Aisyah, Dinda (2019) Implikasi Hukum Hak Komunal Terhadap Hak Ulayat Desa Adat (Kajian Atas Pasal 103 UU Desa dan Pasal 3 ayat (1) Permen ATR/KBPN N0. 10 Tahun 2016). Sarjana thesis, Universitas Brawijaya.
Abstract
Perkembangan sistem hukum Indonesia dipengaruhi oleh suku, bahasa, agama dan ras, oleh akibat beberapa faktor tersebut, maka hal ini dapat dikatakan sebagai bentuk pluralisme hukum. Pluralisme hukum memiliki konsep dimana terdapat hukum negara dan hukum rakyat yang berdampingan, dimana yang dimaskud dengan hukum rakyat adalah hukum yang berasal dari kebiasaankebiasaan, konvensi-konvensi sosial, hukum adat maupun hukum agama, yang selanjutnya dipandang sebagai hukum. Salah satu bentuk konsep pluralisme hukum di Indonesia yaitu salah satunya adalah hadirnya hukum Adat. Masyarakat Adat di Indonesia sebagai entitas masyarakat yang hidupnya serta aturan hidup tidak terlepas dari Adat istiadat dan yang masih terikat Adatnya, sehingga memungkinkan terbentuknya suatu hukum Adat. Konstitusi negara yaitu Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945), mengakui keberadaan masyarakat hukum Adat sekaligus norma-norma yang berada pada masyarakat hukum Adat tersebut. Ini ditegaskan pada Pasal 18B ayat (3), Pasal 28I ayat (3), serta Pasal 32 ayat (1) dan (2) UUD NRI 1945 yang merupakan landasan yuridis bagi pengakuan atas keberadaan masyarakat hukum Adat. Namun, adanya penggunaan istilah masyarakat Adat dan masyarakat hukum Adat dalam berbagai produk perundang-undangan, menunjukkan bahwa pemerintah Indonesia tidak memiliki kesatuan pemahaman tentang masyarakat hukum Adat. Keberadaan masyarakat hukum Adat harus mendapatkan pengakuan terlebih dahulu oleh pemerintah, tetapi tidak ada penjelasan yang dapat menjadi acuan tentang definisi masyarakat hukum Adat, kedudukan, serta mekanisme yang tepat untuk pengakuannya. Hadirnya UU Desa, telah menempatkan kedudukan masyarakat hukum Adat sebagai subyek hukum publik, yang menjadi bagian dari pemerintahan. Desa Adat memiliki hak-hak asal-usul berupa hak untuk mengurus wilayah beserta segi kehidupan masyarakat hukum Adat yang disebut sabagai hak Ulayat masyarakat hukum Adat. Namun hadirnya Permen ATR/KBPN No. 10 Tahun 2016 telah melahirkan hak Komunal dimana mengatur tentang kepemilikan bersama atas tanah yang kemudian didaftarkan untuk perlindungan hukum terhadap penguasaan hak atas tanah dalam rangka kepastian hukum dan mewujudkan tanah untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Hal ini memiliki perbedaan konsep dengan hak ulayat milik desa Adat dan dapat berdampak pada status tanah yang dimiliki oleh desa Adat, yang awal mulanya berstatus tanah ulayat, yang di barengi hak Ulayat atasnya. Tetapi dengan hadirnya hak Komunal, yang hanya sebatas hak vii atas tanah akibat terbitnya sertifikat sebagai bentuk pengesahan tanah tersebut, hak Ulayat atas tanah ulayat yang lebih dahulu dimiliki desa Adat, kini menjadi tidak jelas akibat hadirnya hak Komunal. Akibat dari kekaburan makna terkait konsep hak yang dimiliki desa Adat atas tanahnya, sehingga dalam pelaksanaannya menjadi tidak jelas, bagaimana tata cara pendaftaran tanah tersebut dan bagaimana pengelolaan dan peruntukan atas tanah tersebut, karena antara hak komunal dan hak Ulayat merupakan dua konsep yang berbeda. Norma yang kabur, multitafsir dan ambigu mengakibatkan tidak adanya kepastian hukum. Padahal salah satu tujuan hukum adalah mewujudkan kepastian hukum.Untuk itu perlu adanya peninjauan kembali terkait konsep Hak Komunal, agar kemudian hak tersebut sesuai dengan Hak Ulayat yang dimiliki masyatakat hukum Adat yang merupakan suatu keniscayaan.
English Abstract
The development of the Indonesian legal system is influenced by ethnicity, language, religion and race, due to these factors, this can be said to be a form of legal pluralism. Legal pluralism has a concept where there are state laws and people's laws that are side by side, where what is embraced by people's law is law originating from customs, social conventions, customary law and religious law, which are then seen as law. One form of the concept of legal pluralism in Indonesia, one of which is the presence of customary law. Indigenous Peoples in Indonesia as an entity of society whose lives and rules of life are inseparable from Customs and those who are still bound by their Adat, thus allowing the formation of an Customary law. The state constitution, namely the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia (the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia), recognizes the existence of Indigenous law communities as well as norms that are in the Customary law community. This is confirmed in Article 18B paragraph (3), Article 28I paragraph (3), as well as Article 32 paragraph (1) and (2) of the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia which is a juridical basis for the recognition of the existence of Customary law communities. However, the use of the term Indigenous peoples and Customary law communities in various legislative products, shows that the Indonesian government does not have a unified understanding of Indigenous law communities. The existence of an Indigenous law community must get prior recognition by the government, but there is no explanation that can be a reference to the definition of Customary law community, position, and the right mechanism for its recognition. The presence of the Law No. 6 of 2014, has placed the position of the Customary law community as the subject of public law, which is part of the government. Desa Adat has the rights of origin in the form of the right to manage the area along with aspects of the life of the Indigenous law community which are called the Ulayat rights of the Adat legal community. But the presence of the Ministry of Agrarian and Spatial/Head of National Land Agency No. 10 of 2016 has given birth to Communal rights which regulate the joint ownership of land which is then registered for legal protection against the control of land rights in the context of legal certainty and the realization of land for the greatest prosperity ix of the people. This has a different concept with customary rights belonging to the Adat village and can have an impact on the status of the land owned by the village of Adat, which initially had the status of communal land, which was accompanied by the ulayat rights over it. But with the presence of Communal rights, which are only limited to land rights due to the issuance of certificates as a form of ratification of the land, Ulayat rights over communal land that were previously owned by the Adat village, have now become unclear due to the presence of Communal rights. As a result of the vagueness of meaning related to the concept of rights owned by the Adat village over its land, so that in its implementation it becomes unclear, how the procedures for registering the land and how the land is allocated, because between communal rights and Ulayat rights are two different concepts. Blurred, multiple interpretations and ambiguous norms result in the absence of legal certainty. Whereas one of the objectives of the law is to realize legal certainty. For this reason, it is necessary to review the concept of Communal Rights, so that the right is in accordance with Customary Rights which are owned by the community of Customary Law which is a necessity.
Item Type: | Thesis (Sarjana) |
---|---|
Identification Number: | SKR/FH/2019/353/051908451 |
Uncontrolled Keywords: | - |
Subjects: | 300 Social sciences > 346 Private law > 346.04 Property > 346.043 Real property > 346.043 2 Ownership (Land tenure) |
Divisions: | Fakultas Hukum > Ilmu Hukum |
Depositing User: | Endang Susworini |
Date Deposited: | 08 Jul 2020 22:51 |
Last Modified: | 07 Oct 2020 01:35 |
URI: | http://repository.ub.ac.id/id/eprint/174414 |
Actions (login required)
View Item |