Nazaruddin, T (2017) Rekonstruksi Politik Hukum Penataan Ruang Berkelanjutan Berbasis Kearifan Lokal Masyarakat Hukum Adat Mukim Di Aceh. Doctor thesis, Universitas Brawijaya.
Abstract
Kondisi ideal konstruksi politik hukum tata ruang berbasis kearifan lokal secara implisit tertuang dalam Pasal 18B ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 yang menentukan, bahwa “Negara mengakui dan menghormati satuan satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang.” Selanjutnya ayat (2), mengakui dan menghormati kesatuan masyarakat hukum adat, hak-hak tradisional dan identitas budayanya. Kondisi eksisting (sekarang) terdapat dalam sejumlah peraturan perundang-undangan, di antaranya, Pasal 3 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, Pasal 63 Undang- Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, kecuali Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan ruang, Pasal 61 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, Pasal 2 ayat (9) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, diganti dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 juncto Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Pasal 1 angka 6, Pasal 4 (3), Pasal 67 (1), (2), (3) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, terkait dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 45/PUU-X /2012. Kewenangan istimewa dan khusus Aceh berdasarkan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Propinsi Daerah Istimewa Aceh, Pasal 141 ayat (1) dan Pasal 142 ayat (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Namun Qanun Aceh Nomor 19 Tahun 2013 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Aceh Tahun 2013-2033 tidak mengakomodasi wilayah kelola tata ruang Mukim sebagai wilayah hak asal usul masyarakat hukum adat Mukim di Provinsi Aceh. Padahal secara hukum keberadaan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya telah diakui dan dikukuhkan dalam peraturan perundang-undangan. Permasalahan yang dibahas dalam disertasi ini adalah 1. Apakah hakikat Mukim sebagai wujud penataan ruang berbasis kearifan lokal masyarakat hukum adat di Provinsi Aceh? 2. Mengapa politik hukum Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Aceh Qanun Aceh Nomor 19 Tahun 2013 tidak mengakomodasi kearifan lokal masyarakat hukum adat Mukim? 3. Bagaimana rekonstruksi politik hukum tata ruang berkelanjutan Provinsi Aceh berbasis kearifan lokal masyarakat hukum adat Mukim? Penelitian ini adalah yuridis normatif didukung yuridis empiris dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan, konseptual, historis, sosiologis, filosofis serta pendekatan perbandingan. Disertasi ini menggunakan teori pluralisme hukum, maqashid al-syari’ah, dan receptio in complexu konsep kearifan lokal Mukim dan modal sosial untuk menjawab isu hukum yang pertama. vi Teori demokrasi khususnya tipe hukum responsif, pemerintahan daerah, dan otonomi khusus dipadukan dengan konsep politik hukum, pembentukan Qanun dan tata ruang berkelanjutan untuk menjawab isu hukum yang kedua. Untuk menjawab isu hukum yang ketiga digunakan teori pluralisme hukum, maqashid al-syari’ah, dan receptio in complexu, tipe hukum responsif, dipadukan dengan konsep kearifan lokal Mukim dan keberlanjutan ekologi. Hasil penelitian disertasi ini: pertama, hakikat Mukim adalah keserasian hubungan manusia dengan Tuhan dan alamnya atau hubungan Lhee Sagoe. Cerminan pola pikir masyarakat hukum adat yang magis-relijius. Manusia bagian dari alam yang harus memperlakukan alam seperti memperlakukan dirinya sendiri, sebagai amanah dari Tuhan untuk mengelolanya. Pola pikir yang participeren denken (manusia bagian dari sistem alam), jika alam rusak maka kehidupannya pun akan terancam. Pertama, Mukim adalah sistem kehidupan dan kedua, geografis, yang mengintegrasikan unsur manusia, alam (flora & fauna), dijiwai oleh agama Islam. Hakikatnya adalah sistem penataan ruang yang mencerminkan kearifan lokal masyarakat hukum adat Aceh yang mengintegrasikan kepentingan ekonomi, ekologi, sosial budaya dalam suatu wilayah sebagai sistem. Sejalan dengan pembangunan nasional yang hakikatnya ialah perubahan yang direncanakan, dilakukan secara sistematis dengan mengintegrasikan kepentingan ekonomi, ekologi, sosial budaya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Kedua, Politik hukum Qanun RTRWA tidak mengakomodasi tata ruang berkelanjutan berbasis kearifan lokal masyarakat hukum adat Mukim, lebih berorientasi pada kepentingan ekonomi dengan meminggirkan sistem nilai dan kepentingan masyarakat hukum adat Mukim dengan politik pengabaian (political of ignorance). Konstruksi politik hukum Qanun RTRWA existing (sekarang) secara substansial terjadi inkonsistensi dan konflik norma dengan perundang-undangan diatasnya, khususnya undang-undang tentang keistimewaan dan kekhususan Aceh. Perencanaan tata ruang dengan paradigma rational comprehensive planning mengabaikan tata ruang masyarakat hukum adat Mukim. Ketiga, rekonstruksi atau konstruksi baru politik hukum Qanun tata ruang berkelanjutan RTRWA berbasis kearifan lokal masyarakat hukum adat Mukim dirumuskan dengan menelusuri konstruksi eksisting dan konstruksi ideal politik hukum Qanun tata ruang berkelanjutan RTRWA berbasis kearifan lokal masyarakat hukum adat Mukim. Menghasilkan politik hukum tata ruang berkelanjutan baru yang mengakomodasi dan berbasis pada kearifan lokal masyarakat hukum adat Mukim di Aceh dengan menganut paradigma pluralisme hukum dan perencanaan tata ruang yang menggabungkan rational comprehensive planning dengan advocacy planning. Rekomendasi kepada Pemerintah RI dan Dewan Perwakilan Rakyat RI agar merevisi Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang dengan menambahkan asas kearifan lokal dan pengaturan terhadap wilayah masyarakat hukum adat. Kepada Pemerintah Aceh dan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh agar merevisi Qanun Rencana Tata Ruang Wilayah Aceh Nomor 19 Tahun 2013, berhubungan dengan: Kebijakan dan Strategi Penataan Ruang Wilayah Aceh, Pasal 9; Kawasan Perlindungan Setempat, ditambahkan Kawasan Masjid Mukim dan Padang Meurabe, Pasal 36 huruf b; Arahan pengendalian pemanfaatan ruang wilayah Aceh, Pasal 51; Arahan Perizinan, Pasal 81; Hak, Kewajiban, dan Peran Masyarakat, Pasal 89; serta Kelembagaan, Pasal 90.
Item Type: | Thesis (Doctor) |
---|---|
Identification Number: | DIS/346.045/NAZ/r/2017/061703138 |
Subjects: | 300 Social sciences > 346 Private law |
Divisions: | S2/S3 > Doktor Ilmu Hukum, Fakultas Hukum |
Depositing User: | Nur Cholis |
Date Deposited: | 26 Apr 2017 12:25 |
Last Modified: | 26 Apr 2017 12:25 |
URI: | http://repository.ub.ac.id/id/eprint/160448 |
Actions (login required)
![]() |
View Item |