Heriamariaty (2014) Politik Hukum Pengaturan Izin Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara pada Kawasan Hutan Lindung Berbasis Prinsip Keberlanjutan Lingkungan. Doctor thesis, Universitas Brawijaya.
Abstract
Persoalan kerusakan hutan, khususnya pada kawasan hutan lindung tidak hanya terjadi di negara Indonesia, tetapi juga terjadi di negara-negara lain. Kerusakan kawasan hutan lindung tersebut disebabkan antara lain oleh kegiatan penambangan yang dilakukan dengan pola pertambangan terbuka. Pada prinsipnya pada kawasan hutan boleh dilakukan kegiatan pertambangan, hanya saja saja kegiatan pertambangan yang dimaksud menggunakan pola pertambangan tertutup dengan pemberian izin pinjam pakai dari Menteri Kehutanan dengan mempertimbangkan batas luas, jangka waktu dan kelestarian lingkungan. Berlakunya Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (UUK) khususnya ketentuan Pasal 38 ayat (4) UUK menyebutkan, `pada kawasan hutan lindung dilarang melakukan kegiatan penambangan dengan pola pertambangan terbuka` dipandang para investor merugikan investasi dan menimbulkan ketidakpastian hukum bagi perusahaan pertambangan yang sudah memiliki izin atau perjanjian kegiatan pertambangan khususnya di kawasan hutan lindung sebelum berlakunya Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Pada waktu itu dikeluarkanlah Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 2004 tentang Perubahan Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan menjadi Undang-Undang dan kemudian disahkan dengan Undang-Undang No. 19 Tahun 1999 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No.1 Tahun 2004 tentang Perubahan Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan Menjadi Undang-Undang menyebutkan bahwa, semua perizinan atau perjanjian di bidang pertambangan di kawasan hutan yang telah ada sebelum berlaku Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dinyatakan tetap berlaku sampai berakhirnya izin atau perjanjian. Selanjutnya jika dicermati dalam ketentuan Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara juga tidak diatur secara rinci tentang lokasi dan wilayah pertambangan hanya dikatakan bahwa wilayah pertambangan adalah bagian dari tata ruang yang ditetapkan oleh pemerintah setelah berkoordinasi dengan pemerintah daerah dan berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat. Akan tetapi pada Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang justru tidak mengatur peruntukan kawasan lindung (termasuk hutan lindung) untuk kegiatan pertambangan). Di sisi lain menyangkut tentang lingkungan telah ada Undang-Undang No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan pengelolaan Lingkungan Hidup, akan tetapi keberadaan undang- undang ini tidak dijadikan sebagai pedoman oleh undang-undang sektoral lain seperti Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara dan Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Berangkat dari uraian tersebut timbul problematika filsafat, problematika teoritik, problematika yuridis, dan problematika sosiologis. Problematika filsafat bahwa hutan, mineral dan batu bara wajib diurus, dimanfaatkan dan dijaga kelestariannya untuk kemakmuran rakyat dan berkeadilan. Problematika teoritik, bahwa izin tambang pada kawasan hutan lindung untuk kesejahteraan rakyat tetapi cenderung diutamakan untuk kepentingan investor dan ekonomi. Problematika yuridis terjadi disharmonisasi antara peraturan perundang-undangan, dan problematika sosiologis terjadi kerusakan dan/atau pencemaran lingkungan serta masyarakat kehilangan sumber-sumber penghidupannya. Berdasarkan uraian latar belakang tersebut, maka rumusan masalah yang diangkat dalam penulisan ini adalah: (1) Mengapa politik hukum pengaturan izin pengelolaan pertambangan mineral dan batubara pada kawasan hutan lindung mengabaikan prinsip keberlanjutan lingkungan?, (2) Apa implikasi politik hukum pengaturan perizinan lingkungan hidup pada kawasan hutan lindung yang mengabaikan prinsip keberlanjutan lingkungan?, (3) Bagaimana formulasi politik hukum pengaturan perizinan lingkungan hidup pada kawasan hutan lindung yang mengakomodasi prinsip keberlanjutan lingkungan? Penelitian disertasi ini menggunakan jenis penelitian hukum normatif, dengan pendekatan perundang-undangan ( statute approach ), pendekatan historis ( historical approach ), pendekatan konseptual ( conceptual approach ), dan pendekatan perbandingan ( comparative approach ). Berdasarkan hasil penelitian diperoleh kesimpulan: 1. Politik hukum pengaturan izin usaha pertambangan pada kawasan hutan lindung mengabaikan prinsip keberlanjutan: Karena masih berorientasi pada eksploitasi dan kepentingan ekonomi hal tersebut dibuktikan dengan banyaknya kasus pencemaran dan/atau lingkungan hidup yang diakibatkan oleh kegiatan pertambangan pada kawasan hutan lindung yang tidak mengintegrasikan aspek ekonomi, sosial dan budaya serta ekologi yang menjadi tujuan pembangunan berkelanjutan untuk mencapai kesejahteraan rakyat.
English Abstract
The problem of forest damage, especially in the area of protected area, is not only happened in Indonesia, but also in other countries. The damage of protected forest area is caused by mining activities in the way opened mining. In the principle, the forest area has been permitted to carry out mining activity, but the mining that has been taken uses closed mining pole with the permission of loan from the Forestry Minister to consider the limitation of wide, duration, and conservation. The regulation no. 41 on 1999 about the forest [UUK], especially the decision in chapter 38 verse [4] UUK mentions,` in the forest area, it`s forbidden to do mining by opened mining` viewed that investor causes a loss the infestations and appearing the uncertainty of law for the mining company that has the license or contract of mining, especially in protected forest area before the the validation of regulation [UU] no.41 on 1999 about forestry. In this period, the government rules substitute the constitution no.1 on 2004 about the constitution change no.41 on 1999 about forestry becomes the constitution then validated by the constitution no. 19 on 1999 about the appointment of government rule, the exchange of constitution no. o1 on 2004 about the change of regulation no. 41 on 1999 about the forestry becomes the regulation mention that, all of licenses or agreement in mining field in forest area that has existed before validating of the regulation [UU] no. 41 on 1999 about the forestry declared that it is acceptable till the end of license or agreement. If it is detailed in the decision of regulation on 2009 about mineral and coal mining are not structured in detail about the location and mining area which has said that the mining area is the part of layout established by government after being coordinated with regional government and having consultation with Indonesian House of Representatives. Whereas in the regulation no. 26 on 2007 about arrangement does not regulate the allocation of protected area [including protected forest] for mining activities. On the other hand, related to the environment, the regulation [UU] no. 32 on 2009 about the protection and management of ecosystem, but this existence of this regulation [UU] no.32 on 2009 about the conservation protectants and management, but its existence is not to be guide of sectorial regulation, not like as the law no. 4 on 2009 about the mineral and coal mining and the law no.41 on 1999 about forestry. From the explanation above, appearing the philosophy of problematic issues, theoretic problem, juridical problem, and sociological problem. The philosophical problems are the forestry, minerals, and the coals have to be managed, took advantage and conservation for the prosperous of the people and fairness. The theoretic problem is the mining license in the protected forest area for the people prosperous but tend to prioritize the investor importance and economy. The juridical problem is happened disharmony among the laws. The sociological problem is happened because of the damage or pollution and also losing the people livelihood sources. Based on the explanation of the background, the problem questions used in this paper are [1] why the political law of license arrangement in mineral and coal mining management in protected forest area ignore the environmental continued principle? [2] what is the implications of political law of ecosystem license arrangement in protected forest area that ignores the environmental continued principle?, [3] how the formulation of political law in ecosystem license arrangement in the protected forest area that accommodates the environmental continued principle? This kind of research that is used in this dissertation is normative law, with the approach the statute approach, historical approach, conceptual approach, and comparative approach. Based on the research result is obtained the conclusion: 1. Politic of license adjustment law in mining business in protected forest area ignore continued principle : Due to oriented the exploitation and the importance of economy is proved by the frequency of pollution cases ecosystem that is caused by mining activity in protected forest area that integrates economical aspect, social, culture, and ecology that becomes the purposes of continuous building to reach the prosperous. 2. The implications of political law of environmental license adjustment in protected forest that ignores continuous principle are: a. Causing the uncertainty of law to do business or mining activity in protected forest because of the ecosystem license system is lack a
| Item Type: | Thesis (Doctor) |
|---|---|
| Identification Number: | DES/346.043/HER/p/041406154 |
| Subjects: | 300 Social sciences > 346 Private law |
| Divisions: | S2/S3 > Doktor Ilmu Hukum, Fakultas Hukum |
| Depositing User: | Endro Setyobudi |
| Date Deposited: | 08 Oct 2014 10:29 |
| Last Modified: | 08 Oct 2014 10:29 |
| URI: | http://repository.ub.ac.id/id/eprint/160910 |
Actions (login required)
 |
View Item |