Subiyanto, Achmad Edi (2018) Pengisian Jabatan Hakim Konstitusi Dalam Negara Demokrasi Konstitusional. Doctor thesis, Universitas Brawijaya.
Abstract
Keberadaan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam sistem ketatanegaraan terbentuk setelah adanya Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) dan diundangkannya Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK). Sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman, MK mempunyai fungsi memeriksa, mengadili, dan memutus perkara yang menjadi kewenangannya yang diberikan oleh UUD 1945. Kekuasaan MK dilaksanakan oleh sembilan orang hakim konstitusi yang diajukan oleh tiga lembaga negara, yaitu Dewan Perwakilan Rakyat, Presiden, dan Mahkamah Agung (DPR, Presiden, dan MA). Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menegaskan bahwa pengangkatan dan pemberhentian hakim konstitusi diatur dengan Undang-Undang. Sedangkan UU MK yang merupakan pelaksana dari ketentuan Pasal 24C Ayat 6 UUD 1945 menegaskan ketentuan mengenai seleksi, pemilihan, dan pengajuan hakim konstitusi diatur oleh masing-masing lembaga yang berwenang, yaitu DPR, Presiden, dan MA. Pengisian jabatan hakim konstitusi berbeda dengan pengisian jabatan hakim pada MA. Perbedaan tersebut salah satunya disebabkan karena hakim konstitusi sebagai pelaksana kekuasaan MK mempunyai fungsi mengadili perkara-perkara konstitusional yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945. Selain itu, salah satu syarat yang membedakan dengan syarat jabatan-jabatan lain adalah hakim konstitusi harus seorang „negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan‟. Artinya bahwa sebagai seorang „negarawan‟, yaitu orang yang benar-benar memahami hakikat masalah-masalah kenegaraan, menguasai Konstitusi (yaitu UUD 1945), dan sistem ketatanegaraan Indonesia sebagai negara kesatuan. Sebagai seorang negarawan yang melaksanakan kekuasaan MK, hakim konstitusi diharapkan mampu menjamin terselenggaranya prinsip checks and balances dalam negara demokrasi konstitusional. Untuk menemukan hakim konstitusi yang demikian maka syarat menjadi hakim konstitusi harus diatur lebih lanjut dalam peraturan perundang-undangan, baik persyaratan umum; persyaratan khusus; maupun syarat lainnya yang dipandang perlu yang berhubungan dengan pengisian jabatan hakim konstitusi. Pengaturan lebih lanjut berkenaan dengan mekanisme pengisian jabatan hakim konstitusi sangat diperlukan mengingat selama ini pengisian jabatan hakim konstitusi yang dilakukan oleh ketiga lembaga tersebut berbeda-beda. Peraturan perundang-undangan yang ada saat ini, yaitu UUD 1945 dan UU MK, hanya memberikan ketentuan atau syarat-syarat secara umum yaitu bahwa pencalonan hakim konstitusi dilaksanakan secara transparan dan partisipatif serta pemilihan hakim konstitusi dilaksanakan secara obyektif dan akuntabel tanpa memberikan uraian lebih jauh. Oleh karena itu, pengisian jabatan hakim konstitusi harus diatur secara khusus melalui mekanisme yang khusus dibuat untuk itu. Hanya melalui keseragaman aturan demikian upaya untuk mendapatkan hakim konstitusi sesuai dengan amanat UUD 1945, yaitu seorang negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan, dapat dicapai, khususnya melalui pembentukan panitia seleksi yang bersifat wajib yang akan digunakan sebagai pedoman oleh ketiga lembaga negara yang memiliki kewenangan mengajukan calon hakim konstitusi. Kriteria keanggotaan panitia seleksi ini ditentukan secara jelas dalam aturan tersebut.
English Abstract
The existence of the Constitutional Court of Republic of Indonesia (the Constitutional Court) in the constitutional system was established after of Amendment the Constitution of the Republic of Indonesia of 1945 (the 1945 Constitution) and the enactment of Law Number 24 of 2003 concerning the Constitutional Court, as amended by Act Number 8 of 2011 concerning Amendment to Law Number 24 of 2003 concerning the Constitutional Court (the Constitutional Court Law) as one of state institutions who hold judicial power. The Constitutional Court has the function of examining, adjudicating and deciding cases within the authorities entrusted to it by the Constitution of the Republic of Indonesia of 1945 (the 1945 Constitution). The Constitutional Court power is carried out by nine constitutional justices endorsed by three state institutions, namely the House of Representatives, the President, and the Supreme Court (DPR, Presiden, and MA). The 1945 Constitution stipulates that the appointment and dismissal of constitutional justices shall be regulated by Law, whereas the Constitutional Court Law, which is the implementation of provisions laid down in Article 24C paragraph (6) of the 1945 Constitution, affirms the provisions concerning the selection, appointment and endorsement of constitutional justices shall be regulated by each authorized institutions, namely the House of Representatives, the President and the Supreme Court. The system for filling in the office of constitutional justices differs from that of the system for filling in the office of the Supreme Court Justices. One of the reasons is due to the fact that constitutional justices who carry out the Constitutional Court‟s powers have the function of adjudicating constitutional cases whose authority is granted by the 1945 Constitution. In addition, what makes constitutional justices different from other state officials is the fact that only constitutional justices are expressly put under the condition that they must be 'statesmen who master the constitution and constitutional matters‟. This means that these 'statesmen' are persons who are expected to fully comprehend the nature of state affairs, the Constitution (i.e. the 1945 Constitution) as well as the Indonesian constitutional system as a unitary state. As statesmen who carry out the power of the Constitutional Court, constitutional justices are expected to be capable of guaranteeing the implementation of the checks and balances principle in a constitutional democratic state. To find such constitutional justices, further regulation as to general, specific, and other requirements deemed necessary to meet such justices is in dire need. Further regulation on mechanism for filling in the office of constitutional justices is really needed since such a mechanism has been applied differently among the three state institutions. Existing rules, i.e. the 1945 Constitution and Law on Constitutional Court, only stipulate provision and requirements in general terms that the endorsement of constitutional court justice‟s candidates shall be carried out in a transparent and participatory way and that the selection of the constitutional court justices shall be organized objectively and accountably without any further elaboration. Hence, the filling in the office of constitutional court justices must be regulated in a uniformed regulation solely designed to build a mechanism with a view to meet such purpose. The effort to find constitutional justices who meet the need of the 1945 Constitution, i.e. that they must be statesmen who comprehend the Constitution and the nature of state affairs, may be fulfilled only through such a uniformed regulation, especially by the establishment of a compulsory selection committee to be used as a guidance by the three state institution who have the authority to endorse constitutional justice candidates. Criteria of the committee‟s membership must be expressly described in the above mentioned regulation.
Other obstract
-
| Item Type: | Thesis (Doctor) |
|---|---|
| Identification Number: | DIS/347.014/SUB/p/2018/061901124 |
| Uncontrolled Keywords: | JUDGES--LAW AND LEGISLATION |
| Subjects: | 300 Social sciences > 347 Procedure and courts > 347.01 Courts > 347.014 Judges |
| Divisions: | S2/S3 > Doktor Ilmu Hukum, Fakultas Hukum |
| Depositing User: | Budi Wahyono Wahyono |
| Date Deposited: | 09 Sep 2019 03:46 |
| Last Modified: | 09 Sep 2019 04:32 |
| URI: | http://repository.ub.ac.id/id/eprint/172543 |
Actions (login required)
 |
View Item |