nasional Sebagai Keputusan Tata Usaha Negara

Putro, Bagus Prasetyo Purnomo (2018) Titik Singgung Kewenangan Mengadili Antara Peradilan Tata Usaha Negara Dengan Peradilan Umum Terhadap Sengketa Hak Atas Tanah Berdasarkan Sertifikat Tanah Yang Dikeluarkan Oleh Badan Pertanahan Nasional Sebagai Keputusan Tata Usaha Negara. Magister thesis, Universitas Brawijaya.

Abstract

Titik singgung kewenangan mengadili antara peradilan tata usaha negara dengan peradilan umum terhadap sengketa hak atas tanah berdasarkan sertifikat tanah yang dikeluarkan oleh badan pertanahan nasional sebagai keputusan tata usaha negara, merupakan sengketa dua wajah yang mengandung unsur hukum publik/administrasi dan unsur hukum perdata, sehingga menimbulkan benturan atas kewenangan hakim terhadap pemeriksaan sengketa pertanahan. Lembaga Peradilan Tata Usaha Negara dan lembaga Peradilan Umum memiliki kewenangan yang sama dalam memeriksa, dan memutus sengketa pertanahan tersebut, sehingga diperlukan proses pemeriksaan dua kali untuk mencapai putusan yang Inkrah. Pertama memeriksa keputusan tata usaha negaranya, dalam hal ini adalah sertifikat hak atas tanah, dan kedua mengenai status kepemilikan tanah tersebut, jika hal tersebut dilakukan, maka akan bertentangan dengan asas Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, pada Pasal 2 ayat (4) menyebutkan, bahwa peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat, da biaya ringan. Asas sederhana, cepat dan biaya ringan adalah asas peradilan yang paling mendasar dari pelaksanaan dan vi pelayanan administrasi peradilan yang mengarah pada prinsip dan asas efektif dan efisien. Tujuan asas tersebut demi tercapainya kepastian hukum dan keadilan bagi para pihak yang beracara. Dikenal secara konseptual tentang tenggang waktu menggugat selama 90 hari dalam hukum acara Peradilan Tata Usaha Negara, termuat dalam Pasal 55 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Eksistensi tenggang waktu dalam sebuah gugatan, termasuk gugatan dalam Peradilan Tata Usaha Negara menjadi penting untuk menghadirkan kepastian hukum terhadap proses beracara. Tenggang waktu lazim juga disebut bezwaartermijn atau klaagtermijn. Ini merupakan batas waktu yang diberikan kepada seseorang atau badan hukum perdata untuk memperjuangkan hanya dengan cara mengajukan gugatan melalui Peradilan Tata Usaha Negara. Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia, Nomor: 06 PK/TUN/2008, Tanggal 5 Mei 2008, menyatakan sebagai berikut:“Untuk menghindari putusan yang berbeda antara dua badan peradilan, sebaiknya ditempuh penyelesaian sengketa ke Peradilan Tata Usaha Negara terlebih dahulu, mengingat terbatasnya tenggang waktu menggugat, dan putusan Peradilan Tata Usaha Negara yang terbit terlebih dahulu dapat menjadi bahan pertimbangan badan peradilan lainnya/selanjutnya yang lebih lama dalam proses penyelesaian sengketa.” Adanya Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia, Nomor: 06 PK/TUN/2008, Tanggal 5 Mei 2008 dan ketentuan Pasal 55 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, maka Peradilan Tata Usaha Negara vii menjadi lembaga pertama yang berwenang untuk melakukan pemeriksaan atas sengketa pertanahan, yang kemudian putusan hakim Peradilan Tata Usaha Negara dijadikan alat bukti yang sahsaat proses pemeriksaan di Peradilan Umum, akan tetapi proses penyelesaian sengketa pertanahan yang harus melalui dua tahap pemeriksaan di dua lembaga peradilan sangat tidak efektif dan bertentangan dengan asas sederhana, cepat, dan biaya ringan Pasal 2 ayat (4) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, sehingga diperlukan lembaga peradilan khusus untuk menangani sengketa pertanahan tersebut.

English Abstract

Tangen point over the authority to adjudicate held by both administrative court and general court regarding right-to-land dispute wuth freehold title issued by National Land Agency as a decided made by Administrative Court is seen as a two-face dispute that holds elements of public/administrative law and civil law , leading to conflict of two authorities over land dispute scrutiny. Both Admnistrative and General Court have equal authorities to scrutinies and decide land dispute, which requires double checking to reach final and absolute decision. It takes examining the decision by Admnistrative Court regarding the land freehold title and the ownership status. When the two are performed, it will be against the principle of Act Number 48 of 2009 concerning Judicial Power, as it is mentioned in Article 2 Paragraph (4) that judicial process is carried out in a simple way, efficiently, ad in affordable scheme. All the three principles in judicial process are fundamental in administrative court service which leads to principles of effectiveness and efficiency. These principles are also aimed to provide legal certainty and justice for all parties involved. ix It is commonly known that charges can be submitted within 90 days Administrative Court, in line with the provision of Article 55 of Act Number 5 of 1986 concerning Admnistrative Court. The period given for pressing charges, including those submitted in Admnistrative Court, is deemed essential to archieve legal certainty in judicial process. The accepted period is known as bezwaartermijn or klaatermijn, a period given to an individual or civil legal entity to press charges in Admnistrative Court. Jurisprudence of Supreme Court of the Republic of Indonesia, Number 06/PK/TUN/2008, dated May 5, 2008 states: “To avoid any potential of different decisions issued by two courts, it is recommended that dispute settlement take place in Administrative Court due to limited time period given, while the decision issued by the Admnistrative Court could serve as basic consideration for the second court which usually takes longer to adjudicate.” Due to the Jurisprudence of Supreme Court of the Republic of Indonesia Number 06/ PK/TUN/2008, dated May 5, 2008 and Provision of Article 55 of Act Number 5 of 1986 concerning Admnistrative Court, Admnistrative Court is the first institution that is authorized to investigate land dispute. Moreover, the decision made by the court is referred to as valid evidence in judicial process taking place in general court. However, the judicial process tat takes place in two courts seem ineffective and irrelevant to the fundamental principles of judicial process: simple, time-efficient, and affordable, as intended in Article 2 Paragraph (4) of Act Number 48 of 2009 concering Judicial Power. Thus, special judicial institution is required to settle the dispute.

Other obstract

-

Item Type: Thesis (Magister)
Identification Number: TES/346.043 2/PUT/t/2019/041901664
Uncontrolled Keywords: LAND TENURE LAW, RIGHTTO LAND DISPUTE
Subjects: 300 Social sciences > 346 Private law > 346.04 Property > 346.043 Real property > 346.043 2 Ownership (Land tenure)
Divisions: S2/S3 > Magister Kenotariatan, Fakultas Hukum
Depositing User: Endang Susworini
Date Deposited: 16 Jan 2020 07:14
Last Modified: 16 Jan 2020 07:14
URI: http://repository.ub.ac.id/id/eprint/177985
Full text not available from this repository.

Actions (login required)

View Item View Item