Wirawan, IKetut (2012) Pengakuan dan Penghormatan terhadap Kesatuan Masyarakat Hukum Adat (Penyelenggaraan Desa Pakraman dalam Sistem Pemerintahan Desa). Doctor thesis, Universitas Brawijaya.
Abstract
Soepomo, dalam Sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) tanggal 31 Mei 1945, ketika membahas tentang ide dasar negara (staatsidee) menyatakan bahwa dasar dan bentuk susunan dari suatu negara itu berhubungan erat dengan riwayat hukum ( rechtsgechichte ) dan lembaga sosial ( sociale structuur ) dari negara itu. Tiap-tiap negara mempunyai keistimewaan sendiri-sendiri berhubungan dengan riwayat dan corak masyarakatnya. Bentuk negara Indonesia harus disesuaikan dengan struktur sosial masyarakat Indonesia. Struktur sosial masyarakat Indonesia yang asli, yang merupakan ciptaan dari kebudayaan Indonesia dan sesuai dengan aliran pikiran dan semangat kebathinan bangsa Indonesia adalah struktur ‘desa`. Desa yang dimaksud adalah desa asli, yaitu desa yang tumbuh dan berkembang dalam kehidupan masyarakat asli Indonesia. Telah disadari oleh the founding fathers dalam penyusunan konstitusi RI, bahwa eksistensi dan peranan desa adalah sangat fital dalam kehidupan di Indonesia. Oleh karenanya oleh Soepomo pernah dinyatakan tentang perlunya menggunakan desa sebagai model dalam menyusun sistem pemerintahan di Indonesia, karena pimpinan harus bersatu jiwa dengan rakyatnya seperti tradisi dalam pemerintahan desa pada masa itu. Juga dikehendaki diakuinya otonomi desa dalam sistem ketatanegaraan sebagai wujud kedaulatan rakyat. Gagasan ini berkembang dalam proses penyusunan UUD 1945 dan termuat dalam angka II penjelasan Pasal 18 UUD 1945, dan terserap dalam Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 (setelah perubahan). Dengan latar belakang sebagaimana disebutkan maka ditetapkan Judul Penelitian yakni: Pengakuan dan Penghormatan Terhadap Kesatuan Masyarakat Hukum Adat (Penyelenggaraan Desa Pakraman dalam Sistem Pemerintahan Desa) . Adapun permasalahan yang diajukan adalah: (1) Apakah pengaturan tentang pemerintahan desa telah sesuai dengan politik hukum sebagaimana diamanatkan UUD 1945; (2) Mengapa Desa Pakraman sebagai kesatuan masyarakat hukum adat masih tetap dapat berdampingan dengan Desa Dinas dalam penyelenggaraan pemerintahan desa. Dari penelitian yang dilakukan maka dapat ditemukan hal-hal yang merupakan hasil dari penelitian, sebagai berikut: Dapat ditemukan bahwa pengaturan tentang desa yang tertuang di dalam undang-undang yang menyangkut pengertian, kedudukan (posisi), dan kewenangan desa dengan supra desa selalu berubah-ubah (tidak pernah konsisten) dengan ketentuan Pasal 18 UUD 1945 (sebelum perubahan) dan Pasal 18B UUD 1945 (setelah perubahan). Hal ini dapat dilihat pada pengaturan yang menyangkut desa sebagaimana yang ada dalam UU No. 22 Tahun 1948 tentang Pemerintahan Daerah; UU No. 1 Tahun 1957 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah; UU No. 19 Tahun 1965 tentang Desapraja; UU No. 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa; UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah; dan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Akibat ketidak konsistenan itu (terutama dengan penyeragaman desa oleh UU No. 5 Tahun 1979), membawa implikasi pada hancurnya kehidupan politik, hukum, ekonomi, dan sosial budaya di desa. Hal ini tampak pada hilangnya basis sosial (kepemimpinan, pranata sosial, dan lembaga-lembaga adat) seperti pada desa di Jawa, nagari di Minangkabau, dusun dan marga di Palembang, serta di daerah-daerah lainnya. Berbeda halnya dengan yang berlangsung di Bali. Desa dengan sistem pemerintahannya yang asli masih tetap eksis berdampingan dengan desa bentukan pemerintah, sebagaimana yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Desa dengan sistem pemerintahan yang asli disebut Desa Pakraman (sebelumnya Desa Adat), dan desa sebagai bagian dari sistem pemerintahan yang terbawah disebut Desa Dinas. Desa Pakraman bersama Desa Dinas melakukan pengaturan dan pengurusan terhadap warga yang sama, dan dalam wilayah hukum (yurisdiksi) yang sama pula, dengan fungsi masing-masing yang berbeda. Desa Pakraman melakukan pengaturan dan pengurusan dalam penyelenggaraan adat dan agama, sedangkan Desa Dinas melaksanakan penyelenggaraan administrasi pemerintahan yang terbawah. Desa Pakraman inilah yang dimaksudkan sebagai ‘kesatuan masyarakat hukum adat` yang mendapat pengakuan dan penghormatan negara sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 18B ayat (2) UUD 1945. Ditemukan pula bahwa pengaturan desa dalam peraturan perundang-undangan yang ada maupun yang pernah ada, ternyata tidak konsisten dengan politik hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 UUD 1945. Ketidak konsistenan ini tampak pada ketidak tegasan semangat konsep desa yang dianutnya, yakni apakah desa diposisikan sebagai self governing community (pemerintahan sendiri yang berbasis komunitas) ataukah sebagai local-self government (desentralisasi). Di Bali kedua bentuk ini ada dan dapat berjalan bersama, yakni Desa sebagai self governing community ada pada Desa Pakraman dan desa sebagai local-self government ada pada Desa Dinas. Dapat tetap eksisnya Desa Pakraman berdampingan dengan Desa Dinas dalam penyelenggaraan pemerintahan desa disebabkan karena penyelenggaraan desa adalah juga merupakan penyelenggaraan ajaran agama (Hindu di Bali) yang berdasar pada filosofi Tri Murti dan Tri Hita Karana dalam menuju Moksartham Jagathita ya ca iti Dharma .
English Abstract
Soepomo, in the meeting of Investigation Agency of the Preparation of Indonesian Independence (BPUPKI) on May 31, 1945, when discussing about the basic idea of the state (staatsidee) mentioned that the foundation and the structure of a country is closely connected with the history of law (rechtsgechichte) and social institutions (sociale structuur) of the country. Each country has its own peculiarity, associated with the history and style of its community. The form of the state of Indonesia must be adapted to the social structure of Indonesian society. The origin of Indonesian social structure, which is created from Indonesian culture and in line with the mind and spirit of the nation of Indonesia, is the structure of ‘Desa` (village). The village in question is an indigenous village, which is the village, grows and develops in the life of the indigenous people of Indonesia. During the drafting of the Constitution of the Republic of Indonesia, the Indonesian founding fathers have realized that the existence and the role of the village is very vital in the life of Indonesia. Therefore, Soepomo mentioned about the need to use the village as a model in developing the system of government in Indonesia, because the leaders should unite the soul with people, as like the tradition by the village administration in those days. It was also desired the recognition of village autonomy in the constitutional system as a form of people sovereignty. This idea is developed in the process of drafting the 1945 Constitution and is included in the item II of the elucidation of Article 18 of the 1945 Constitution, and absorbed in the Article 18B paragraph (2) 1945 Constitution (after amendment). Based on aforementioned background, it is determined Research Title, namely: The Recognition and the Respect of Traditional Community (The existence of Desa Pakraman in the Village Administration System in Bali) . The juridical problems in this research are: (1) Is the regulation on village government in accordance with the politics of law as mandated by the 1945 constitution, (2) Why does the Desa Pakraman as traditional community can still coexist with the Desa Dinas in the performance of village administration. From research that has been conducted, it can be found several things, as follows: It can be found that the regulation of the village as stipulated in the legislation concerning the definition, the position, and the authority of village with supra desa always changing (never consistent) with the Article 18 of the 1945 Constitution (before amendment), and Article 18B of the 1945 Constitution (after amendment). This concern can be seen in the regulation concerning the village as it existed in the Law No. 22 Year 1948 concerning the Local Government; Law No. 1 Year 1957 concerning the Principles of Local Government; Law No. 19 Year 1965 concerning Desapraja; Law No. 5 Year 1979 concerning the Village Administration; Law No. 22 Year 1999 concerning Local Government; and Law No. 32 Year 2004 concerning Local Government. Those inconsistencies (especially the uniformity of village by Law No. 5 Year 1979), have implications for the destruction of the political, legal, economic, and socio-culture lives in the village. It can be indicated by the loss of the social basis (leadership, social institutions, and adat institutions) as in Desa in Java, Nagari in Minangkabau, Dusun and Marga in Palembang, as well as in other areas. It is different with the practice in Bali. Village with the original system of government that still exists side by side with the village which formed by the government, as stipulated in the legislation. Village with the original system of government is called as Desa Pakraman (formerly Desa Adat), and the village as the lowest system of state government is called as Desa Dinas. Desa Pakraman and Desa Dinas make arrangements and the management of the same people in the same territorial jurisdiction, but have different functions. Desa Pakraman makes arrangement and management of the implementation of custom and religion, while the Desa Dinas carries out the lowest administration of state government. Desa Pakraman is actually what`s referred to as `kesatuan masyarakat hukum adat` (traditional community) which is recognized and respected by the state, according to Article 18B paragraph (2) of the 1945 Constitution. It was also found that the regulation on the village in the existing or ever existed legislations were not consistent with the politics of law referred to in Article 18 of the 1945 Constitution. This inconsistency can be seen on the vague of spirit of the concept of village that was followed, ie, whether the village is positioned as a self-governing community or as a local-self government (decentralization). In Bali, these two forms exist and can be run together, ie village as a self-governing community on the Desa Pakraman and villages as local self-government on the Desa Dinas. The existence of Desa Pakraman alongside the Desa Dinas in the village governance is caused by the implementation of the village is also the implementation of the religious value (Hinduism in Bali) which based on the philosophies of Tri Murti and Tri Hita Karana towards Moksartham Jagathita ya ca iti Dharma .
Item Type: | Thesis (Doctor) |
---|---|
Identification Number: | DES/340.56/WIR/p/061201710 |
Subjects: | 300 Social sciences > 340 Law > 340.5 Legal systems |
Divisions: | S2/S3 > Doktor Ilmu Hukum, Fakultas Hukum |
Depositing User: | Endro Setyobudi |
Date Deposited: | 01 Oct 2012 15:33 |
Last Modified: | 01 Oct 2012 15:33 |
URI: | http://repository.ub.ac.id/id/eprint/160824 |
Actions (login required)
![]() |
View Item |