Wartiningsih (2012) Kebijakan Formulasi Sanksi Pidana bagi Pejabat Kehutanan yang Melanggar Perintah atau Larangan yang Berkaitan dengan Jabatan dalam Undang-undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang Kehutanan. Doctor thesis, Universitas Brawijaya.
Abstract
Penelitian ini diawali dengan adanya keprihatinan tentang banyaknya keterlibatan pejabat kehutanan dalam tindak pidana kehutanan. Terhadap perkara-perkara tersebut sebagian besar ditanggulangi dengan Undang-undang Tindak Pidana Korupsi, kalaupun dengan Undang-undang Kehutanan bukanlah dalam kualitasnya sebagai pejabat. Hal tersebut disebabkankan memang secara normatif UU Kehutanan belum mengatur norma dan sanksi pidana jika ada pejabat yang melakukan tindak pidana kehutanan dalam kapasitasnya sebagai pejabat. Penelitian disertasi ini hendak mengkaji pentingnya diatur tentang sanksi bagi pejabat yang melanggar perintah atau larangan sebagaimana yang diatur dalam peraturan perundang-undangan bidang kehutanan. Permasalahan yang dirumuskan dalam penelitian ini adalah : pertama, apakah jenis perbuatan pejabat kehutanan yang dapat dikriminalisasikan. Kedua, apakah bentuk pertanggungjawaban pidana yang dapat diterapkan pada pejabat kehutanan yang melanggar perintah atau larangan yang berkaitan dengan jabatan dalam UU Kehutanan. Ketiga, apakah jenis sanksi pidana yang dapat dijatuhkan terhadap pejabat kehutanan yang melanggar melanggar perintah atau larangan yang berkaitan dengan jabatan dalam UU Kehutanan.Tujuan penelitian ini adalah : (1) menganalisis dan menemukan jenis perbuatan pejabat kehutanan yang dapat dikriminalisasi; (2) menganalisis dan menemukan bentuk pertanggungjawaban bagi pejabat kehutanan yang melanggar perintah atau larangan yang berkaitan dengan jabatan dalam UU Kehutanan; (3) menganalisis dan menemukan jenis sanksi yang tepat bagi pejabat kehutanan yang melanggar perintah atau larangan yang berkaitan dengan jabatan dalam UU Kehutanan. Kerangka dasar teoritis meliputi : teori negara hukum kesejahteraan, teori HAM, teori keadilan sebagai Grand Theory , teori kebijakan pidana, tipe pembentukan hokum sebagai Middle Theory, dan sebagai Applied Theory adalah aliran-aliran dalam hukum pidana dan teori tujuan pemidanaan, teori pertanggungjawaban pidana, serta teori efektivitas hukum. Penelitian ini adalah penelitian hukum normatif yang dilakukan dengan meneliti bahan hukum primer berupa peraturan perundang-undangan yang relevan, bahan-bahan hukum primer berupa bahan hukum di perpustakaan, peraturan perundang-undangan dari negara lain. Bahan hukum sekunder berupa putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia, Risalah Rancangan UU Kehutanan. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan perundang-undangan, pendekatan konsep, pendekatan filsafat hukum dan pendekatan perbandingan. Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan sebagai berikut : Perbuatan pejabat yang dilarang bervariasi di masing-masing negara. Di Brazilia, pada dasarnya dibagi 3 (tiga) yaitu tidak melakukan pengawasan terhadap ketaatan pemegang izin terhadap pelaksanaan pearturan perundang-undangan yang berlaku, meberikan izin yang bertentangan dengan norma-norma lingkungan dan perbuatan curang seperti menipu, memalsu atau menghilangkan data ilmiah yang berkaitan dengan wewenangnya dalam perizinan. Di NSW-Australia juga dibedakan yaitu larangan untuk berdagang bidang usaha kehutanan dan mengambil keuntungan atas izin yang dikeluarkan bagi pemohon atau pemegang izin. Di Republic South of Africa yaitu larangan bagi pejabat untuk berbisnis bidang kehutanan dan suap, serta sejenisnya. Di Indonesia, pada UU PPLH, larangan bagi pejabat yang sengaja tidak melakukan pengawasan terhadap ketaatan pemegang izin dan penanggungjawab kegiatan dan/atau usaha terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku dan memberikan izin tanpa memenuhi persyaratan yang ditentukan. UU Kehutanan, belum diatur larangan bagi pejabat yang berwenang mengeluarkan izin. Sedangkan dalam dalam Peraturan Menteri Kehutanan, yaitu larangan tentang pejabat yang menerbitkan dokumen pengangkutan dan penggunaannya yang tidak memenuhui persyaratan prosedur yang berlaku. Sanksi. Di Brazilia, sanksi yang diancamkan pidana penjara dan denda. Di NSW-Australia, hanya denda, sedangkan di Republic of South Africa sanksi berpa pidana penjara dan denda. UU PPLH mengatur sanksi bagi pejabat adalah pidana penjara dan denda. UU Kehutanan belum mengatur tentang sanksi bagi pejabat yang memberikan izin tanpa memenuhi persyaratan yang tertuang dalam undang-undang. Sedangkan dalam Permenhut yang mengatur tentang sanksi administrasi mulai dari peringatan sebanyak 3 (tiga) kali, pemberhentian sebagai Pegawai Penatausahaan Hasil Hutan, dan sanksi lain sesuai dengat tingkat kesalahannya. Akan tetapi keberadaan sanksi administrasi tersebut dapat dikaji dengan Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Dalam perspektif hukum administrasi materi yang diatur oleh Peraturan Menteri Kehutanan harus sesuai dengan peruntukan pengaturan itu sendiri. Dalam hal ini seharusnya materi yang diatur oleh Peraturan Menteri Kehutanan mengatur tentang masalah kehutanan sedangkan masalah penghentian sebagai pegawai Penatausahaan Hasil Hutan menjadi materi Undang-undang Nomor 43 tahun 1999 tentang Kepegawaian dan Peraturan Pemerintah Nomor 53 tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil. Oleh karena itu sanksi yang ada dalam Peraturan Menteri Kehutanan tersebut seyogyanya diatur dalam UU Kehutanan di masa yang akan datang ( Ius constituendum) . Berdasarkan hasil analisis yang didasarkan pada pertimbangan yuridis, teoritik, sosiologis, dan filosofis maka jenis perbuatan pejabat yang dapat dikriminalisasi adalah yang berkaitan dengan pengawasan, penerbitan perizinan usaha dan atau kegiatan bidang kehutanan, penerbitan dokumen pengangkutan dan penggunaannya, membuat pernyataan palsu, menghilangkan dokumen dan menyembunyikan informasi yang berkaitan dengan penatausahaan hasil hutan, serta menjalankan usaha bidang kehutanan. Bentuk pertanggungjawabannya adal
English Abstract
This research begins with a numbers of concerns about the involvement of forestry officials in the forestry crime. Matters of majority cases dealt with the corruption act, even if the law is not in its quality as a forestry official. There is doue to a normatively`s forestry act do not set the norms and criminal sanctions if any officer is a criminal offense in his capacity as an official forestry. This dessertation research examines the importance going to set about the sanctions for officials who violate of command and prohibition relating to position as set out in forestry act. The problems are formulated in this study were : first, whether the type of actions that can be criminalized to forestry officials; secondly, whether the form of criminal liability that can be applied to forestry officials who violate of the command and prohibition related to position; third whether the type of criminal sanctions can be imposed on forestry officials who violate of the command and prohibition related to position. The purposes of this research were : (1) Analyze and forestry officials find the kind of action that can be criminalized; (2) Analyse and find the kind of a form of responsibility for forestry officials who violate of the command and prohibition relating to position; (3) Analyse and find the kind of sanctions for forestry officials who violate of the command and prohibition relating to position. Basic theoritical framework include the theori of welfare state, the theory of human rights, theory of justice, theory of penal policy, the types of legal establishment, theory of criminal and sentencing purposes, the theory of criminal liability, and effectiveness of the legal theory. This research is a normative legal research conducted by examining the primary legal materials in the form of legislation that are relevant, primary legal materials in the library of legal materials, law and regulations of other countries. Secondary legal meterials from the decision of Supreme Court of Republic Indonesia, the history of the draft forestry act, the concept approach, legal philosophy approach and comparatice approach. Based on result of research can be summarized as follows : The act also prohibited officials very in each country. In Brazilia, basically devided into grand permission contrary to the environmental norms and cheating as cheating, falsifyng or removing scientific data relating to the licensing authority, In New South Wales-Australia is also distinguished, namely the prohibition to trade and the forestry sector to take advantage of license issued to the applicant or license holder. In the Republic of South Africais a ban on doing business in forestry officials and bribery and so on. In Indonesia, The Act of PPLH, bans on officials who deliberately did not supervise the observance of the license holder and responsible for the activities and/or the business of act in force and give permission without complying with specified requirements, forestry lact, the ban has not been set for the authorities isued a ban on the transport and use of documents that do not meet the requirements of the applicable procedures. Sanction. In Brazilia, which threatened sancion inprisonment and fines. In New South Wales-Australia, just fine, while in The Republic of South Africa sancion of inprisonment and fines. PPLH Act set penalties for officials is inprisonment and fines. Forestry Act has not been on sanction for officials who grant permission withot complying with the requirement which is written in the act. While in the Permenhut providing for administration sanction ranging from warning 3 (three) times. The dismissal as an employee of management of forest products and other sanctions in accordance with the error rate. But the existence of these may be assessed by Act No 12 of 2012 the establishment of law and regulations. In the perspective of administrative law mater governed by the Minister of Forestry regulation must be in accordance with the usage arrangement itself. In this case the material should be set by the Minister of Forestry regulations governing forestry issues while the issue of suspension as the official management of forest products into the material The Act No 43 of 1999 of Civil Servant and Government Regulation No. 53 of 2010 of The Discipline of Civil Servant. Therefore sanctions that exist in Forestry Minister Regulation should be set in The Forestry Act in the future. Based on the result of the analyses which was based on the legal considerations, theoritical, sociological, and phylosopical, the types of officials action that may be criminalized is related to monitoring, business license, and enforcement of forestry activities, regulating in transport and use of document, making false statements, eliminating paperwork and conceal information relating to the management of forest product, as well as running a business in forestry. Form of individual responsibility and liability is based on personal fault. Types of sanction are threatened in prisonment, fines, and restitution as additional criminal sanction.
Item Type: | Thesis (Doctor) |
---|---|
Identification Number: | DES/346.046 75/WAR/k/061205195 |
Subjects: | 300 Social sciences > 346 Private law |
Divisions: | S2/S3 > Doktor Ilmu Hukum, Fakultas Hukum |
Depositing User: | Endro Setyobudi |
Date Deposited: | 10 Jul 2013 10:32 |
Last Modified: | 10 Jul 2013 10:32 |
URI: | http://repository.ub.ac.id/id/eprint/160915 |
Actions (login required)
![]() |
View Item |