Perlindungan Hukum Terhadap Tanah Adat Dalam Pembangunan Perkebunan Kelapa Sawit Di Kabupaten Kotawaringin Kalimantan Tengah

Sangking (2016) Perlindungan Hukum Terhadap Tanah Adat Dalam Pembangunan Perkebunan Kelapa Sawit Di Kabupaten Kotawaringin Kalimantan Tengah. Doctor thesis, Universitas Brawijaya.

Abstract

Pemerintah Kabupaten Kotawaringin Timur merupakan Kabupaten di Provinsi Kalimantan Tengah yang paling banyak mengeluarkan Izin Usaha Perkebunan (selanjutnya disingkat IUP) kelapa sawit. Sebagai Kabupaten yang terbanyak mengeluarkan IUP kelapa sawit, cukup banyak pula persoalan-persoalan hukum yang terjadi dalam hal pengadaan tanah untuk pembangunan perkebunan kelapa sawit. Salah satu persoalan hukum tersebut berupa masuknya tanah-tanah adat yang terdapat dalam ulayat adat Masyarakat Hukum Adat (selanjutnya disingkat MHA) ke dalam IUP kelapa sawit yang dikeluarkan pemerintah daerah. Tanah adat yang dikuasai secara hukum adat yang merupakan salah satu hak tradisional MHA yang sejak berlakunya UU No 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria yang dikenal dengan istilah UUPA telah diatur juga pengakuan terhadap hak-hak MHA, sebagaimana diatur dalam Pasal 3 yang menyatakan: “Dengan mengingat ketentuan Pasal 1 dan 2 pelaksanaan hak rakyat dan hak-hak lain yang serupa dengan itu dari masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan negara yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan peraturan lain yang lebih tinggi.” Demikian juga hasil amandemen MPR RI pada tahun 2000 terhadap UUD 1945 telah diatur tentang pengakuan dan penghormatan terhadap hak-hak tradisional MHA, sebagaimana diatur dalam Pasal 18B ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (selanjutnya disingkat UUD NRI 1945) yang menyatakan: “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dengan undang-undang” Tanah adat sebagai hak tradisional MHA yang secara Konstitusional diakui dan dihormati oleh Negara, sehingga tanah-tanah adat MHA yang masuk dalam IUP kelapa sawit tersebut, tidak boleh diambil alih begitu saja oleh Negara/pemerintah untuk kepentingan pembangunan perkebunan kelapa sawit. Penggunaan tanah untuk Usaha Perkebunan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 Tentang Pembangunan Perkebunan, sebagaimana yang diatur dalam Pasal (9) ayat (1) dan (2) menyatakan: ayat (1). Dalam rangka penyelenggaraan usaha perkebunan, kepada pelaku usaha perkebunan sesuai dengan kepentingannya dapat diberi hak atas tanah yang diperlukan untuk usaha perkebunan berupa hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, dan/atau hak pakai sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Ayat (2). Dalam hal tanah yang diperlukan merupakan tanah hak ulayat masyarakat hukum adat yang menurut kenyataannya masih ada mendahului pemberian hak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), pemohon wajib melakukan musyawarah dengan masyarakat hukum adat pemegang hak ulayat dan warga pemegang hak atas tanah yang bersangkutan, untuk memperoleh kesepakatan mengenai penyerahan tanah dan imbalannya. Ketentuan dalam Pasal 9 ayat (1) dan (2) tersebut di atas diatur juga dalam Undang-Undang Perkebunan yang baru yaitu Undanga-Undang Nomor 39 Tahun 2014 Tentang Perkebunan, sebagaimana diatur dalam Pasal 12 ayat (1) dan (2) yang menyatakan: (1) Dalam hal Tanah yang diperlukan untuk Usaha Perkebunan merupakan Tanah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat, Pelaku Usaha Perkebunan harus melakukan musyawarah dengan Masyarakat Hukum Adat pemegang Hak Ulayat untuk memperoleh persetujuan mengenai penyerahan Tanah dan imbalannya. (2) Musyawarah dengan Masyarakat Hukum Adat pemegang Hak Ulayat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 9 ayat (1) dan ayat (2) UU No. 18 Tahun 2004 dan Pasal 12 ayat (1) dan (2) UU Nomor 39 Tahun 2014 Tentang Perkebunan tersebut di atas, jelaslah bahwa dalam pembangunan perkebunan sebelum HGU diberikan kepada Pelaku Usaha Perkebunan, maka kepada Pelaku Usaha Perkebunan diberikan kewajiban untuk melakukan musyawarah dengan MHA pemegang Hak Ulayat untuk memperoleh persetujuan mengenai penyerahan Tanah dan imbalannya. Berdasarkan ketentuan dalam UUD NRI 1945, UUPA maupun dalam UU Nomor 18 Tahun 2004 juncto UU Nomor 39 Tahun 2014 Tentang Perkebunan terwsebut di atas, merupakan suatu bentuk pengakuan dan perlindungan hukum terhadap tanah-tanah adat dan bagi pelaku usaha perkebunan kelapa sawit yang dalam lahan IUP yang dikeluarkan pemerintah daerah terdapat tanah-tanah adat warga MHA, harus berkewajiban memberikan perlindungan hukum terhadap tanah-tanah adat tersebut, baik melalui pembebasan/membeli tanah-tanah adat warga MHA atau membiarkan tanah-tanah tersebut (diinklap) di tengah perkebunan kelapa sawit. Karena penggunaan tanah yang luasnya cukup besar untuk pembangunan perkebunan kelepa sawit di Kabupaten Kotawaringin Timur, sehingga cukup banyak menimbulkan persoalan hukum berupa sengketa tanah adat (paling banyak sengketa tanah adat di Kalimantan Tengah) dengan pengusaha perkebunan kelapa sawit, sehingga peneliti ingin mengkaji secara ilmiah melalui penelitian Disertasi dengan Judul: Perlindungan Hukum Terhadap Tanah Adat dalam Pembangunan Perkebunan Kelapa Sawit di Kabupaten Kotawaringin Timur Kalimantan Tengah. Mengingat bahwa perlindungan hukum terhadap tanah adat merupakan perlindungan tarhadap hak atas tanah adat yang menjadi kepentingan atau tuntutan perorangan atau komunitas MHA yang harus dilaksanakan secara damai dan dapat juga dilaksanakan kerena pelanggaran hukum (Sudikno Mertokusumo), sehingga penulis dalam penelitian disertasi ini membuat 3 (tiga) rumusan masalah yaitu: 1.Mengapa tanah adat warga MHA tidak mendapat perlindungan hukum dalam pembangunan perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Kotawaringin Timur Provinsi Kalimantan Tengah ? 2. Bagaimanakah upaya warga MHA dalam menyelesaikan sengketa tanah adatnya dengan pengusaha dalam pembangunan perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Kotawaringin Timur Provinsi Kalimantan Tengah ? 3.Bagaimanakah peranan Lembaga adat Kedamangan dalam menyelesaikan sengketa tanah adat yang terjadi antara warga MHA dengan pengusaha perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Kotawaringin Timur Provinsi Kalimantan Tengah? Teori hukum yang digunakan untuk menganalisis ke tiga rumusan permasalahan tersebut di atas, yaitu Teori Negara hukum, Teori Perlindungan Hukum, Teori Pluralisme Hukum, Teori Living Law dan Terori Penyelesaian Sengketa. Hasil penelitian disertasi ini menunjukan: Pertama, bahwa pembangunan perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Kotawaringin Timur, cukup banyak terdapat tanah adat warga pedesaan yang tidak mendapat perlindungan hukum. Adanya tanah adat warga MHA di Kabupaten Kotawaringin Timur yang tidak mendapat perlindungan hukum dalam pembangunan perkebunan kelapa sawit, disebabkan karena pengakuan bersayarat atau setengah hati dalam Pasal 3 UUPA dan peraturan perundangan lainnya, balum mampu menjamin kepastian hukum dalam memberikan perlindungan hukum terhadap hak tradisional MHA atas tanah adat. Demikian pengakuan bersyarat atau setengah hati dari negara yang terdapat Pasal 18B ayat (2) UUD NRI 1945 (hasil amandemen MPR RI) belum juga mampu menjamin kepastian hukum dalam memberikan perlindungan hukum terhadap hak tradisional MHA atas tanah adat. Bukti yang lebih kuat lagi bahwa penyelenggara negara setengah hati memberikan perlindungan hukum terhadap hak tradi

Item Type: Thesis (Doctor)
Identification Number: DIS/346.043 2/SAN/p/2016/061611459
Subjects: 300 Social sciences > 346 Private law
Divisions: S2/S3 > Doktor Ilmu Hukum, Fakultas Hukum
Depositing User: Budi Wahyono Wahyono
Date Deposited: 12 Apr 2017 13:41
Last Modified: 27 Sep 2024 04:15
URI: http://repository.ub.ac.id/id/eprint/160443
[thumbnail of 061611459-FULL TEXT.pdf] Text
061611459-FULL TEXT.pdf

Download (2MB)

Actions (login required)

View Item View Item