Perlindungan Hukum terhadap Korban Perkosaan dalam Peradilan Pidana di Indonesia

Ansori (2011) Perlindungan Hukum terhadap Korban Perkosaan dalam Peradilan Pidana di Indonesia. Doctor thesis, Universitas Brawijaya.

Abstract

Perlunya perlindungan hukum terhadap hak-hak korban, bukan saja hanya merupakan suatu isu Nasional. Namun merupakan isu yang memperoleh perhatian dalam skala internasional. Kesadaran internasional ini misalnya ditunjukan dalam perbincangan bersama secara mengenai hak-hak korban perkosaan secara Internasional terhadap korban perkosaan, semakin berkelanjutan dengan dibuatnya Declaration of Basic Principle of Justice of Crime and Abuse of Power oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), yang adalah merupakan hasil dari The Seventh United Nations Congress on the Prevention of Crime and the Treatment of Offender, yang berlangsung di Milan, Italia pada bulan September 1985 dan dilanjutkan dengan United Conggress on the Prevention of Crime and the Treatment of Offenders di Wina pada tanggal 10-17 april 2000. Babak baru perlindungan terhadap hak-hak korban perkosaan di Indonesia dalam keadaan tertentu dimulai dengan diundangkannya UU No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban ditindak lanjuti dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah (PP) No. 44 Tahun 2008 tentang Pemberian kompensasi dan Restitusi dan Bantuan Pada Saksi dan Korban. Sayangnya dalam UU No. 13 Tahun 2006 dan PP No. 44 Tahun 2008, kompensasi hanya diberikan pada korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (1) a UU No. 13 Tahun 2006 jo Pasal 2 ayat (1) PP No. 44 Tahun 2008. Korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat juga berhak memperoleh bantuan medis dan bantuan rehabilitasi psiko sosial berdasarkan putusan LPSK sebagaimana diatur dalam Pasal 6 UU No. 13 Tahun 2006 jo. Pasal 34 PP No. 44 Tahun 2008. Sedangkan bagi korban perkosaan dalam keadan biasa diberikan hak untuk mengajukan tuntutan ganti rugi bersamaan dengan perkara pidananya, yaitu sebelum tuntutan Jaksa Penuntut Umum dibacakan berdasarkan ketentuan Paal 98 KUHAP. Pemberian kompensasi dari Negara hanya terhadap korban perkosaan pelanggaran HAM berat (dalam keadaan tertentu), dan bukan pada semua korban perkosaan dalam keadaan biasa adalah bertentangan dengan norma-norma pengaturan pemberian kompensasi dan restitusi yang diakui secara internasional dan di beberapa Negara. Bahwa pada dasarnya adalah merupakan tanggung jawab Negara untuk memberikan kompensasi kepada semua korban perkosaan dan bukan hanya pada korban perkosaan yang merupakan pelanggaran hak asasi manusia yang berat saja. Misalnya Inggris memiliki Criminal Injuries Compensation Act 1995, Belanda memiliki Code of Criminal Procedure, Kanada memupunyai Criminal Code and Criminal Injuries Conpensation, Australia memiliki The Victim Support and Rehabilitation 1996 and Victim Compensation Fund, Jepang memiliki Basic Act in Crime Victims, Malaysia memiliki Domestic Violence Act 1994. Bahwa Negara harus ikut bertanggung jawab memberikan kompensasi kepada korban perkosaan, baik korban perkosaan dalam keadaan tertentu maupun dalam keadaan biasa, haruslah diatur dalam suatu aturan perundang-undangan yang merupakan hukum acara pidana, seperti yang ditunjukan oleh Negara-negara pembanding yang menjadi fokus penelitian. Dasarnya adalah meski ganti kerugian telah diatur dalam Pasal 98 KUHAP. Namun dalam banyak perkara perkosaan, para pelaku perkosaan tidak memiliki kemampuan untuk membayar ganti rugi karena harus mempertanggung jawabkan perbuatan mereka dengan menjalani hukuman pemidanaan di dalam lembaga pemasyarakatan. Hak-hak korban perkosaan, baik sebelum maupun sesudah diberlakukannya UU No. 13 Tahun 2006 tentang Saksi dan Korban, ternyata belum memperoleh perlindungan hukum yang proporsional sebagaimana yang diperoleh oleh korban perkosaan di beberapa Negara yang menjadi obyek penelitian, seperti di Inggris, Belanda, Kanada, Australia, Jepang dan Malaysia. Sudah seharusnya hak-hak korban perkosaan, baik dalam keadaan tertentu maupun dalam keadaan biasa dalam peradilan pidana memperoleh keadilan adalah meliputi seluruh hak korban sebagaimana diatur dalam Pasal 7 UU No. 13 Tahun 2006 tentang Undang-Undang Perlindungan saksi dan Korban. Meskipun UU No 13 Tahun 2006 telah berlaku, namun masih terjadi kekosongan hukum (wet vacuum) di Indonesia terhadap norma-norma pengaturan perlindungan hukum terhadap hak-hak korban perkosaan dalam keadaan biasa. Norma-norma pengaturan yang perlu di atur antara lain adalah pemberian kompensasi oleh Negara kepada semua korban perkosaan, baik dalam keadaan tertentu maupun dalam keadaan biasa untuk memperoleh restitusi dari pelaku perkosaan, dan kalau pelaku perkosaan tidak mampu membayar, maka Negara berkewajiban membayar kompensasi kepada korban perkosaan. Sebagai Negara demokrasi, kekosongan hukum tersebut tidak searah dengan negara-negara demokrasi lainnya, bahkan tidak sesuai dengan Sila ke – 2, 4 dan 5 Pancasila, yaitu Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, Kerakyatan yang dipimpin oleh Khidmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan dan Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia, sehingga kekosongan hukum tersebut perlu memperoleh prioritas utama untuk diisi, yaitu dengan menyisipkan pada ketentuan Pasal 98 KUHAP mengenai kedudukan korban perkosaan tentang wajib atau tidaknya hadir di persidangan, dan hak-hak korban perkosaan, baik dalam keadaan tertentu maupun dalam keadaan biasa untuk memperoleh restitusi atau ganti rugi dari pelaku perkosaan, dan kalau pelaku perkosaan tidak mampu membayar, maka kewajiban Negara untuk memberikan kompensasi kepada semua korban perkosaan untuk diajukan pada DPR-RI. Begitu banyak celah (loopholes) yang dapat ditemui dalam peradilan pidana di Indonesia, baik dari aspek perundang-undangan maupun ketersediaan lembaga penegak hukum seperti model Criminal Injuries Compensation Board di beberapa negara yang belum dibentuk. Pembentukan aturan hukum sebagaimana diuraikan diatas, menjadi sangat dibutuhkan jika melihat fakta kemasyarakat bahwa akses untuk memperoleh keadilan bagi para korban perkosaan dalam keadaan biasa sejauh ini belum tersedia secara memadai. Peradilan pidana di Indonesia ke depan diharapkan menerapkan juga peradilan restoratif sebagaimana layaknya Negara-negara demokrasi yang menghargai dan menghormati hak asasi manusia. Dalam banyak perkara

English Abstract

The importance of law protection to victims is not only the national issues but also the international issues. The International awareness is shown with the discussions the rights of rape victims internationally and now exists Declaration of Basic Principle of Justice of Crime and Abuse of Power by United Nations in The Seventh United Nations Congress on the Prevention of Crime and the Treatment of Offender, Milan, Italia in September 1985 and continued with the United Congress on the Prevention of Crime and the Treatment of Offenders in Wina on April 10-17 , 2000. In the new era of protection to the rights of rape victims in Indonesia, in certain condition, is regulated on UU No. 13 Year 2006 about protection to the victims and witnesses and followed by Government Rules PP No.44 Year 2008 about the giving of compensation and restitution and aids to the witness and victims. However in UU No. 13 Year 2006 and PP No 44 Year 2008, compensation is only given to the serious victims of human rights as ruled Act 7.verse 1 UU No. 13 Tahun 2006 jo Act 2. Verse 1. PP No. 44 Year 2008. The serious victims of human rights have rights to have medical aids and psycho-social rehabilitation aids based on the LPSK decree rules in act 6 UU No.13 Year 2006 jo Act 34 PP No 44 Year 2008. Even the victims, in normal condition, get the rights to propose compensation in the same time of criminal case, that is to say before the persecution read by the attorney based on the decree Act 98 KUHP. The giving of compensation by the state is only for those seriously break human rights(in certain conditions), and not for all rape victims in normal situation. It is contradictive to the rules of giving compensation and restitution recognized internationally and in some countries. Basically it is the state responsibility to give compensation to the rape victims and not only for rape victims who seriously break the human rights For example England has Criminal Injuries Compensation Act 1995, Dutch has Code of Criminal Procedure, Canada has Criminal Code and Criminal Injuries Compensation, Australia has The Victim Support and Rehabilitation 1996 and Victim Compensation Fund Japan has Basic Act in Crime Victims, Malaysia has Domestic Violence Act 1994. That state must be responsible for the compensation to rape victims, either the rape victims in certain condition or extraordinary, it must be ruled in certain laws of crime procedures as shown in some countries that become the focused attention. The foundation is although the compensation is ruled in act 98 KUHP but many rape cases, the ones who do the rapes can not pay compensation because they have to responsible for what they do and they have to be in jail. The rights of rape victims , either after or before regulation of UU No. 13 Year 2006 about witness and victims, in fact they have not got effective law protection like what has happened in other countries that become the object of study such as in England,Dutch, Canada, Australia, Japan, Malaysia. It is a must that rape victims, either in a certain condition or in common conditions, must get justice including all their rights as ruled in act 7 UU No. 13 Year 2006. Eventhogh UU No 13. Year 2006 has run, but there is still vacum law to norms of law protrection to the rapoe victims eitheer in certain or common condition. The norms that mus t be ruled are the giving of compensation to all rape victims, either in certain or normal conditions to get restitution from the rape crimes,and if the rape crimes cannot pay, the state has responsibility to give compensation to the rape victims. As a democcratic country , the vacum law is not simitric to the other democratic countries even it is not appropriate to morale Principle of Pancasila no 2,4, and 5, that is to say humanity, justice and civilized, democracy guided by the wisdom of representative deliberation, social justice for all Indonesian so the vacum law need priority to fill in such as by inserting in the act 98KUHP about the position of rape victims about it is a must or not to attend the court, and the rights of rape victims either in certain condition or in normal conditions to get comppensation from the rape crimes, and if the rape crimes can not afford to pay the compensation to all rape victims, so the state has responsibility to give compensation to all rape victims and proposed to the DPR-RI. There are so many loopholes found in Indonesian Justice either from the aspects of laws or the readiness of law enformenet institue such as a model of Criminal Injuries Compensation Board in some countries that have not been founded.The foundations of rules as excplained above, it becomes necessary to set up if it is seen from the fact that people who become the rape victims who need justice either in certain condition or normal conditions. The criminal judicature in Indonesia is expected to apply restorative judicature as other democratic countries that appreciate the human rights. In some cases of rape, either rape case in certain conditions or in common situations, compenssations and restitutions, restoration and reconciliation have important rules to cure social injury because of rapes. Scientific prooves have been shown by Japan that has successfully decrease the crimes number by applying restorative justice. By reflecting on the theories of law, the existing act, as UU No.13 2006 abou witness and victims, does not include responsive laws. Categories of laws made lately is among repressive law and autonomous laws. This kinds of law as tends to be decorative only because the law enforcement is very weak. For Democratic country like Indonesia, the suitable laws must have the responsive character.

Item Type: Thesis (Doctor)
Identification Number: DES/345.025 32/ANS/p/061103865
Subjects: 300 Social sciences > 345 Criminal law
Divisions: Fakultas Hukum > Ilmu Hukum
Depositing User: Endro Setyobudi
Date Deposited: 20 Sep 2011 09:46
Last Modified: 20 Sep 2011 09:46
URI: http://repository.ub.ac.id/id/eprint/160892
Full text not available from this repository.

Actions (login required)

View Item View Item