Dakhoir, Ahmad (2014) Konstruksi Hukum Pengaturan Kelembagaan Pengelolaan Zakat Terintegrasi dalam Fungsi Sosial Perbankan Syariah. Doctor thesis, Universitas Brawijaya.
Abstract
Mengelola zakat bukanlah hal yang mudah. Berbagai upaya telah dilakukan, mulai pembentukan kelembagaan zakat masyarakat seperti zakat langsung (zakat individu), yayasan, pesantren, masjid dan LAZ, kelembagaan yang dibentuk Pemerintah (BAZNAS), hingga perbankan syariah. Namun, sejak Indonesia merdeka hingga legislasi zakat pada tahun 1999, eksistensi tiga model kelembagaan tersebut, hanya mampu mendayagunakan zakat sebesar Rp. 4 triliun pertahun 2012 (LAZ 1,8 triliun, BAZNAS 2,1 triliun, dan 0,8 triliun) dari Rp. 217 triliun potensi zakat nasional. Salah satu terobosan guna menyelesaikan masalah tersebut yaitu dengan melakukan pengaturan kelembagaan pengelolaan zakat terintegrasi (fungsi pendayagunaan, fungsi pengelolaan lintas kementerian yang meliputi penghimpunan-proses-penyaluran, dan fungsi pengawasan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Majelis Ulama` Indonesia (MUI)) dalam sebuah modivikasi wadah yakni fungsi sosial perbankan syariah. Eksistensi perbankan syariah yang memiliki fungsi sosial inilah yang digadang-gadang dapat menjadi embrio kelembagaan pengelolaan zakat masa depan yang modern, terpercaya, akuntabel, efektif, efisien, rapi, dan terawasi. Namun, keberadaan fungsi sosial perbankan syariah tidak memiliki dasar hukum yang kuat dalam Pasal 4 ayat (2) Undang-undang Nomor 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. Pasal 4 ayat (2) Undang-undang Nomor 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah menyatakan: (2). Bank Syariah dan UUS dapat menjalankan fungsi sosial dalam bentuk lembaga bait al-mal, yaitu menerima dana yang berasal dari zakat, infaq, sedekah, hibah, atau dana sosial lainnya dan menyalurkannya kepada organisasi pengelola zakat . Perluasan fungsi sosial perbankan syariah sebagai lembaga bait al-mal , merupakan amanah dan refleksi keberpihakan institusi keuangan syariah dan pemerintah yang bertujuan untuk menjamin terjadinya aliran kekayaan dari kelompok kaya ( muzakki ) kepada kelompok yang berhak menerima ( mustahiq ) dan untuk kemaslahatan umum lainnya. Harapan besar terhadap peran dan fungsi sosial perbankan syariah yang dicita-citakan tersebut menjadi sia-sia ketika perbankan syariah hanya mempunyai fungsi tambahan dalam mengelola dana sosial umat. Fungsi tambahan perbankan syariah terlihat jelas ketika Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) Undang-undang Nomor 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah hanya menyebutkan frase `dapat` dalam menjalankan fungsi sosial yaitu sebagai lembaga bait al-mal yang bertugas menerima dan menyalurkan dana sosial umat seperti zakat dan lain-lain. Frase `dapat` dalam Pasal 4 ayat (2) Undang-undang Nomor 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah menyebabkan perbankan syariah tidak memiliki kekuatan untuk memungut atau menghimpun dana sosial umat dan mengelolanya. Penggunaan frase `dapat` memberi kesan sumir bahwa tugas perbankan syariah dalam mengelola zakat hanya bersifat pasif, fakultatif dan sukarela. Yang dimaksud bersifat pasif, fakultatif dan sukarela berarti perbankan syariah tidak memiliki otoritas untuk bergerak memungut dana sosial. Perbankan syariah hanya menunggu dan menerima dana sosial ketika nasabah ingin menunaikan zakat dan lain-lain. Hal ini jauh berbeda jika dibandingkan dengan fungsi pokok perbankan syariah sebagaimana Pasal 4 ayat (1) Undang-undang Nomor 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah yang menyatakan: (1). Bank Syariah dan UUS wajib menjalankan fungsi menghimpun dan menyalurkan dana masyarakat . Pasal 4 ayat (1) Undang-undang Nomor 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah sebagaimana tersebut, menggunakan frase `wajib` dalam menjalankan fungsi intermediasi dana masyarakat. Implikasi frase `wajib` menyebabkan perbankan syariah memiliki otoritas atau kewenangan penuh untuk aktif bergerak, menghimpun dan menyalurkan dana masyarakat. Pengaturan fungsi sosial perbankan syariah yang bersifat pasif, fakultatif dan sukarela dilatari oleh bentuk hukum dari perbankan syariah adalah badan hukum Perseroan Terbatas. Secara teoretis, problem pengelolaan zakat melalui fungsi sosial perbankan syariah disebabkan bentuk hukum perusahaan mensyaratkan pada basis orientasi keuntungan profit-bisnis. Ketika dikaitkan dengan pengelolaan zakat, maka perbankan syariah yang berbadan hukum perusahaan Perseroan Terbatas akan menyebabkan disorientasi. Oleh sebab itu, fungsi sosial perbankan syariah diletakkan sebagai fungsi tambahan yang bersifat pasif, fakultatif dan sukarela sebagaimana penggunaan frase `dapat` dalam Pasal 4 ayat (2) Undang-undang Nomor 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. Kedudukan dan otoritas perbankan syariah dalam mengelola zakat ke depan tentu akan lebih baik jika diwacanakan memiliki fungsi pokok yang khusus dalam mengelola dana sosial zakat, tanpa membebani fungsi pokok intermediasi yang berorientasi profit-bisnis. Pertimbangan lain perlunya pengkhususan fungsi perbankan syariah dalam mengelola zakat karena potensi dana sosial umat islam di Indonesia sangat melipah ruah dan dapat dimanfaatkan untuk kemaslahatan mustahiq dan kemaslahatan umum lainnya. Selain masalah di atas, konstruksi hukum pengaturan kelembagaan pengelolaan zakat melalui perbankan syariah memperlihatkan adanya kekosongan norma yang disebabkan tidak diakomodasinya Perbankan Syariah sebagai mitra BAZNAS dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 tahun 2011 tentang pengelolaan Zakat. Masalah pengelolaan zakat secara sosiologis masih adanya kesulitan dalam menjaring harta zakat, masalah kepercayaan masyarakat terhadap lembaga-lembaga pengelola zakat, rendahnya budaya sadar zakat, dan masih menguatnya pelaksanaan zakat secara langsung sehingga menimbulkan potensi kerawanan sosial, ekonomi dan hukum. Sedangkan problem politis dalam kelembagaan pengelolaan zakat melalui perbankan syariah bahwa pembentukan asas norma kelembagaan pengelolaan zakat melalui fungsi perbankan syariah masih mengakomodasi politik hukum ekonomi berparadigma pengelolaan zakat kons
English Abstract
Managing zakat is not easy. Various attempts have been made, from the establishment of public institutions such as direct zakat (individually), foundations, Islamic boarding schools, mosques and LAZ, institutions formed by government (BAZNAS), and Islamic banking. However, since Indonesia s independence legislation to in 1999, the existence of these three institutional models, only able to utilize amounted to Rp. 4 billion year in 2012 (LAZ 1.8 billion, BAZNAS 2.1 billion and 0.8 billion) of Rp. 217 billion potential national. One of the break throughs to resolve the problem is to perform an integrated institutional arrangements of zakat management (utilization functions, management functions across ministries which include the collection-process-distribution, and functions of supervision by the Financial Services Authority (OJK), the Supreme Audit Agency (BPK), Center Financial Transaction Reports and Analysis Center (PPATK), Council of Ulama Indonesia (MUI)) in a container modification that social functions of Islamic banking. The existence of Islamic banking which has a social function that is predicted here can be an embryo of zakat management institutional future in this modern time, reliable, accountable, effective, efficient, neat, and unsupervised. However, the existence of the social function of Islamic banking does not have a strong legal basis in Article 4 paragraph (2) of Act Number 21 of 2008 on Islamic Banking. Article 4 paragraph (2) of Act Number 21 of 2008 concerning Banking Sharia states: (2). Islamic Banking and (UUS) can perform a social function in the form of bait al-mal institutions, which receive funds from zakat, infaq, charity, donation, or other social funds and distribute it to organization`s zakat . The expansion of the social function of Islamic banking as an institution of bait al-mal , is a reflection of the trust and favor of Islamic financial institutions and governments that aims to ensure the flow of wealth from the rich ( muzakki ) to the group who are entitled to receive ( mustahiq ) and the other for the common good. Great expectations on the role of Islamic banking and social functions that are aspired to be in vain when the only Islamic banking has additional functions in managing social fund in community. Additional functions of Islamic banking is clearly visible when Article 4 paragraph (2) and paragraph (3) of Act Number 21 of 2008 concerning Islamic Banking only mentions the phrase `may` in the social function as bait al-mal institutions in charge of receiving and distributing social funds of the people like charity and others. The phrase `may` in Article 4 paragraph (2) of Act Number 21 of 2008 on the of Islamic Banking causes Islamic banking does not have the power to levy or collect funds and manage social funds. The use of the phrase `may` gives the impression that the summary task of Islamic banking is only managing the zakat which is passive, facultative and voluntary. The meaning of passive, facultative and voluntary means Islamic banking does not have the authority to engaged in the social fund to levy them. Islamic banking is only to wait and receive social funds when the customer wants to give charity and others. It is much different when compared with the basic functions of sharia banking as Article 4 paragraph (1) of Act Number 21 of 2008 on Islamic Banking which states: ( 1). Islamic Banking and UUS required to perform the function of collecting and distributing public funds . Article 4 paragraph (1) of Act Number 21 of 2008 concerning Islamic Banking as such, using the phrase `mandatory` in the intermediation function of public funds. Implications of the phrase `mandatory` causes Islamic banking has led to the authority or full authority to actively engaged, collecting and distributing public funds. Management in the social functioning of sharia banking arrangements which are passive, facultative and voluntary backed by legal form of sharia banking is a legal entity Limited Liability Company. In theory, the problem of the management of zakat through social functions due to the shape of Islamic banking law that requires the company on the basis of profit-oriented business. When associated with the management of zakat, the Islamic banking corporate legal entity Limited Liability Company will cause disorientation. Therefore, of social function of Islamic banking is put as an additional function which is passive, facultative and voluntary as the use of the phrase `may` in Article 4 paragraph (2) of Act Number 21 of 2008 on Islamic Banking. The status and authority of Islamic banking in managing zakat in the future it would be better if the discourse has a main function that specialized in managing of social fund charity, without burdening the main functions of the intermediary profit-oriented business. Another consideration the need for specialization of function in managing zakat of Islamic banking because of the potential of social fund of Muslims in Indonesia are very abundant and can be utilized for the benefit of the public good mustahiq and other. In addition to the above issues, construction law of zakat management institutional arrangements through Islamic banking norms showed the vacancy induced not being accomodated the Islamic Banking as a partner of the BAZNAS in the Law of the Republic of Indonesia Number 23 of 2011 concerning the management of Zakat. Sociologically zakat management problem is still the difficulty in prosecuting Zakat, problem such as public confidence in the institutions of zakat, zakat conscious low culture, and the strengthening of the implementation of zakat directly giving rise to the potential vulnerability of the social, economic and legal. While the political problems in the institutional management of zakat through Islamic banking principle that the establishment of an institutional norm management of zakat through sharia banking functions are still accommodating legal political econom
Item Type: | Thesis (Doctor) |
---|---|
Identification Number: | DES/297.54/DAK/k/06146852 |
Subjects: | 200 Religion > 297 Islam, Babism, Bahai Faith > 297.5 Islamic ethics and religious experience, life, practice |
Divisions: | S2/S3 > Doktor Ilmu Hukum, Fakultas Hukum |
Depositing User: | Endro Setyobudi |
Date Deposited: | 05 Nov 2014 14:02 |
Last Modified: | 05 Nov 2014 14:02 |
URI: | http://repository.ub.ac.id/id/eprint/160679 |
Actions (login required)
![]() |
View Item |