Sudantra, I Ketut (2013) Pengakuan Peradilan Adat dalam Politik Hukum Kekuasaan Kehakiman. Doktor thesis, Universitas Brawijaya.
Abstract
Disertasi ini berjudul `Pengakuan Peradilan Adat dalam Politik Hukum Kekuasaan Kehakiman`, yang membahas 3 (tiga) masalah, yakni: apa hakikat peradilan adat menurut sistem hukum Indonesia?; (2) bagaimana dinamika pengakuan peradilan adat dalam politik hukum kekuasan kehakiman?, serta (3) apa relevansi pengakuan peradilan adat dalam politik hukum kekuasaan kehakiman? Penelitian ketiga masalah tersebut menggunakan tipologi penelitian hukum normatif dengan pendekatan undang-undang, pendekatan historis, dan futurstik hukum. Sebagai kerangka teoritik dalam penelitian ini digunakan teori pluralisme hukum, teori otonomi kesatuan masyarakat hukum adat, teori politik hukum, dan teori cita hukum. Adapun hasil penelitian ini adalah sebagai berikut. Pertama , hakikat peradilan adat menurut sistem hukum di Indonesia adalah suatu sistem peradilan berdasarkan hukum adat, yang hidup dalam kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat, berwenang mengadili perkara-perkara adat antara warga yang terjadi di lingkungan kesatuan masyarakat hukum adat yang bersangkutan. Struktur, mekanisme, dan hukum yang digunakan oleh peradilan adat dalam memeriksa dan mengadili suatu perkara adalah berdasarkan pada hukum adat setempat dan sesuai dengan kondisi kesatuan masyarakat hukum adat masing-masing. Kedua , dinamika pengakuan peradilan adat dalam politik hukum kekuasaan kehakiman di Indonesia berjalan seiring dan bersangkutpaut dengan dinamika sejarah perkembangan politik, hukum, dan pemerintahan sejak jaman sebelum kemerdekaan sampai saat ini. Hal ini tidak lepas dari realita bahwa politik hukum – termasuk politik hukum kekuasaan kehakiman – dipengaruhi oleh konfigurasi politik yang berlangsung. Berdasarkan kajian historis dapat diketahui bahwa pada jaman Hindia Belanda diakui dua bentuk peradilan yang berlaku bagi penduduk golongan pribumi dan mengadili berdasarkan hukum adat, yaitu (1) peradilan pribumi atau peradilan adat ( inheemsche rechtsspraak ) –sebagai sandingan dari peradilan bagi penduduk golongan Eropa, yaitu peradilan gubernemen ( gouvernements-rechtspraak )– dan (2) peradilan desa ( dorpjustitie ), yang dilakukan oleh hakim-hakim masyarakat-masyarakat kecil (hakim desa). Pengakuan terhadap eksistensi peradilan adat masih dilanjutkan pada jaman pendudukan Jepang dan di masa-masa awal kemerdekaan Republik Indonesia, tetapi sejak 1951 keberadaan peradilan pribumi/adat ( inheemsche rechtsspraak ) dihapuskan secara berangsur-angsur namun tanpa mengurangi kewenangan-kewenangan dari peradilan desa. Selanjutnya pengakuan terhadap peradilan adat dalam rangkaian undang-undang kekuasan kehakiman yang berlaku sejak itu mengalami pasang surut, ada yang secara tegas tidak mengakui dan sama sekali tidak memperkenankan lagi praktek-praktek peradilan adat (Undang-undang Kekuasaan Kehakiman 1964 dan 1970), ada yang masih memberinya peluang (Undang-undang Kekuasaan kehakiman 2004), dan ada pula yang bersikap tidak jelas terhadap posisi peradilan adat (Undang-undang Kekuasaan Kehakiman 2009). Menariknya, keberadaan peradilan adat justru diakui dalam Undang-undang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua (Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001), sehingga saat ini terjadi inkonsistensi dalam peraturan perundang-undangan RI terkait dengan pengakuan terhadap peradilan adat. Ke depan, politik hukum nasional tampaknya mengapresiasi dan mengakomodasi pengakuan terhadap peradilan adat melalui undang-undang yang mengatur kesatuan masyarakat hukum adat, bukan melalui undang-undang yang mengatur kekuasaan kehakiman, sebagaimana tampak dari substansi rancangan undang-undang yang telah disiapkan oleh Panitia Ad. Hoc. I DPD-RI (2009) dan juga yang disiapkan oleh Badan Legislasi DPR-RI (2012) yang sudah masuk dalam program legislasi nasional (prolegnas). Ketiga , relevansi pengakuan peradilan adat dalam politik hukum kekuasaan kehakiman dapat ditinjau dalam tiga perspektif. Pertama , dari perspektif politik pembangunan hukum nasional pengakuan terhadap peradilan adat dalam politik hukum kekuasan kehakiman sangat relevan karena: (1) merupakan langkah sinkoronisasi politik hukum messo terkait dengan pengakuan terhadap peradilan adat; (2) untuk mewujudkan paradigma pembangunan hukum yang bernuansa legal pulralism (pluralisme hukum). Kedua , pengakuan peradilan adat dalam politik hukum kekuasaan kehakiman sangat relevan dalam mewujudkan pengakuan terhadap hak-hak kesatuan masyarakat hukum adat sebagaimana diamanatkan pasal 18B ayat (2) dan Pasal 28I ayat (3) UUD 1945. Terakhir , pengakuan terhadap peradilan adat sangat relevan untuk mewujudkan cita hukum, karena dalam peradilan adat terkandung nilai-nilai luhur dalam penyelesaian perkara yang menjadi cita-cita masyarakat dalam berhukum yang sangat penting diwujudkan dalam politik hukum kekuasaan kehakiman. Pengakuan terhadap peradilan adat dalam politik hukum kekuasaan kehakiman juga sangat relevan untuk menguatkan peradilan adat dalam rangka mewujudkan tiga aspek cita hukum, yakni keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum bagi masyarakat, terutama masyarakat hukum adat, baik sebagai kesatuan maupun secara individual sebagai warga kesatuan masyarakat hukum adat. Berdasarkan temuan penelitian, akkhirnya direkomendasikan agar Pemerintah Indonesia bersama Dewan Perwakilan Rakyar Republik Indonesia segera mengambil langkah-langkah (1) mewujudkan undang-undang yang mengatur tentang kesatuan masyarakat hukum adat di mana di dalamnya diatur pengakuan hak-hak kesatuan masyarakat hukum adat termasuk hak kesatuan masyarakat hukum adat dalam melaksanakan sistem peradilan sendiri (peradilan adat); (2) merevisi Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman agar mengakomodasi pengakuan terhadap peradilan adat.
English Abstract
The dissertation titled `Customary Judicature Recognition in The Judicial Power Legal Politic`, discussed 3 (three) problems, that is: what is the essence of customary judicature according to Indonesian legal system?; (2) how the dynamic of customary judicature recognition in the Judicial Power Legal Politic? And (3) what is the relevance of customary judicature recognition with the Judicial Power Legal Politic? The research to the three problems used normative legal research with law approach, historical approach, and legal futuristic. As the theoretical framework of the research, it used legal pluralism, autonomy theory of customary legal society unit, legal political theory, and legal sentiment theory. While the results as follows: First, the customary judicature essence according Indonesian legal system is a judicature system based on custom law that lives in the societal unit of custom law, has authority to administer justice the custom cases among citizen that occurred at the societal unit environment of custom law. The used structure, mechanism, and law by the custom judicature in examining and administering justice a certain case based on local customary law and suitable with the custom law societal unit. Second, the dynamic of the customary judicature in the judicial power in Indonesia run along with and related with the historical dynamic of political, legal, and governmental development since before independence to now. It is not separated from the reality that the legal politic – including the judicial power legal politic – was influenced by the prevailing political configuration. Based on historical investigation, it was known that during the West Indies recognized two judicature systems for native groups and administer justice based on customary judicature, that was (1) native judicature (inheemsche rechtsspraak) – as addition for judicature for European groups, that is guberemen (gouvernement-rechtspraak) and (2) rural judicature (dorpjustitie), done by small societies (rural judge). Recognition to the customary judicature existence still be continued during the Japan invasion and during the beginning of independence of Indonesian Republic, but since 1951 the customary judicature existence (inheemsche rechtssprak) was removed gradually but without reduce the authorities of rural judicature. Then the recognition to customary judicature in the laws of judicial power that prevailed since the time experienced tide, sometimes firmly recognized and sometimes do not permit the prevail of customary judicature (Judicial Power Law 1964 and 1970), and still give opportunities (Judicial Power Law 2004), and sometimes not clear attitude to the position of customary judicature (Judicial Power Law 2009). The interesting one is the presence of customary judicature was recognized in the Special Autonomy Law for Papua Province (Law No 21 Year 2001), so today there is inconsistence in the law and regulation in the Indonesian Republic related with the recognition to the customary judicature. In the future, national legal politic will appreciate and accommodate the customary judicature through the law that regulate the customary legal societal unit, not through law that regulate the judicial power, as seen in the substances of bill that have been prepared by ad hoc committee I of DPD-RI (2009) and also have been prepared by Legislative Body of DPR-RI (2012) that has entered in the national legislation program. Third, the relevance of customary judicature recognition in the judicial power legal politic can be seen from three perspectives. First, from judicial power legal politic perspective, the recognition to the customary judicature is relevant because (1) as the synchronization step to legal messo relate with customary judicature, (2) to embody the legal development paradigm with legal pluralism nuance. Second perspective, the recognition is relevant in embodying the recognition to the customary legal societal unit as mandated in the article 18B subsection (2) and article 281 subsection (3) of Constitution 1945. Finally, the recognition is relevant to embody the legal sentiment, because in the customary judicature contained noble values in solving cases as the aspiration of the societies in law making that is important to be embodied into judicial power legal politic. The recognition also relevant to embody the three aspect of legal sentiment, that is justice, benefit, and legal certainty for society, especially the customary legal society, either as unit or individually as the citizen of customary law. Based on the results, then it is recommended for Indonesian Government together with Indonesian Legislative Assembly to take steps to (1) embody the law that regulate the unity of customary legal society where in its recognize the customary legal society unit rights including their right in implementing the customary judicature (2) revise the Law No 48 Year 2009 about Judicial Power to accommodate the recognition to the customary judicature.
Item Type: | Thesis (Doktor) |
---|---|
Identification Number: | DES/340.5/SUD/p/061305150 |
Subjects: | 300 Social sciences > 340 Law > 340.5 Legal systems |
Divisions: | S2/S3 > Doktor Ilmu Hukum, Fakultas Hukum |
Depositing User: | Endro Setyobudi |
Date Deposited: | 19 Jul 2013 15:59 |
Last Modified: | 09 Aug 2024 03:53 |
URI: | http://repository.ub.ac.id/id/eprint/160820 |
![]() |
Text (DALAM MASA EMBARGO)
061305150.pdf Restricted to Repository staff only until 30 December 2025. Download (3MB) |
Actions (login required)
![]() |
View Item |