Formulasi Kebijakan Eksekutif Penggunaan Upaya Paksa sebagai Bentuk Diskresi Kepolisian pada Tahap Penangkapan Tersangka Tindak Pidana Terorisme

Prasetyo, Dedi (2013) Formulasi Kebijakan Eksekutif Penggunaan Upaya Paksa sebagai Bentuk Diskresi Kepolisian pada Tahap Penangkapan Tersangka Tindak Pidana Terorisme. Doctor thesis, Universitas Brawijaya.

Abstract

Tindakan penangkapan yang dilakukan terhadap tersangka tindak pidana terorisme ditentukan oleh tingkat pemahaman tentang ketentuan hukum yang berlaku dan moralitas serta SOP (standar operasional prosedur) yang telah ditentukan untuk menegakkan keadilan. Wewenang yang diberikan tidak boleh bertentangan dengan Hak Asasi Manusia (HAM), untuk menentukan ada tidaknya penyalahgunaan wewenang dalam diskresi pada tahap penangkapan adalah dengan melakukan penilaian apakah penggunaan wewenang tersebut menyimpang dari tujuan pemberi wewenang itu serta apakah penggunaan wewenang tersebut telah terjadi perbuatan sewenang-wenang ( abuse of power ), maka parameter yang dapat digunakan adalah asas rasionalitas. Sebagai pedoman atau dasar hukum bagi anggota Polri untuk melakukan tindakan diskresi Kepolisian sesuai tugas pokok dan wewenangnya tertuang dalam Pasal 18 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 yaitu: (1) Untuk kepentingan umum, Pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri; (2) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan dalam keadaan yang sangat perlu dengan memperhatikan perundang-undangan serta kode etik profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia. Selanjutnya dalam Pasal 19 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002, mempunyai wewenang sebagai berikut: (1) Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia senantiasa bertindak berdasarkan norma hukum dan mengindahkan norma agama, kesopanan, kesusilaan, serta menjunjung tinggi hak asasi manusia. (2) Dalam melaksanakan tugas dan wewenang sebagaimana dimaksud Ayat (1), Kepolisian Negara Republik Indonesia mengutamakan tindakan pencegahan. Beberapa pasal-pasal dalam Perkap Nomor 1 Tahun 2009 tersebut masih terdapat yang dikategorikan multitafsir dan belum terukur secara jelas dimana penerapan di lapangan dapat menimbulkan abuse of power . Khusus penggunaan istilah menghentikan tersangka terdapat pada Pasal 1 angka 5, Pasal5 ayat (1) huruf f, Pasal 7 ayat (1), Pasal 8 ayat (2) dan (3) yang berarti bahwa penggunaan kekuatan dapat dilakukan bila memang diperlukan dan tidak dapat dihindari berdasarkan situasi yang dihadapi untuk menghentikan tindakan tersangka. Istilah menghentikan juga terdapat dalam Perkap Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaraan Tugas Polri, khususnya dalam Pasal 47 ayat (2) huruf e. Kata menghentikan menurut kamus besar Bahasa Indonesia berarti mengakhiri, menyudahi, membuat (menyebabkan) berhenti (henti artinya keadaan tanpa gerak). Istilah menghentikan yang terdapat di dalam Perkap tersebut dapat ditafsirkan oleh petugas Polri pada saat penggunaan senjata api guna menghadapi situasi yang dinilai membahayakan keselamatan petugas atau masyarakat disekitarnya maka petugas tersebut dapat langsung menembakan senjata apinya kepada tubuh tersangka agar betul-betul dihentikan atau dimatikan. Berbeda dengan aturan penggunaan senjata api di beberapa Negara atau aturan internasional lebih menggunakan kata melumpuhkan pelaku kejahatan. istilah melumpuhkan dalam kamus besar Bahasa Indonesia berarti menyebabkan lumpuh (tidak bertenaga), tidak dapat berjalan, berfungsi lagi, kata tersebut ditafsirkan oleh petugas polisi menembak untuk melumpuhkan dengan sasaran pinggang ke bawah atau sasaran kaki pelaku kejahatan. Dalam praktek penegakan hukum terkait dengan tindakan penangkapan terorisme telah terjadi penyalahgunaan wewenang apabila tidak didasari asas rasionalitas dan tingkat pemahaman serta penerapan norma hukum yang benar kesemuanya akan berpengaruh dalam proses penegakkan hukum yang tidak dapat dipertanggung jawabkan secara moralitas dan akuntabel. Pemberian wewenang diskresi Kepolisian pada tahap penangkapan tersangka tindak pidana terorisme disesuaikan dengan tingkat ancaman dari pelaku terorisme itu sendiri, namun dalam pelaksanaannya sangat tergantung pada penilaian subyketif pihak Kepolisian. Dalam pengawasan wewenang diskresi tersebut, pelaksanaan penangkapan tersangka tindak pidana terorisme atas dasar peraturan perundang-undang dan wewenang diskresi dimungkinkan dilakukan secara vertikal, dengan cara pengawasan dari satuan atas terhadap satuan yang lebih rendah, secara struktural dan fungsional, maupun secara horisontal oleh lembaga lain dan atau masyarakat melalui Pra Peradilan atau gugatan agar tidak terjadi penyalahgunaan wewenang ( abuse of power ) diskresi kepolisian. Upaya pemberantasan tindak pidana terorisme harus dibarengi dengan adanya formulasi kebijakan eksekutif sebagai Prosedur Tetap (Protap) yang jelas, tegas dan terukur agar setiap penggunaan kekuatan dalam tindakan kepolisian khususnya senjata api oleh aparat penegak hukum khususnya Densus 88 Polri dapat dipertanggungjawabkan tetap berpedoman pada Hak Asasi Manusia, Code of Conduct for Law Enforcement Officials dan Basic Principles on the Use of Force and Firearms by law Enforcement Officials , dengan menghilangkan istilah menghentikan dalam penggunaan senjata api dan diganti istilah melumpuhkan dan memberikan variabel yang jelas tentang istilah mengancam keselamatan jiwa (norma terbuka harus dihindari guna tidak menimbulkan multi tafsir), harus menerapkan asas ` Lex Certa `: rumusanya harus pasti ( certainty ); jelas ( corcise ) dan tidak membingungkan ( unambagious ).

English Abstract

Arrest of actions that done for terrorism suspects is determined by the level of understanding of the applicable law and morality as well as the SOP (standard operating procedures) that have been determined to uphold justice. Authority granted must not conflict with the Human Rights (HAM), to determine the presence or absence of abuse of discretionary authority under arrest at this discretion is to assess whether the use of that authority to deviate from the purpose of giving that authority, and whether the use of those powers has been an arbitrary act (abuse of power), the parameters that can be used is the principle of rationality. As a guideline or legal basis for police officers to act in accordance Police discretion main duties and responsibilities set forth in Article 18 paragraph (1) and (2) of Law No. 2 of 2002, namely: (1) To the public interest, the Official of the National Police of the Republic of Indonesia in implementing the tasks and authority to act according to its own assessment; (2) Implementation of the provisions referred to in paragraph (1) may only be carried out in a state that is necessary to pay attention to the laws and profession codes of ethics Indonesian National Police. Furthermore, in Article 19 of Law No. 2 of 2002, has the authority as follows: (3) In performing its tasks and authority, the official of the Republic of Indonesia National Police always acts based on the norms of law and beautify the religious norms, decency, morality, and upholding human rights. (4) In carrying out the duties and authority as referred to paragraph (1), the Indonesian National Police prioritized preventive measures. The several articles in Perkap No. 1 of 2009 is still have the categorized ambiguous there not clearly measurable in the field where the application can create the abuse of power. Specific using of the term stop suspect there are at Article 1, item 5, article 5 paragraph (1) letter f, Article 7 paragraph (1), Article 8 paragraph (2) and (3) which means that the power consumption can be done when it is needed and can not be avoided based on the social situation to stop the suspect action. The term of stopping is also included in Perkap No. 8 of 2009 concerning Implementation of principle and Standards of Human Rights in the Duties of Police, specially for article 47 paragraph (2) letter e. The Word `stop` by the Indonesian dictionary means an end, finish, make (cause) to stop (stop means a state without motion). The term of stopping appearing in Perkap can be interpreted by the national police when they use the firearms for facing the situation that dengereous evaluated the safety of staff or surrounding community, so that the staff be able to shoot with his firearms to the suspect in order to stop or die. In contrast to the rules of using of firearms in some countries or international rules are over use of the word cripple criminals. The term of crippling in the dictionary of Indonesian means to cause paralysis (not powered), unable to walk, work again, that word is interpreted by police officers shot to paralyze the target or targets waist down evildoers feet. In the practice of law enforcement actions related to terrorism arrests have taken place if not based on abuse of power and the level of understanding of the principles of rationality and the correct application of the rule of law all of which will affect the law enforcement process that can not be justified as moral and accountable. Police discretion empowerment at phase arrest terrorism suspects adjusted to the level of the terrorist threat itself, but the implementation is very dependent on the assessment of the police subjectif. In the discretion of the supervisory authority, the implementation of the arrest of terrorism suspects on the basis of laws and legislation and possible discretionary authority carried vertically, by means of the control unit on the lower unit, structurally and functionally, as well as horizontally by other institutions and or community through Pre Courts or lawsuit to prevent the abuse of power (abuse of power) police discretion. Efforts to combat terrorism must be accompanied by the executive policy formulation Procedure (SOP) is clear, unequivocal and measurable so that any use of force in police actions especially firearms by law enforcement officials in particular can be accounted for Special Detachment 88 remain guided by the Human Rights , Code of Conduct for Law Enforcement Officials and the Basic Principles on the use of Force and firearms by law Enforcement Officials, by eliminating the term halt in the use of firearms and replaced the term disabling and providing a clear variable term life-threatening (open norm should be avoided in order not to cause multiple interpretations), have to apply the principle `Lex Certa`: The pattern should be definitely (certainty), clear (corcise) and unambiguous (unambagious).

Item Type: Thesis (Doctor)
Identification Number: DES/345.02/PRA/f/061303575
Subjects: 300 Social sciences > 345 Criminal law > 345.02 Criminal offenses
Divisions: S2/S3 > Doktor Ilmu Hukum, Fakultas Hukum
Depositing User: Endro Setyobudi
Date Deposited: 10 Jul 2013 09:18
Last Modified: 10 Jul 2013 09:18
URI: http://repository.ub.ac.id/id/eprint/160884
Full text not available from this repository.

Actions (login required)

View Item View Item