Santika, IdaBagusAgungPutra (2011) Kebijakan Peruntukan dan Penggunaan Tanah untuk Penanaman Modal di Bdang Pariwisata. Doctor thesis, Universitas Brawijaya.
Abstract
Konsep hak menguasai tanah oleh negara berdasarkan Pasal 33 Ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) memberi wewenang kepada Negara untuk mengatur peruntukan dan penggunaan tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA) untuk mewujudkan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Di dalam UUPA, konsep dan wewenang tersebut dijabarkan dalam pengaturan yang mengakui dan menjunjung tinggi kearifan, keutamaan dan hak rakyat atas tanah, karenanya kebijakan peruntukan dan penggunaan tanah tersebut bersifat populis. Dalam kebijakan di bidang penanaman modal, konsep dan wewenang tersebut diimplementasikan dalam bentuk pengaturan yang lebih mengutamakan kepentingan penanam modal, karenanya kebijakan peruntukan dan penggunaan tanah tersebut bersifat kapitalis. Hal di atas, melahirkan persoalan hukum (legal issue), yaitu terjadinya pergeseran pengaturan peruntukan dan penggunaan tanah dari yang bersifat populis menjadi bersifat kapitalis, yang selanjutnya dijadikan topik penelitian dalam disertasi ini. Karena pergeseran tersebut melahirkan akibat : dalam tataran normatif, terjadi konflik norma hukum antara satu peraturan perundang-undangan dengan yang lain, baik secara hierarki sederajat (konflik norma hukum horisontal) maupun secara hierarki tidak sederajat, yang satu derajatnya lebih tinggi dengan yang lain (konflik norma hukum vertikal). Kemudian dalam tataran empiris, terjadi ketidakadilan akibat dalam kebijakan di bidang penanaman modal tidak semua rakyat dijamin hak dan kepentingannya untuk dapat menguasai dan memanfaatkan tanah, sehingga kemakmuran sebesar-besar seluruh rakyat tidak mampu terwujud. Dalam kajiannya, digunakan penelitian hukum normatif dengan menelusuri bahan hukum primer dan sekunder melalui pendekatan perundang-undangan (statute approach), pendekatan sejarah (historical approach), dan pendekatan konseptual (conceptual approach), dikaitkan dengan teori-teori : nilai dasar hukum, hierarki norma hukum (Stuffenbau des Rechts), utilitarianisme hukum, dan hukum dan moralitas, untuk menjawab masalah-masalah yang ada dan diperoleh temuan-temuan sebagai berikut : Pertama , dalam kebijakan yang bersifat populis, tanah harus dikuasai dan dimanfaatkan secara adil untuk seluruh rakyat, berdasarkan pada filosofi bahwa, tanah merupakan karunia Tuhan kepada segenap rakyat Indonesia. Filosofi tersebut melahirkan hubungan kodrati antara rakyat dengan tanah dan bersifat abadi, yang tidak dapat dipisahkan oleh suatu alasan apapun juga, termasuk karena ketiadaan modal. Oleh karenanya, dalam filosofi tersebut tanah harus didistribusikan secara adil untuk seluruh rakyat, guna meningkatkan derajat hidupnya, yaitu terpenuhinya basic needs sebagai upaya mewujudkan kemakmuran seluruh rakyat. Sedangkan dalam kebijakan yang bersifat kapitalis, tanah harus dikuasai dan dimanfaatkan oleh pemilik modal (penanam modal), berdasarkan pada filosofi yang mengakui kebebasan perseorangan (pemilik modal) untuk menguasai serta memanfaatkan tanah. Filosofi tersebut berasumsi bahwa, hanya ditangan pemilik modal tanah mampu dimanfaatkan secara optimal, sehingga diperoleh hasil maksimal untuk modal pembangunan nasional guna mewujudkan kemakmuran rakyat. Oleh karena itu, kebijakan peruntukan dan penggunaan tanah dalam : Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai Atas Tanah, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak Dan Gas Bumi, Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, bersifat lebih mengutamakan kepentingan dengan memberi prioritas kepada pemilik modal untuk menguasai dan memanfaatkan tanah, sehingga menganut filosofi kapitalis. Hal tersebut mengakibatkan terjadinya pergeseran kebijakan dari yang bersifat populis menjadi bersifat kapitalis. Di sisi lain, Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MKRI) berdasarkan Putusannya nomor : 21-22/PUU-V/2007 memberi constitutional review atas ketentuan dalam Pasal 22 Ayat (1) a, b dan c Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal yang menyatakan bahwa ketentuan tersebut bertentangan dengan Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945. Di samping itu, memberlakukan kembali UUPA sebagai dasar hukum dalam dapat diberi dan perpanjangan Hak Guna Usaha (HGU), atau Hak Guna Bangunan (HGB), atau Hak Pakai (HP) untuk kepentingan penanaman modal, yang bertujuan agar antara norma kebijakan peruntukan dan penggunaan tanah di bidang penanaman modal dengan UUPA menjadi selaras. Putusan tersebut mengakibatkan pergeseran kembali kebijakan peruntukan dan penggunaan tanah dari yang bersifat kapitalis menjadi bersifat populis. Dengan demikian, landasan filosofi pergeseran kebijakan peruntukan dan penggunaan tanah untuk penanaman modal di bidang pariwisata adalah keadilan untuk menguasai dan memanfaatkan tanah untuk mewujudkan sebesar-besar kemakmuran rakyat. Kedua , tanah bagi bangsa Indonesia yang agraris memiliki fungsi sosial, ekonomis dan politik merupakan aspek-aspek yang mempengaruhi kebijakan peruntukan dan penggunaan tanah untuk penanaman modal. Aspek sosial, menjadikan kebijakan tersebut sebagai penyeimbang antara kepentingan penanaman modal dengan masyarakat dalam penguasaan dan pemanfaatan tanah. Aspek ekonomi, menjadikan kebijakan tersebut mampu meningkatkan nilai ekonomis tanah menjadi lebih tinggi yang menguntungkan pemilik tanah. Di bidang pariwisata di Bali, aspek ini melahirkan praktek spekulan dan penguasaan tanah melanggar hukum, berupa jual-beli terselubung oleh Warga Negara Asing (WNA) dengan memakai nama Warga Negara Indonesia (WNI). Sedangkan aspek politik, menjadikan kebijakan tersebut sebagai alat oleh Negara dalam mencapai tujuan politik di bidang agraria. Salah satunya, menempatkan tanah sebagai komoditas penanaman modal untuk meningkatkan devisa negara. Oleh karena itu, diperlukan model kebijakan yang
English Abstract
The concept of the right to control the land by the state pursuant to Article 33 Paragraph (3) of the Constitution of the Republic of Indonesia Year 1945 authorizes the State to regulate the allocation and use of land as referred to in Article 2 of Law No. 5 of 1960 on Basic Regulation of Agrarian (UUPA) to achieve maximum benefit and prosperity of the people. In the UUPA, the concept and authorities are described in the arrangement that recognizes and respects the wisdom, virtue and right of the people on the ground, hence the designation and land use policies are populist. In the field of investment policy, concepts and authorities are implemented in settings that more priority to the interests of investors, hence the designation and land use policies are capitalist. Above, gave birth to legal issues, the designation of shift arrangements and the use of land that became populist capitalist, which in turn become topics of research in this dissertation. Because the shift is due to give birth: at the normative level, there was a conflict between a legal norm legislation with others, either through a hierarchy of equals (horizontal conflict of legal norms) and the hierarchy are not equal, which is one rank higher with others (conflict vertical legal norms). Later in the empirical level, there was an injustice due to the policies in the field of investment, not all people are guaranteed the rights and interests to be able to master and utilize the land, so that prosperity for the greatest of all the people are not able to materialize. In the study, use of normative legal research by searching the primary and secondary legal materials via the statute approach, historical approach and conceptual approach, is associated with the theories: the basic values of law, hierarchy legal norms (Stuffenbau des Rechts), utilitarianism law, and law and morality, to answer the problems that exist and obtained the following findings: First, in populist policies, the land must be controlled and utilized in a fair manner to all people, based on the philosophy that, land is the gift of God to all people of Indonesia. The philosophy of childbirth is a natural relationship between the people and the land and is eternal, that can not be separated by any reason whatsoever, including due to lack of capital. Therefore, in the philosophy of the land should be distributed fairly to all people, in order to increase the degree of his life, namely the fulfillment of basic needs as an effort to realize the prosperity of all people. While in capitalist policies, the land must be controlled and exploited by the owners of capital (investors), based on a philosophy which recognizes the freedom of individuals (investors) to control and exploit the land. Philosophy is assumed that, only the hands of owners of capital could be optimally utilized land, in order to obtain maximum results for national development capital in order to realize the prosperity of the people. Therefore, the policy designation and land use in: Government Regulation No. 40 of 1996 on land right, Right of Building and Land Use Rights, Act No. 22 of 2001 concerning Oil and Gas, Law Number 41 Year 1999 on Forestry, and Law No. 25 of 2007 on Investment, nature prefers to give priority to the interests of capital owners to control and exploit the land, so that the philosophy of the capitalist. This resulted in a shift from a populist policies became capitalist. On the other hand, the Constitutional Court of the Republic of Indonesia (MOJ) on the basis of decision Number: 21-22/PUU-V/2007 give constitutional review of the provisions of Article 22 Paragraph (1) a, b, and c of Act No. 25 of 2007 on Investments, which states that such provisions contrary to Article 33 Paragraph (3) of the Constitution 1945. In addition, re-enact the UUPA as a legal basis can be given and the extension of rights (HGU), or right to build (HGB), or Right to Use (HP) for investment purposes, which aims for the designation and use of policy norms land in the field of investment with UUPA being in tune. The verdict led to a shift back to the land use designation and policies of the capitalist became populist. Thus, the foundation philosophy of the policy shift in the designation and use of land for investment in tourism is justice to master and utilize the land to achieve the greatest prosperity for the people. Second, the land for agrarian nation Indonesia, which has the function of social, economic and political are aspects of policy affecting the allocation and use of land for investment. Social aspect, making the policy as balancing between the interests of capital investment by society in the acquisition and use of land. In economic terms, making the policy to increase the economic value of land into a profitable higher landowner. In the field of tourism in Bali, gave birth to the practice of this aspect of speculators and illegal land tenure, in the form of sale veiled by foreign citizens (foreigners) by using the name of an Indonesian Citizen (WNI). While the political aspect, making the policy as a tool by the State in achieving its political objectives in the field of agriculture. One of them, placing the land as a commodity investments in order to increase foreign exchange. Therefore, the necessary policy model based on rechts Idee Indonesian nation, the policy designation and use of land for investment pro-people. Like: HGB, or HP on land owned by the lease between landowners with investors and HGU, or HGB, or HP for cooperatives in the context of capital investment, because that policy models are directly able to increase their level of living as well as prosperity people.
| Item Type: | Thesis (Doctor) |
|---|---|
| Identification Number: | DES/346.045/SAN/k/061103191 |
| Subjects: | 300 Social sciences > 346 Private law |
| Divisions: | S2/S3 > Doktor Ilmu Hukum, Fakultas Hukum |
| Depositing User: | Endro Setyobudi |
| Date Deposited: | 21 Oct 2011 09:36 |
| Last Modified: | 21 Oct 2011 09:36 |
| URI: | http://repository.ub.ac.id/id/eprint/160913 |
Actions (login required)
 |
View Item |