Minollah (2016) Rekonstruksi Pengaturan Pajak Rokok Pada UndangUndang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah. Doctor thesis, Universitas Brawijaya.
Abstract
Salah satu jenis pajak provinsi adalah pajak rokok yang diatur dalam Pasal 1 angka 19, Pasal 2 ayat (1) huruf e, pasal 26, Pasal 27, Pasal 28, Pasal 29, Pasal 30, Pasal 31, pasal 94 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dan dibreakdown dalam Peraturan Daerah Provinsi. Dalam Pasal 28 UU No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dinyatakan dasar pengenaan pajak rokok adalah cukai yang ditetapkan oleh pemerintah terhadap rokok, sementara dalam Undang- Undang Nomor 39 Tahun 2007 tentang Cukai digunakan istilah cukai hasil tembakau. Secara gramatikal pengertian “cukai rokok” dengan “cukai hasil tembakau” berbeda sehingga terjadi inkonsistensi dalam penggunaan istilah. Dalam Pasal 2 ayat (1) huruf e UU PDRD pajak rokok ditetapkan sebagai pajak daerah provinsi, namun berdasarkan Pasal 27 ayat (3) Jo Pasal 2 ayat (4) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 115/PMK.07/2013 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 102/PMK.07/2015 tentang Tata Cara Pemungutan dan Penyetoran Pajak Rokok, pemungutan pajak rokok diserahkan kepada Kantor Bea dan Cukai yang bukan merupakan bagian dari pemerintah daerah hal ini tidak sesuai dengan ciri pajak daerah, dapat menimbulkan disharmonisasi hukum dan dapat menimbulkan ketidak pastian hukum. Selanjutnya UU No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah menentukan hasil penerimaan pajak rokok disetorkan ke rekening kas umum daerah provinsi secara proporsional berdasarkan jumlah penduduk, dan paling sedikit 50% dialokasikan untuk pelayanan kesehatan masyarakat dan penegakan hukum, ketentuan ini dapat menimbulkan ketidak adilan dan kurang tepatnya pemanfaatan hasil pajak rokok. Rumusan masalah dalam penelitian disertasi ini: mengapa terjadi inkonsistensi dan disharmonisasi hukum dalam pengaturan pajak rokok pada Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Bagaimanakah rekonstruksi pengaturan pajak rokok pada Undang-Undang No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dikaji dari asas keadilan, asas kemanfaatan dan asas kepastian hukum. Tujuan penelitian untuk memahami dan menganalisis terjadinya inkonsistensi dan disharmonisasi hukum pengaturan pajak rokok pada UndangUndang No. 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, dan untuk menemukan serta memformulasikan alternatif pengaturan pajak rokok pada undang-Undang No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah sesuai dengan asas keadilan, asas kemanfaatan dan asas kepastian hukum. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan filosofis (Philosofy Approach), pendekatan perundang-undangan, (Statute approach) pendekatan konseptual (conceptual approach) dan pendekatan historis (historical approach).Kesimpulan: Inkonsistensi dan disharmonisasi hukum dalam pengaturan pajak rokok pada Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi daerah terjadi karena pembentuk undang-undang menyamakan pajak daerah dengan surcharge, sifat pajak rokok yang obyektif, belum konsistennya arah fungsi pemungutan pajak rokok, kearah fungsi budgetair atau fungsi regulerend, dan kurang tepatnya pemanfaatan pajak rokok. Rekonstruksi pengaturan pajak rokok dikaji dari asas keadilan: distribusi pembagian hasil pajak rokok didasarkan pada jumlah hasil riil pemungutan pajak rokok pada masing-masing daerah provinsi dan kabupaten/ kota. Rekonstruksi pengaturan pajak rokok dikaji dari asas kemanfaatan: diperlukan pemisahan sumber pembiayaan bagi pelayanan kesehatan masyarakat yang terkena penyakit akibat dampak asap rokok, dan rekonstruksi pengaturan pajak rokok dikaji dari asas kepastian hukum, perubahan ketentuan Pasal 1 angka 19 dan Pasal 27 UndangUndang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Rekomendasi yang diberikan yaitu: Pemerintah perlu menegaskan arah fungsi regulerend dalam pemungutan pajak rokok dengan meningkatkan jumlah tarif pajak rokok. Dewan Perwakilan Rakyat dan pemerintah perlu merubah Pasal 1 Angka 19 menjadi: pajak rokok adalah pajak atas pembelian rokok yang dipungut oleh pemerintah terhadap wajib pajak rokok, atau Pajak rokok adalah pajak atas pembelian rokok yang dipungut oleh pemerintah melalui Kantor Bea dan Cukai terhadap wajib pajak rokok. Pasal 27 ayat (4) menjadi: Pajak rokok yang dipungut oleh instansi pemerintah sebagai-mana dimaksud pada ayat (3) disetor direkening kas umum daerah secara proporsional berdasarkan hasil riil pemungutan pajak rokok pada wilayah provinsi, kabupaten/kota. Pasal 27 ditambah satu ayat lagi, yaitu: ayat (6) Akibat hukum yang timbul dari peralihan kewenangan pemungutan pajak rokok sesuai dengan ayat (3) dan ayat (5) di atas diselesaikan melalui ketentuan yang telah ditetapkan dalam undang-undang ini dan/atau peraturan daerah provinsi setempat. Pemerintah daerah provinsi, kabupaten/kota perlu membentuk Balai Pengobatan Paru-Paru yang khusus melayani masyarakat yang terkena penyakit akibat dampak asap rokok sehingga terlihat dengan nyata alokasi dari hasil pajak rokok
Item Type: | Thesis (Doctor) |
---|---|
Identification Number: | DIS/336.278 679 73/ABD/p/2015/061607606 |
Subjects: | 300 Social sciences > 336 Public finance > 336.2 Taxes |
Divisions: | S2/S3 > Doktor Ilmu Hukum, Fakultas Hukum |
Depositing User: | Budi Wahyono Wahyono |
Date Deposited: | 28 Dec 2016 13:59 |
Last Modified: | 21 Apr 2022 03:06 |
URI: | http://repository.ub.ac.id/id/eprint/160394 |
![]() |
Text
MINOLLAH.pdf Download (4MB) |
Actions (login required)
![]() |
View Item |