Perumusan Norma Status Perawan Dalam Lampiran Peraturan Menteri Agama Nomor 11 Tahun 2007 Tentang Pencatatan Nikah

Soeradji, Elvi (2014) Perumusan Norma Status Perawan Dalam Lampiran Peraturan Menteri Agama Nomor 11 Tahun 2007 Tentang Pencatatan Nikah. Doctor thesis, Universitas Brawijaya.

Abstract

Sistim pencatatan perkawinan tidak dapat dilepaskan dengan formulir. Formulir merupakan acuan tempat pengisian biodata lengkap calon mempelai, wali, saksi-saksi, mahar, waktu, termasuk status mempelai dan lain-lain. Pencatatan status perawan dalam perkawinan di Indonesia sangat beragam, pada masa kesultanan dan penjajahan, makna perawan berlandaskan makna filosofis, yuridis normatif dan sosiologis. Masa awal kemerdekaan, makna perawan berlandaskan status “kawin dan belum kawin” (yuridis formal). Kemudian setelah kemerdekaan (masa pembangunan), tepatnya saat pemberlakuan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, status “kawin dan belum kawin” digunakan (murni yuridis formal). Pada waktu, Peraturan Menteri Agama Nomor 11 Tahun 2007 Tentang Pencatatan Nikah, masih menggunakan “status Perawan” yang bermakna biologis (sosiologis). Bahkan dalam putusan Pengadilan Agama, kasus perceraian dengan gugatan terkait keperawanan dijadikan alasan sebagai gugatan bercerai. Berarti menurut hakim, ada yang menerjemahkan “perawan” sebagai biologis (sosiologis). Padahal secara politik hukum, sebelum Undang undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, bersifat diferensiatif dan sesudahnya berlaku unifikatif. Keberlakuan unifikasi itu tidak diikuti oleh Peraturan Menteri Agama Nomor 11 Tahun 2007 Tentang Pencatatan Perkawinan tetap mengadopsi peraturan-peraturan pada masa diferensiasi. Dari situlah, formulir pencatatan perkawinan terkait identifikasi status “perawan atau janda dan jejaka atau duda” dalam perkawinan di Indonesia memiliki makna ganda dan ambigu. Akibatnya hukum bila perawan tetap dinormakan dalam pencatatan nikah adalah secara substansi hukum, struktur hukum dan budaya hukum; karena bisa bermakna sosiologis, filosofis dan yuridis normatif. Akibat hukum status janda dan perawan secara biologis berkaitan dengan kriteria larangan kawin bagi kerabat semenda, jenis porsi mahar terhutang, masa iddah, porsi nafaqah, kompetensi wali (baik perwalian diri maupun harta) dan jenis sanksi pidana. Akibat hukum secara yuridis normatif; pencatatan perkawinan bila mengakomodir keberadaan politik hukum diferensiasi, akan melegislasi pencatatan perkawinan tak bercatat. Sebaliknya bila konsisten dengan politik hukum unifikasi, pencatatan perkawinan harus mengikuti konsep perkawinan nasional, yakni pencatatan perkawinan dibuktikan dengan akta nikah. Dari sisi kemaslahatan (kemanfaatan), justru penormaan perawan dalam pencatatan perkawinan melazimkan adanya pelembagaaan tes keperawanan, sesuatu yang bersifat diskriminatif. Pada gilirannya akan menimbulkan pemalsuan identitas dan berujung tindak pidana. Dari sisi Maqasid al-Syari’ah, penormaan perawan sangat kontra produktif. Munculnya diktum pilihan status terutama penuangan kata “Perawan dan Jejaka” dalam berbagai versi form sebagaimana tersebut di atas, telah v menimbulkan keresahan bagi Pegawai Pencatat Nikah ketika dikaitkan dengan pengisian status calon mempelai yang tidak benar/palsu. Bertolak dari pengertian tentang makna janda dan perawan inilah, yang menyebabkan kerancuan parameter tentang janda dan perawan. Kerancuan itu, menyulut disorientasi pemahaman, tentang parameter yang menjadi ukuran seseorang dikatakan sebagai perawan atau janda. Di satu sisi, jika istilah perawan didefinisikan sebagai wanita yang belum pernah bersenggama, dan diukur berdasarkan virginitas dan belum berpengalaman, lantas bagaimana dengan status wanita atau pria yang pernah berzina atau Penjaja Seks Komersial (selanjutnya di singkat PSK) yang belum menikah, tetapi berpengalaman dalam berhubungan intim. Apakah wanita seperti itu tetap berstatus perawan, atau berubah statusnya menjadi janda. Jika status wanita yang pernah berzina atau PSK di claim sebagai perawan, bukankah ini bertentangan dengan pengertian perawan. Pelbagai persoalan di atas, maka asumsi yang berkembang bahwa ukuran yang dijadikan dasar perbedaan makna janda dan perawan memang masih bermasalah. Penyebabnya adalah, pertama, perumusan seseorang dikatakan perawan atau janda dalam konteks status dalam formulir pencatatan perkawinan adalah bergantung pernah dan tidaknya melakukan akad pernikahan; kedua, perumusan seseorang disebut perawan atau janda tergantung pada status virginitas; dan ketiga, perumusan seseorang disebut janda atau perawan yaitu sangat berkaitan dengan pernah atau tidaknya seorang wanita merasakan dan pengalaman dalam berumah tangga, salah satunya yaitu tentang hubungan intim. Secara legal historis, nilai filosofis yang dikandung hukum perkawinan bila merujuk kepada perkawinan Nabi Muhammad, ternyata hanya Aisyah seorang yang dikawini Nabi dalam keadaan masih perawan. Maka sungguh naïf, bila tujuan perkawinan dikaitkan secara mutlak dengan keperawanan seseorang.

Item Type: Thesis (Doctor)
Identification Number: DIS/346.016/SOE/p/2015/061506970
Subjects: 300 Social sciences > 346 Private law
Divisions: S2/S3 > Doktor Ilmu Hukum, Fakultas Hukum
Depositing User: Endang Susworini
Date Deposited: 31 Dec 2015 14:41
Last Modified: 31 Dec 2015 14:41
URI: http://repository.ub.ac.id/id/eprint/160442
Full text not available from this repository.

Actions (login required)

View Item View Item