Mu`allifin, MDarinArif (2017) Hukum Penataan Ruang Sebagai Pengendali Pemanfaatan Ruang Kota Dalam Konteks Pembangunan Yang Berkelanjutan. Doctor thesis, Universitas Brawijaya.
Abstract
Hukum mempunyai fungsi sebagai pengendali / sarana kontrol dan sebagi pengarah pembangunan. Hukum Penataan Ruang (UUPR), pada tataran filsafati hakekatnya untuk mengendalikan ruang mulai pada tataran perencanaan, pemanfatan dan pengendalian pemanfaatan ruang (ontologis), adapun prosedur untuk menjaga pelestarian fungsi lingkungan/alam/ruang menggunakan konsep pembangunan yang berkelanjutan (epistemologis), yang memerlukan dukungan adanya kepastian hukum dalam penataan ruang (aksiologis) tapi masih belum terpenuhi. Problematika teoritiknya, dalam konteks pembangunan UUPR dikalahkan oleh kepentingan Politik maupun Ekonomi Problematika yuridisnya adalah adanya kekaburan/ketidakjelasan norma (Vague Norm) dalam UUPR sehingga keberadaannya dipandang belum memadai sebagai pengendali pemanfaatan ruang kota dalam konteks pembangunan yang berkelanjutan, yang mengakibatkan problematika Sosiologis, adanya banjir, tanah longsor, kemacetan lalu lintas, perumahan kumuh dan lain sebagainya. Permasalahan yang dikaji dalam disertasi ini adalah: pertama, Mengapa UUPR yang berlaku saat ini tidak memadai sebagai pengendali pemanfaatan ruang kota dalam konteks pembangunan yang berkelanjutan ( dilihat dari aspek Filsafati, Yuridis dan Sosiologis), Ada politik hukum apa ?. Kedua, Mengapa koordinasi dalam penataan ruang tidak diatur secara jelas dalam UUPR, sehingga tidak terjadi sinergitas antara Pemerintah dengan Pemerintah Daerah, dan apa akibat hukumnya terhadap keberlakuan Perda RTRW Provinsi dan RTRW Kabupaten/ Kota? Ketiga, Bagaimana seharusnya konsep hukum penataan ruang yang dapat berfungsi sebagai pengendali pemanfaatan ruang kota dalam konteks pembangunan yang berkelanjutan, secara teoritis dan filosofis ? Terhadap permasalah tersebut dilakukan penelitian hukum normatif (normative legal research), dengan menggunakan pendekatan filsafati (philosophical approach), pendekatan perundang-undangan (statuta approach), pendekatan konseptual (conceptual approach), pendekatan sejarah (historical approach), pendekatan perbandingan hukum (comparative legal approach) dan pendekatan kasus (case approach). Berdasarkan temuan hasil penelitian didapatkan jawaban masalah Pertama, keberadaan UUPR yang berlaku saat ini tidak memadai sebagai pengendali pemanfaatan ruang kota dalam konteks pembangunan yang berkelanjutan, disebabkan masih terdapat kekaburan/ ketidakjelasan pengaturan norma, dilihat dari aspek Filsafati/nilai keadilan, aspek Yuridis/nilai kepastian hukum, aspek sosiologis/nilai kegunaan serta peran serta masyarakat. Politik hukum dalam UUPR dipengaruhi oleh amandemen UUD NRI 1945, khususnya Pasal 33 ayat (4) yang menggeser Sosialisme Indonesia kearah neo-sosialisme/kapitalisme, paradigma yang digunakan masih antroposentrisme belum ekosentrisme, yang terbukti penataan ruang masih bersifat administratif, teknis dan fisik, belum berorientasi pada konsep paradigma pembangunan dengan asas berkelanjutan. Kedua, Koordinasi dalam penataan ruang tidak diatur secara jelas dalam UUPR, disebabkan karena belum adanya kesamaan pendapat antara pemerintah dan pemerintah daerah serta antar pejabat sektoral tentang makna koordinasi sejak dalam risalah viii UUPR dan belum adanya asas hukum yang mengatur tentang perselisihan antar wewenang, UUPR belum dijadikan sebagai ketentuan payung, serta belum diwujudkan relasional kolektivitas sebagai pengamalan sila ke-4 Pancasila. Akibatnya terjadi keterlambatan produk peraturan RTRW baik Provinsi maupun Kabupaten/Kota, serta terjadi disharmonisasi dan asinkronisasi dalam pengaturan penataan ruang. Politik hukum yang melatar belakangi adalah adanya ego sektoral dan ego wilayah yang mendasarkan pada peraturan perundang-undangan masing-masing. Ketiga, Membangun konsep Hukum Penataan Ruang yang Sistemik Progresif (dengan mengintegrasikan ajaran Eko-Sufisme, meliputi :Teosentris, Antroposentris dan Ekosentris) dalam rangka mewujudkan fungsi hukum yaitu sebagai sarana pengendali dalam konteks pembangunan yang berkelanjutan digunakan konsep teori “Hukum sebagai Sistem” yang dielaborasikan dengan konsep filsafat hukum yang partisipatoris responsif dan humanis, dengan karakteristik/kriteria: 1. Aspek Kebijakan/ Substansi : maksudnya agar Hukum Penataan Ruang dapat diterima dan implementatif harus memenuhi syarat/prinsip: sosiologis, yuridis, Pencegahan dini, berkelanjutan, dan filosofis moral. 2. Aspek Kelembagaan: yang mencerminkan kedudukan dan perannya yang mempunyai kewenangan penuh (full autority) dalam menyelenggarakan penataan ruang secara terpadu, yaitu Menteri Agraria/Tata Ruang/BPN. 3. Aspek Budaya Hukum : yang mencerminkan adanya cita-cita dan budaya hukum masyarakat sebagaimana telah tertuang dalam Pancasila. 4. Aspek Penegakan Hukum : dengan diwujudkannya Peradilan Agraria/ tata ruang. Dari kesimpulan tersebut di atas perlu dikemukakan beberapa saran/ rekomendasi yang menunjang kerangka pemikiran dasar yang terdapat dalam penulisan ini, yaitu: 1. Perlunya dilakukan amandemen (perubahan) terhadap Pasal 33 ayat (4) UUD 1945 dengan memuat rumusan kaidah yang mengutamakan antara lain: a) asas tanggung jawab negara, b) asas keadilan, kepastian, dan perlindungan, c) asas keberlanjutan, d) asas manfaat ekonomi dan sosial, e) asas subsidiaritas, yang tidak berorientasi pada kepentingan ekonomi-kapitalis. 2. Perlu dilakukakan perbaikan norma dalam UUPR yang kabur sampai memperoleh kejelasan, sehingga terdapat kepastian hukum, begitu pula terhadap norma koordinasi sebagai sarana harmonisasi dan sinkronisasi yang meliputi aspek kebijakan, substansi, kelembagaan dan prosedur,budaya, serta penegakan hukum. Di sinilah dituntut kearifan dari masing-masing sektor dan wilayah untuk berkoordinasi dan bekerja sama untuk saling memadukan dan menyerasikan berbagai kewenangan dan tanggung jawab, dibawah koordinasi Menteri Agraria/ Tata Ruang/BPN 3. Dalam rangka penguatan sistem penyelenggaraan Otonomi Daerah, maka kewenangan dan tanggung jawab daerah di bidang penataan ruang harus lebih mengemuka. Dalam kaitan ini koordinasi dan kerja sama antar daerah mutlak diperlukan. Maka aspek desentralisasi yang dipadukan secara dengan koordinasi dan kerja sama antar daerah perlu dirumuskan secara lebih jelas dan rinci. 4. Perlunya dibentuk suatu kelembagaan yang terpadu dan “permanen” (bukan ad.hoc) baik di Pusat maupun Daerah yang menangani penataan ruang. Seperti Departemen Tata Ruang dan Pengadilan Tata Ruang, serta memisahkan tugas perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang, tidak dalam satu lembaga. 5. Pengaturan yang lebih jelas, tegas, dan memenuhi standar hukum tentang peran serta masyarakat dalam penataan ruang sangat diperlukan. Seperti adanya Forum Komunikasi Pembangunan Perkotaan/Lembaga Swadaya Masyarakat, sebagai mitra Pemerintah yang independen.
Item Type: | Thesis (Doctor) |
---|---|
Identification Number: | DIS/346.045/MUA/h/2017/061703358 |
Subjects: | 300 Social sciences > 346 Private law |
Divisions: | S2/S3 > Doktor Ilmu Hukum, Fakultas Hukum |
Depositing User: | Nur Cholis |
Date Deposited: | 26 Apr 2017 10:09 |
Last Modified: | 26 Apr 2017 10:09 |
URI: | http://repository.ub.ac.id/id/eprint/160446 |
Actions (login required)
![]() |
View Item |