Ciptaningsih, Dwi (2016) Kewenangan Kepala Daerah Dalam Pengangkatan, Pemindahan dan Pemberhentian Pegawai Aparatur Sipil Negara, Pada Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah. Doktor thesis, Universitas Brawijaya.
Abstract
Sejak terjadinya reformasi pada bidang pemerintahan di Indonesia dengan didasari perubahan Undang-Undang tentang pemerintahan daerah, yaitu Undang Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, merupakan tonggak dilaksanakan otomi daerah yang dimaknai adanya kebesan mengurus rumah tangga daerahnya sendiri. Diikuti pada bidang kepegawaian dengan dirubahnya UU No. 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian dengan UU No. 43 Tahun 1999 tentang Perubahan UU No. 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian. Demikian pula yang terjadi pada birokrasi di daerah, kewenangan Kepala Daerah dalam pengangkatan, pemindahan dan pemberhentian PNS dimaknai sebagai hak prerogratif Kepala Daerah sehingga menimbulkan banyak persoalan-persoalan yang merugikan birokrasi pemerintahan daerah. Promosi yang dilakukan tanpa prosedur yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan, pemberhentian pejabat yang dilakukan semena-mena hanya karena perbedaan politik, dan issue putra daerah yang menghambat persatuan bangsa sebagai PNS yang berfungsi sebagai perekat bangsa. Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 2003 tentang Wewenang Pengangkatan, Pemindahan, dan Pemberhentian Pegawai Negeri Sipil yang menggunakan dasar dalam konsideran mengingatnya UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, Peraturan Pemerintah (PP) tersebut kemudian dengan diganti dengan PP. 63 Tahun 2009 tentang Perubahan PP No. 9 Tahun 2003, dengan dasar UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Perubahan tidak substansional akan tetapi hanya merubah pada Pasal 1 tentang nomenklatur Departemen diubah menjadi Kementerian. Sehingga tindakan Kepala Daerah dalam kewenangan pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian PNS tidak berubah meskipun amanat UU No. 32/2004 sudah membatasi kesan otonomi yang seluas-luasnya pada daerah. Fungsi birokrasi yang sangat penting dalam penyelenggaraan pemerintahan, khususnya pemerintahan daerah, yaitu sebagai penyelenggaran pemerintahan, pelaksana pembangunan dan fungsi pelayanan publik adalah mutlak untuk diperhatikan, untuk keberhasilan otonomi itu sendiri. Intervensi politik yang sangat kental, KKN yang masih dilakukan menjadikan terhambatnya birokrasi pemerintahan daerah berkembang baik. Undang-undang tentang kepegawaian sudah diganti, dengan Undang Undang No. 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara yang diundangkan pada 15 Januari 2014, ada sebelum keluarnya Undang Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, yang diundangkan pada 2 Oktober 2014. Peneliti melihat adanya ketidak sesuaian (inconsistensi) pada kewenangan Kepala Daerah dalam pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian PNS. Pada Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah ditentukan bahwa Kepala Daerah tidak mempunyai kewenangan dalam kepegawaian daerah {Pasal 211 ayat (1) dan Pasal 235 ayat (2)}, sedangkan dalam Undang Undang No. 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara pada Pasal 53 huruf e, disebutkan Kepala Daerah dapat memperoleh kewenangan pengangkatan, viii pemindahan, dan pemberhentian pegawai Aparatur Sipil Negara setelah mendapat delegasi dari Presiden. Delegasi dari Presiden yang diamanatkan pada Pasal 53 huruf e tersebut belum ada, dan tidak ada juga dalam perencanaan peraturan pelaksanaannya baik pada UU No. 23 tahun 2014 maupun UU. No. 5 Tahun 2014. Selama ini yang digunakan sebagai dasar dalam pengangkatan, pemindahan dan pemberhentian pegawai ASN masih menggunakan PP 63 Tahun 2009, yang tentunya menurut peneliti sudah tidak sesuai lagi, meskipun Pasal 130 UU No. 5 Tahun 2014 mengamanatkan, sebelum dikeluarkannya peraturan pengganti, masih dapat dipergunakan. Oleh karenanya perlakuan Kepala Daerah terhadap birokrasi tidak berubah, hal ini menyebabkan peneliti tertarik untuk mengadakan penelitian, atas dasar latar belakang yang demikian peneliti mengangkat 3 (tiga) permasalahan: 1. Mengapa pemberian wewenang Kepala Daerah menetapkan pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian Pegawai Aparatur Sipil Negara banyak menimbulkan persoalan pada tatanan birokrasi dalam penyelenggaraan Pemerintahan Daerah? 2. Bagaimana ruang lingkup kewenangan Kepala Daerah sebagai Pejabat Pembina Kepegawaian di Daerah menurut Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 5 tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara? 3. Mengapa tidak ada aturan yang tegas tentang batasan kewenangan Kepala Daerah sebagai pejabat politik terhadap birokrasi dalam pengangkatan, pemindahan dan pemberhentian Pegawai Aparatur Sipil Negara pada Pemerintahan Daerah? Menjadikan timbul problematika Filosofis, Yuridis, dan Sosiologis, yaitu 1. Filosofis: a. Ontologi : Hakekat KDH sebagai Pejabat Pembina Kepegawaian tidak sebagaimana adanya. b. Epistemologi : mekanisme pengangkatan, pemindahan dan pemberhentian tidak sebagaimana seharusnya. c. Axiologi: menimbulkan ketidakpastian dan mengabaikan nilai keadilan dan HAM. 2. Yuridis: -Vague Norm, pada kata “dapat” UU.No. 5/2014, Vacuum Norm (batasan jabatan politik dan jabatan karier birokrasi). 3. Sosiologis: merugikan Pegawai/Pejabat ASN, pelayanan masyarakat dan penyelenggaraan pemerintahan. Ketidakadilan dan pelanggaran HAM. Hasil penelitian bahwa kewenangan Kepala Daerah dalam pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian tidak ada, berdasarkan terori kewenangan delegasi harus dituangkan dalam peraturan perundang-undangan. Sedang peraturan yang ada sudah tidak sesuai lagi. Sulit dihindari birokrasi administrasinya bisa netral dari politik. Meskipun UU No. 5 Tahun 2014 tentang ASN pada Pasal 9 menyebutkan, lembaga birokrasi pemerintah yang dipimpin oleh partai politik dalam jajaran kabinet yang dipimpin oleh presidensial harus netral dari intervensi politik. Pejabat politik merupakan petugas partai untuk memerintah pemerintah, hal ini jauh dari tujuan Undang-Undang Aparatur Sipil Negara, pejabat politik memimpin birokrasi, mengakibatkan hubungan antara atasan dan bawahan, antara penguasa dan yang dikuasai, hal ini membawa pengaruh fungsi birokrasi sebagi subordinasi, sebagai mesin politik dan pelengkap esistensi partai politik. Peneliti menyarankan agar ada harmonisasi aturan yang inkonsistensi tentang pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian pegawai Aparatur Sipil Negara, apabila ada delegasi kepada Kepala Daerah hendaknya dituangkan suatu peraturan perundangan-undangan untuk menciptakan tata pemerintahan yang mengutamakan meritrokrasi (berjalannya sistem merit) pemerintah bisa mengubah cara ascendency tersebut dengan cara team work sehingga melahirkan cara kerja bureaucratic subblation. Dalam cara ini keahlian, profesionalisme pejabat birokrasi diperhatikan ehingga pejabat birokrasi tidak dianggap sebagai bawahan dan pelengkap yang kurang berperan, melainkan dijadikan sebagai suatu kekuatan penyeimbang dari kekuatan politik. Dengan demikian hubungan kerja antara pejabat politik dan birokrasi tidak terbelah antara aspirasi politik dan birokrasi yang mengharapkan tatanan pemerintahan yang efisien, netral dan tidak ada intervensi politik, sebagai amanat yang terkandung dalam Undang-undang Aparatur sipil Negara.
Item Type: | Thesis (Doktor) |
---|---|
Identification Number: | DIS/342.068/CIP/k/2016/061611463 |
Subjects: | 300 Social sciences > 342 Constitutional and administrative law > 342.06 Executive branch of government |
Divisions: | S2/S3 > Doktor Ilmu Hukum, Fakultas Hukum |
Depositing User: | Budi Wahyono Wahyono |
Date Deposited: | 12 Apr 2017 09:46 |
Last Modified: | 26 Jun 2024 06:35 |
URI: | http://repository.ub.ac.id/id/eprint/160418 |
Text
Dwi Ciptaningsih.pdf Download (84MB) |
Actions (login required)
View Item |