Kebijakan Formulasi Tindak Pidana terhadap Agama dan Kehidupan Beragama dalam Rangka Pembaruan KUHP Nasional

Noorsena, Bambang (2012) Kebijakan Formulasi Tindak Pidana terhadap Agama dan Kehidupan Beragama dalam Rangka Pembaruan KUHP Nasional. Doctor thesis, Universitas Brawijaya.

Abstract

Indonesia yang berdasarkan Pancasila tidak berdiri sebagai negara agama ( Theocracy ), tetapi sebaliknya juga bukan negara sekuler ( Secular State ). Berbeda dengan negara sekuler, karena negara didasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa, maka negara berkewajiban melindungi nilai-nilai agama, perasaan keagamaan dan masyarakat beragama. Hak beragama dan menyatakan pikiran bersifat non derogable , namun ada pembatasan-pembatasan yang diizinkan oleh undang-undang ( permisibble restriction ), karena alasan-alasan tertentu, antara lain `perlindungan hak asasi dan kebebasan orang lain`. Menurut Article 22 Number (2) International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR), `Setiap tindakan yang menganjurkan kebencian berda-sarkan kebangsaan, ras atau agama, yang merupakan hasutan untuk melakukan des-kriminasi, permusugan dan kekerasan dilarang oleh undang-undang`. Karena itu, keberadaan tindak pidana terhadap agama dan kehidupan beragama dari perspektif HAM, dibenarkan. Meskipun demikian, karena Indonesia bukan negara agama maka yang harus dilindungi adalah nilai-nilai luhur dari semua ajaran agama yang dianut di Indonesia. Pasal 156a KUHP, sebagai `pasal amandemen` yang ditambahkan berdasarkan Pasal 4 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1965, tentang Pencegahan, Penyalahgunaan atau Penodaan Agama, yang dikategorikan `Tindak Pidana terhadap Agama` ( offenses againts religion ), masih perlu disempurnakan karena perumusan normanya terlalu umum, dan bisa ditafsirkan secara sangat luas. Rumusan `permusuhan, penyalahgunaan dan penodaan` dalam Pasal 156a KUHP bersifat kabur, karena itu harus diperbaiki perumusan normanya. Sedangkan kata `agama` dalam Pasal 156a adalah kata benda hukum yang niskala (abstrak), karena itu diperlukan rincian objek penghinaan agama, yaitu Tuhan, Rasul, Nabi, Kristus, Buddha, Avatara, atau tokoh-tokoh suci dari agama yang dianut di Indonesia, Kitab Suci, atau Ibadah Keagamaan, seperti yang dirumuskan di Massachussets (Statute 272 Section 36 MGL), Pakistan (Section 295-B dan 295-C PPL), dan Yunani (Article 198 dan 199 GPL). Karena itu, dalam rangka Perumusan Norma dan Sanksi Tindak Pidana terhadap Agama dan Kehidupan Beragama dalam KUHP Nasional yang akan datang ( Ius Constituendum ), perlu reformulasi Pasal 156a KUHP menjadi 3 pasal, yaitu: (1) Tindak Pidana terhadap Agama secara umum (di beberapa negara disebut ` Outrage to Religious Feeling and Insult to Religion `), yang objeknya perasaan keagamaan, (2) Tindak Pidana terhadap Agama yang objeknya ditujukan langsung terhadap pokok-pokok ajaran agama (di beberapa negara disebut ` Blasphemy ` atau ` Godslastering `), yaitu penghinaan terhadap Tuhan atau pengha-sutan dengan maksud agar orang tidak bertuhan, dan (3) penghinaan terhadap Rasul, Nabi, Kristus, Buddha, Avatara, atau tokoh-tokoh suci dari agama yang dianut di Indonesia, Kitab Suci atau Ibadah Keagamaan. Selain itu, diperlukan satu pasal yang berisi tindak pidana penyiaran ( Verspreiding delict ) dari ketiga pasal sebelumnya yang memuat tindak pidana pokoknya ( Begunsiting Delict ) dengan sanksi lebih berat, yaitu ditambah sepertiga dari ancaman pidana pokok. Selanjutnya, meskipun dalam KUHP ada pasal-pasal yang dikategorikan `Tindak Pidana terhadap Kehidupan Beragama` ( offenses related religion ) , yaitu Pasal 175-177 ayat (1) dan (2) dan 503 ke-2, namun belum diatur tindak pidana Perusakan Bangunan Tempat Ibadah. Padahal secara sosiologis, kejahatan ini dari tahun ke tahun terus meningkat di Indonesia. Di beberapa negara sudah diatur tindak pidana perusakan tempat-tempat ibadah dan benda-benda sarana ibadah, antara lain India (Section 295 IPC), Pakistan (Section 295 PPC), dan Israel (Article 170 IPL). Bahkan kriminalisaisi perbuatan merusak tempat ibadah berakar pada budaya bangsa Indonesia sendiri, terbukti telah diatur dalam Undang-undang Ādigama Majapahit (1401 M). Selanjutnya, apabila dibandingkan dengan negara lain, Tindak Pidana terhadap Kehidupaan Beragama dalam KUHP tergolong sangat ringan sehingga tidak lagi memenuhi rasa keadilan masyarakat. Berat atau ringannya sanksi yang diterapkan untuk Tindak Pidana terhadap Agama dan Kehidupan Beragama di beberapa negara, tidak dapat dilepaskan dengan filosofi yang melatarbelakangi perumusan tindak pidana tersebut di masing-masing negara. Pada umumnya negara yang manganut teokrasi, seperti Pakistan, menjatuhkan pidana yang lebih berat dibandingkan dengan negara-negara Barat. Mengenai Perusakan tempat ibadah, baik di Israel, India, maupun, diancam dengan pidana penjara, penjara atau denda atau keduanya, hanya di Majapahit yang tidak menerapkan pidana penjara, melainkan denda sebesar 24.000 pisis dan memberikan ganti rugi kerusakan akibat tindak pidana (Canto 55 Ādigama ). Untuk tindak pidana perusakan tempat Ibadah dan benda yang digunakan dalam beribadah, jenis sanksi ganti kerugian relevan diterapkan, khususnya ditinjau dari perspektif korban kejahatan. Dalam penelitian ini, diusulkan pemberatan sanksi apabila tindak pidana tersebut mengakibatkan matinya orang, dan apabila menimbulkan kerusakan tempat ibadah atau benda yang dipakai beribadah sehingga tidak bisa dipakai lagi, maka dapat dijatuhkan pidana tambahan membayar ganti kerugian untuk memperbaiki kerusakan. Tetapi apabila pelaku benar-benar tidak mampu membayar ganti kerugian, maka korban mendapatkan kompensasi dari negara untuk perbaikan kerusakan. Kompensasi dari negara kepada korban tersebut merupakan konsekuensi dari tanggung jawab negara dalam melindungi segenap rakyatnya. Dengan demikian, sanksi yang diterapkan benar-benar memperhatikan kepentingan pelaku, kepentingan korban, maupun ketenteraman masyarakat.

English Abstract

Indonesia based on Pancasila does not stand as a Religion State ( Theocracy ), but also not a Secular State. Unlike the secular state, because Indonesia is based on the principle of `Belief in One God` ( Ketuhanan Yang Maha Esa ), the state is obliged to protect religious values, religious feelings and religious communities. Freedom of religion and expession of belief is non-derogable rights , but there are restrictions permitted by law ( permisibble restriction ), because some reason, for one things, `protection of rights and freedoms of others`. According to Article 22 Number (2) International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR), ` Any advocacy of national, racial or religious hatred that constitutes incitement to descrimination, hostility or violence shal be prohibited by law `. Therefore, the existence of crime offenses against religion and offenses related religion in the human rights perspective is justified. However, because Indonesia is not a religion state, so the state must be protecs the noble values of all religions and beliefs followed in Indonesia. Article 156a of Indonesia Criminal Code (KUHP), an article of amendment is added under Article 4 of Law Number 1 of 1965 on the Prevention of Blasphemy and Abuse of Religions, which are categorized as `Crime of Religion` ( offenses againts religion ), still needs to be improved because the formulation of norms is too global, and can be interpreted in a very wide. The formulation of ` hostility, abuse and desecration ` in Article 156a of the Penal Code is ambiguous, because it must be fixed the norm formulation. While the word `religion` in Article 156a is `an abstract noun law`, because it required object details contempt of religion, namely God, Apostle, Prophet, Christ, Buddha, Avatara, or holy figures of the religion followed in Indonesia, The Holy Scrip-ture, or the Religious Worship, as formulated in Massachusetts (Statute 272 Section 36 MGL), Pakistan (Section 295-B and 295-C PPL), and Greece (Article 198 and 199 GPL). Therefore, in order to formulate norms and sanctions The Crime offenses againts religion and of related Religion in the upcoming National Criminal Law ( Ius Constituendum) , needs reformulation Article 156a of the Penal Code into 3 chapters, namely: (1) Crimes against religion in general (in some the so-called ` Outrage to Religious Feeling and Insult to Religion `) with the object of which religious feelings, (2) Crimes against religion that object directly addressed to the main points of religious doctrine (in some countries called ` Blasphemy ` or ` Godslatering `), which is an insult to God or deny God incitement, and (3) an insult to the Apostles, Prophets, Christ, Buddha, Avatara, or holy figures of the religion followed in Indonesia, Scripture or Religious Worship. In addition, it takes one article that contains the crime of broadcasting ( Verspreiding delict ) of the three previous articles containing it basic crime ( Begunsiting Delict ), with a sanction is more severe, namely increased threefold from the basic crime. Furthermore, although there are articles in Indonesia Criminal Code or Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), that are categorized as ` Crime offenses related religion `, namely Article 175-177 Number (1) and (2) and 503 Number (2) of KUHP, but is not set destruction building places of worship as a crime. While sociologically, this crime from year to year increase in Indonesia. In several countries have set up criminalization of destruction of places of worship and objects of worship, such as India (Section 295 IPC), Pakistan (Section 295 PPC), and Israel (Article 170 IPL). Even criminalization of destructive act of worship is rooted in the culture of Indonesia itself, proved to have been set in Law Ādigama Majapahit (1401 AD). Furthermore, when compared with other countries, the sanction of Crime offenses related religion in the KUHP, are quite so mild that no longer meets the public sense of justice. Heavy or light sanctions imposed for the Crime offenses against religion and offenses related religion in some countries, can not be released to the philosophy underlying the formulation of such offenses in their respective countries. In general, theocracy countries, such as Pakistan, impose more severe punishment than the Western countries. Regarding the destruction of places of worship, both in Israel, India, and shall be punishable with imprisonment, fine or imprisonment or both, just do not apply Majapahit imprisonment, but a fine of 24,000 Pisis and compensate the damage caused by crime (Canto 55 of Law Ādigama ). For the criminal destruction of religious worship and objects used in worship, compensation of sanctions are relevant to applied, especially viewed from the perspective of victims. In this disertation, the proposed weighting sanctions for such offenses cause the death of people. Funthermore, if it causes damage to places of worship or objects used to worship that can not be used again, then the victim to get compensation from the state to repair the damage. Compensation to the victims from the state is a consequence of the state`s responsibility to protect all the people. Thus, the sanctions adopted really pay attention to the interests of the offender, the victims, and the public consolation.

Item Type: Thesis (Doctor)
Identification Number: DES/345.028 8/NOO/k/061204544
Subjects: 300 Social sciences > 345 Criminal law
Divisions: S2/S3 > Doktor Ilmu Hukum, Fakultas Hukum
Depositing User: Endro Setyobudi
Date Deposited: 01 Jul 2013 11:33
Last Modified: 01 Jul 2013 11:33
URI: http://repository.ub.ac.id/id/eprint/160894
Full text not available from this repository.

Actions (login required)

View Item View Item