Musthofa (2015) Dualisme Kewenangan Pencatatan Perceraian. Doctor thesis, Universitas Brawijaya.
Abstract
Pengadilan agama merupakan salah satu pelaku kekuasaan kehakiman untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan atau menyelanggarakan fungsi yudikatif yang produknya berupa putusan atau penetapan, tetapi masih ditemukan norma dalam 84 ayat (4) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagaimana diubah dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 dan Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009 yang memberikan kewenangan pencatatan perceraian kepada panitera pengadilan agama dengan menerbitkan akta perceraian sebagai bukti perceraian. Sisi lain, Undang-undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan sebagaimana diubah dengan Undang-undang Nomor 24 Tahun 2013 mengatur bahwa kewenangan pencatatan perceraian merupakan ranah kewenangan pemerintah (fungsi administratif) sehingga terjadi konflik norma (conflict of norm) yang menimbulkan ketidaktertiban dan ketidakpastian hukum. Oleh sebab itu, penelitian ini perlu dilakukan untuk menjawab keberlakuan norma dan koherensi norma tersebut dengan asas pembentukan perundang-undangan yang baik, yaitu asas kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan dan perwujudan asas ketertiban dan kepastian hukum. Penelitian disertasi ini adalah penelitian hukum (legal research), yakni meneliti norma sehingga penelitian hukum ini bersifat normatif. Penelitian ini menggunakan 4 (empat) pendekatan yaitu pendekatan perundang-undangan (statute approach), pendekatan perbandingan (comparative approach), pendekatan sejarah (historical approach), dan pendekatan filsafat (philosophical approach) untuk menjawab keberlakuan norma dan koherensi norma. Simpulan hasil penelitian ini sebagai berikut: (1) Pasal 84 ayat (4) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagaimana diubah dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 dan Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009 tidak berlaku lagi setelah diundangkan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan sebagaimana diubah dengan Undang-undang Nomor 24 Tahun 2013, dan (2) pengaturan kewenangan pencatatan perceraian dalam Pasal 84 ayat (4) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagaimana diubah dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 dan Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009 tidak koheren dengan asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik, yaitu asas viii kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan, serta tidak mencerminkan asas ketertiban dan kepastian hukum. Berdasarkan simpulan tersebut dapat dirumuskan garis batas kewenangan antara pengadilan agama dan pegawai pencatat pada KUAKec. secara normatif, yakni pengadilan agama menyelenggarakan fungsi peradilan dengan produk hukum berupa putusan atau penetapan mengenai perceraian, sedangkan pencatatan perceraian merupakan kewenangan pegawai pencatat pada KUAKec. Secara filsafati, putusan pengadilan agama atas gugatan perceraian yang telah berkekuatan hukum tetap atau penetapan pengadilan agama tentang perkawinan putus karena cerai talak merupakan bukti autentik perceraian antara suami istri sehingga norma yang memberikan kewenangan kepada panitera atau pegawai pencatat pada KUAKec. untuk menerbitkan akta perceraian sebagai bukti perceraian berarti telah terjadi konstruksi merendahkan (downgrade) putusan atau penetapan pengadilan agama mengenai perceraian. Oleh sebab itu, tidak perlu ada norma pencatatan perceraian atas putusan atau penetapan pengadilan agama yang memberi kewenangan kepada suatu jabatan untuk menerbitkan akta perceraian sebagai bukti perceraian. Putusan pengadilan agama atas gugatan perceraian yang telah berkekuatan hukum tetap atau penetapan pengadilan agama tentang perkawinan putus karena cerai talak telah menentukan perceraian terjadi dengan segala akibat hukumnya. Kewajiban panitera adalah menyampaikan salinan putusan atau penetapan mengenai perceraian kepada pegawai pencatat pada KUAKec.. Berdasarkan salinan putusan atau penetapan tersebut, pegawai pencatat pada KUAKec. melakukan pendaftaran perceraian dalam sebuah buku yang disediakan untuk itu, tanpa menerbitkan akta perceraian. Penelitian ini memberikan rekomendasi kepada Dewan Perwakilan Rakyat dan Pemerintah, agar Pasal 84 ayat (4) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagaimana diubah dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 dan perubahan kedua dengan Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009 dihapus pada saat dilakukan perubahan Undang-undang tersebut atau dicabut dalam undang-undang lain yang mengatur pencatatan perceraian. Pengaturan pencatatan perceraian yang memberikan kewenangan kepada pegawai pencatat pada KUAKec. untuk menerbitkan akta perceraian sebagai bukti perceraian dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan sebagaimana diubah dengan Undang-undang Nomor 24 Tahun 2013 perlu diubah, karena putusan atau penetapan pengadilan agama mengenai perceraian merupakan bukti autentik perceraian suami istri. Kata kunci: dualisme, kewenangan, dan pencatatan perceraian.
Item Type: | Thesis (Doctor) |
---|---|
Identification Number: | DIS/346.016 6/MUS/d/2015/061507902 |
Subjects: | 300 Social sciences > 346 Private law |
Divisions: | S2/S3 > Doktor Ilmu Hukum, Fakultas Hukum |
Depositing User: | Endang Susworini |
Date Deposited: | 19 Nov 2015 11:18 |
Last Modified: | 19 Nov 2015 11:18 |
URI: | http://repository.ub.ac.id/id/eprint/160440 |
Actions (login required)
![]() |
View Item |