Yusa, IGede (2011) Eksistensi Kedudukan Hukum (Legal Standing) Desa Pakraman sebagai Pemohon dalam Pengujian Undang-Undang di Mahkamah Konstitusi. Doctor thesis, Universitas Brawijaya.
Abstract
Menurut sejarah pembangunan hukum di Indonesia, ada sejumlah undang-undang yang melanggar atau potensial melanggar hak konstitusional masyarakat hukum adat. Untuk melindungi hak-hak konstitusional masyarakat hukum adat maka diperlukan suatu lembaga negara yakni Mahkamah Konstitusi. Dalam pasal 51 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003, yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 Tentang Mahkamah Konstitusi, kesatuan masyarakat hukum adat dapat mengajukan permohonan pengujian undang-undang yang merugikan hak-hak konstitusional masyarakat hukum adat terhadap Undang-undang Dasar kepada Mahkamah Konstitusi. Desa Pakraman berdasarkan Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2001 tentang Desa Pakraman dirumuskan sebagai kesatuan masyarakat hukum adat yang ada di Bali. Oleh sebab itu Desa Pakraman berpotensi dapat menjadi pemohon legal standing dalam beracara di Mahkamah Konstitsi. Disertasi ini membahas tiga masalah pokok yakni dasar pertimbangan filosofis, yuridis dan sosiologis eksistensi kedudukan hukum ( legal standing ) Desa Pakraman sebagai pemohon dalam beracara di Mahkamah Konstitusi, hak-hak konstitusional Desa Pakraman yang potensial dilanggar oleh keberlakuan suatu undang-undang, prosedur hukum dalam pengujian undang-undang di Mahkamah Konstitusi oleh Desa Pakraman. Dilihat dari substansi penelitian, penelitian ini bersifat normatif yang fokus pada peraturan perundang-undangan, yurisprudensi dan nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat. Sumber bahan hukum yang digunakan meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Analisis bahan hukum dilakukan dengan sistematisasi interpretasi dan evaluasi yuridik terhadap ` legal standing ` atau kedudukan hukum Desa Pakraman dalam mengajukan pengujian undang-undang terhadap Undang-undang Dasar. Eksistensi legal standing Desa Pakraman untuk berkedudukan sebagai pemohon dalam beracara di Mahkamah Konstitusi didasarkan pada pertimbangan filosofis, yuridis dan sosiologis. Desa Pakraman terbentuk dari dasar filosofi Tri Hita Karana yang mengutamakan keseimbangan dalam hubungan manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia dan manusia dengan lingkungan. Adanya pelanggaran hak konstitusional terhadap Desa Pakraman akan mengganggu keseimbangan dalam tatanan hidup mereka sehingga legal standing Desa Pakraman sebagai pemohon menjadi suatu cara untuk mengembalikan keseimbangan yang terganggu tadi. Pengakuan Desa Pakraman sebagai kesatuan masyarakat hukum adat yang ada di Bali diatur dalam Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2001 Tentang Desa Pakraman. Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003, yang telah dirubah dengan Undang-Undang No.8 Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang dapat menjadi pemohon yakni menjadi pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang. Desa Pakraman adalah kesatuan masyarakat hukum adat yang responsif terhadap perubahan sosial sehingga eksistensi Desa Pakraman ini sejalan dengan dinamika kehidupan hukum dan ketatanegaran modern. Hak-hak Desa Pakraman yang potensial dilanggar oleh keberlakuan undang-undang adalah hak-hak konstitusional dalam ranah Parahyangan, Pawongan dan Palemahan. Pelanggaran hak konstitusional dalam ranah parahyangan yakni tertutupnya akses krama desa untuk melakukan kegiatan persembahyangan karena penguasaan tanah oleh investor untuk pembangunan di bidang properti dan pariwisata. Adanya undang-undang pornografi juga potensial berbenturan dengan kearifan lokal dan kesucian simbol-simbol agama. Pelanggaran hak konstitusional dalam ranah Pawongan timbul karena adanya ketentuan di bidang hak kekayaan intelektual yang mensyaratkan pendaftaran merek untuk mendapatkan perlindungan hukum. Dalam kondisi ini, pengusaha besar dapat saja mendaftarkan hasil kerajinan yang dibuat masyarakat hukum adat sebagai miliknya. Pemegang karya cipta yang berhubungan dengan hasil kebudayaan bukan dipegang oleh masyarakat hukum adat/Desa Pakraman atau pemerintah daerah melainkan oleh negara. Pelanggaran hak konstitusional dalam ranah Palemahan dapat dilihat pada hilangnya kesempatan masyarakat hukum adat/Desa Pakraman untuk mengakses kemanfaatan dari hasil hutan dan sumber daya alam. Negara menurut ketentuan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan memiliki kewenangan penuh atas penentuan atau pencabutan status hutan adat. Pemerintah juga mengeluarkan kebijakan dalam privatisasi air yang menyebabkan konflik perebutan air antara pihak swasta dengan subak serta potensi kerugian berupa hilangnya akses bagi masyarakat untuk menikmati air yang bersih dan murah. Prosedur pengujian undang-undang di Mahkamah Konstitusi oleh Desa Pakraman wajib memenuhi ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 yang telah dirubah dengan Undang-Undang No. 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi. Pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar dapat berupa pengujian materiil maupun pengujian formil. Untuk dapat memiliki legal standing sebagai pemohon, maka Desa Pakraman wajib membuktikan bahwa ia adalah kesatuan masyarakat hukum adat yang memenuhi unsur-unsur berikut yakni masih hidup, sesuai dengan perkembangan masyarakat, sesuai dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia dan pengaturannya berdasarkan undang-undang. Desa Pakraman sebagai pemohon wajib menguraikan hak konstitusional yang dirugikan akibat berlakunya suatu undang-undang. Dalam hal berkedudukan sebagai pemohon, Desa Pakraman dapat diwakili oleh pimpinan Desa Pakraman ( klian Desa Pakraman/ bendesa Desa Pakraman).
English Abstract
According of history of the legal development in Indonesia, there are a number of laws that violate or potentially violate the constitutional rights of indigenous peoples. To protect the constitutional rights of customary law community will require a state agency such as the Constitutional Court. In Article 51 of the Law Number 24 of 2003 concerning Constitutional Court, customary law community may file a petition for laws that harm the constitutional rights of indigenous people against the Constitution to the Constitutional Court. In the Bali Provincial Local Regulation Number 3 of 2001 concerning Pakraman Village that the Pakraman Village formulated as a customary law community that is one of indigenous people in Bali. Therefore Pakraman Village has legal standing in the proceedings in the Constitutional Court. This dissertation was addressed to three main issues namely the basic consideration of philosophical, juridical and sociological of the existence Pakraman Village as legal standing the applicant in the Constitutional Court, Constitutional Rights`s proceedings are potentially violated by the enforceability of a law and legal procedures in examination the law in the Constitutional Court. Based on the substances of research, this study was focused on normative legal research, jurisprudence and legal values that live in the community. Sources of legal materials used include primary secondary and tertiary legal materials. Analysis of legal materials is done by systematizing, interpretation and juridical evaluation of the legal standing Balinese customary law community (Pakraman Village) in the proposed testing laws against the Constitution. Existence of legal standing for Pakraman Village serves as the applicant in the proceedings in the Constitutional Court based on philosophical considerations, juridical and sociological. Pakraman Village recognition as customary law community unit in Bali regulated in the Bali Provincial Local Regulation of Number 3 of 2001 concerning Pakraman Village. Under the provisions of Article 51 paragraph (1) of the Law Number 24 of 2003, has been changed by the new Law Number 8 of 2011 concerning Constitutional Court, customary law community unit along the still life in accordance with the development community and the principle of the Unitary Republic of Indonesia as regulated in the law can be an applicant that is a party who considers rights and/or authorities are impaired by the enactment of constitutional legislation. Pakraman Village is customary law community unit which is responsive to social change so that the existence Pakraman Village is in line with legal and constitutional dynamics of modern life. The rights of potential Pakraman Village violated by the enforceability of law is constitutional rights in the realm of Parahyangan, Pawongan and Palemahan. Violation of constitutional rights in the domain of the closed-access Parahyangan manners village to conduct prayers for control of land by investors for development in the field of property and tourism. The existence of pornography law is also a potential clash with local wisdom and the sanctity of religious symbols. Violation of constitutional rights in the realm of Pawongan arises because of the provisions in the field of intellectual property rights that would require registration of the brand to get legal protection. In this condition, large employers may have to register the craft that made indigenous people as his own. Holders of the copyrighted work associated with the culture rather than held by customary law community or local government, but by the state. Violation of constitutional rights in the realm of Palemahan can be seen in the loss of indigenous people opportunity to access the benefits of forest and natural resources. State under the provisions of the Law Number 41 of 1999 concerning Forestry has full authority over the determination or revocation of the status of indigenous forests. The government also issued a policy on privatization of water which causes the water conflict between the private sector struggles with the subak and the potential loss of people to enjoy clean water and inexpensive. The procedure of yudicial review in the Constitutional Court by the Pakraman Village must meet the provisions of the Law Number 24 of 2003, has been changed by the new Law Number 8 of 2011 concerning Constitutional Court. Examination the law of the Constitution may be done on material and formal exam. To be able to have legal standing as an applicant, the Pakraman Village must prove that it is a customary law community unit that meets the following elements that are still live, in accordance with the development of society, in accordance with the principles of the Unitary Republic of Indonesia and the settings under the legislation. Pakraman Village as the applicant shall describe the constitutional rights of the aggrieved due to the enactment of a law. In the case of a resident as an applicant, the Pakraman Village may be represented by the leaders of Pakraman Village ( Klian of Pakraman Village/ Bendesa of Pakraman Village).
Item Type: | Thesis (Doctor) |
---|---|
Identification Number: | DES/340.56/YUS/e/061200802 |
Subjects: | 300 Social sciences > 340 Law > 340.5 Legal systems |
Divisions: | S2/S3 > Doktor Ilmu Hukum, Fakultas Hukum |
Depositing User: | Endro Setyobudi |
Date Deposited: | 13 Feb 2013 09:05 |
Last Modified: | 13 Feb 2013 09:05 |
URI: | http://repository.ub.ac.id/id/eprint/160825 |
Actions (login required)
![]() |
View Item |