Susianto (2015) Rekonstruksi Pengaturan Pola Hubungan Kewenangan Antara Kepala Daerah Dengan Wakil Kepala Daerah Dalam Sistem Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah. Doctor thesis, Universitas Brawijaya.
Abstract
Problematikafilosofisdari penelitian ini antara lain meliputi:(a) ontologis, Wakil Kepala Daerah (WKDH) yang secara paket (berpasangan) dengan Kepala Daerah (KDH) yang dipilih oleh rakyat secara langsungdan demokratis hakekatnya adalah mempunyai legitimasi yang sama dengan KDH, memiliki kedaulatandan seharusnya berdaulat serta mempunyai wewenang yang sama pula dengan KDH. (b) epistemologis,Wakil Kepala Daerah (WKDH) selaku pemegang kedaulatan rakyat, seharusnya tugas dan wewenang WKDH diatur secara jelas, tegas dan secara rinci dalam peraturan perundang-undangan. (c) aksiologis, problematika ontologis dan problematika epistemologis tersebut diatas, telah berakibat tidak adanya keadilan politik dan tidak adanya kepastian hukum bagi Wakil Kepala Daerah. Problematika yuridisantara lain dikarenakan: (a) Adanya norma yang kabur(vague norm) mengenai tugas dan kedudukan Wakil Kepala Daerah (WKDH) sejak Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965 sampai dengan Undang- Undang 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Khususnya pada pasal 66 ayat (1)UU 23 Tahun 2014 disebutkan bahwa tugas Wakil Kepala Daerah “membantu”Kepala Daerah. Adanya norma yang kabur inilah menjadi pemicu terjadinya pecah kongsi antara KDH dengan WKDH (b) Adanya norma yang tidak lengkap (uncompletly of norm)karena tidak ada, tidak diatur mengenai kewenanganWakil Kepala Daerah dalam Undang-Undang 23 Tahun 2014.Inilah problematika yuridis yang menjadi pemicu terjadinya ketidakhamonisan, pecah kongsi atau disharmonihubungan antara Kepala Daerah dengan Wakil Kepala Daerah dalam menjalankan pemerintahan daerah Problematika teoritis antara lain disebabkan terjadinya inkonsitensi atau benturan antara teori kewenangan dengan kenyataanya. Seharusmya dalam pembagian tugas dan wewenang antara Kepala Daerah (KDH) dengan Wakil Kepala Daerah (WKDH) harus diatur job discription dalam bentuk yang jelas, kongkrit, tegas dan secara rinci. Dalam hal ini Wakil Kepala Daerah yang dipilih secara langsung oleh rakyat mempunyai kedaulatanakan tetapi tidak memiliki kewenangan.Karena terjadi inkonsistensiinilah berakibat tugas Wakil Kepala Daerah tidak bisa berjalan dengan baik, tidak terukur keberhasilannya dan tidak dapat dipertanggungjawabkan viii Problematika sosiologis antara lain karena terjadi pecah kongsi dan terjadi disharmoni (ketidakharmonisan)atau tidak sejalannya antara Kepala Daerah (KDH) dan Wakil Kepala Daerah (WKDH) dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, telah berakibat masyarakat menjadi resah dan dirugikan karena pelayanan publik yang tidak maksimal dan tidak memuaskan. Bahkan, pada kenyataannya akibat terjadinya disharmoni tersebut telah berdampak terjadinya konflik antar masyarakat atau antar pendukung KDH dengan pendukung WKDH yang secara politis berasal dari partai politik yang berbeda. Bertolak dari latar belakang masalah di atas terdapat 2 (dua) isu hukum yaitu: (1) Mengapa sejak Undang-Undang No. 18 Tahun 1965 sampai dengan Undang- Undang Nomor 9 Tahun 2015 Hubungan antara Kepala Daerah dengan Wakil Kepala Daerah Tidak Harmonis? (2) Bagaimana Rekonstruksi Pengaturan Pola Hubungan Kewenangan Antara Kepala Daerah Dengan Wakil Kepala Daerah Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah? Metode penelitian dalam Disertasi ini ini diawali dengan jenis penelitian, yaitu penelitian hukum normatif. Sedangkan pendekatan masalah yang dipergunakan meliputi: (1) Pendekatan filosofis, (2) Pendekatan konseptual, (3) Pendekatan Perundang-undangan, (4) Pendekatan sejarah, (5) Pendekatan Perbandingan. Adapun Sumber Bahan Hukum yang digunakan adalah sumber bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier.Tehnik pengumpulan dan pengolahan bahan hukum melalui studi pustaka atau studi dokumen.Setelah bahan hukum dikumpulkan, dilakukan analisa dengan menggunakan metode diskriptif analisis. Bertolak dari analisa, hasil pembahasan dan berdasarkan temuan-temuan peneliti dari keseluruhan problematika filsafati (ontologis, epistemologi dan aksiologi), problematika yuridis, problematika teoritis dan problematika sosiologis terhadap penelitian mengenai rekonstruksi pengaturan pola hubungan kewenangan antara Kepala Daerah dan Wakil Daerah dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Hubungan yang tidak harmonis antara antara Kepala Daerah dengan Wakil Kepala Daerah sebagaimana diatur oleh Undang-Undang No. 18 Tahun 1965 sampai dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 adalah disebabkan oleh beberapa hal yaitu: Pertama, politik hukum dibalik pengaturan tentang hubungan kewenangan antara Kepala Daerah dengan Wakil Kepala Daerah yang hanya sebagai “pembantu” atau hanya sebagai “ban serep” karena otoritarianisme model kepemimpinan daerah paternalistik. Kedua, karena sebab norma yang tidak lengkap (uncompletly of norm) karena tidak ada atau tidak diatur mengenai wewenang Wakil Kepala Daerah dalam menjalankan tugas dalam menyelenggarakan pemerintahan daerah; 2. Rekonstruksi pengaturan yang harus dilakukan dalam menata pola hubungan kewenangan antara Kepala Daerah dengan Wakil Kepala Daerah yang harmonis adalah: Pertama,harus dilakukan rekonstruksi pengaturan terhadap norma yang kabur (vaque norm) supaya lebih jelas, tegas dan rinci; Kedua, mutlak harus dibuat rekonstruksi pengaturan atau penambahan terhadap norma yang tidak lengkap (uncompletly of norm) mengenai wewenang Wakil Kepala Daerah ix Dari hasil kesimpulan tersebut diatas, Peneliti memberikan saran-saran kepada Pemerintah (dalam hal ini eksekutif) dan DPR RI (dalam hal ini legislatif) sebagai lembaga pembuat Undang-Undang harus segera melakukan rekonstruksi pengaturan yaitu Pertama, melakukan Perubahan Ketiga atas Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 mengenai tugas dan wewenang Wakil Kepala Daerah yang sebelumnya sudah dilakukan perubahan pertama yaitu UU Nomor 2 Tahun 2015 dan UU Nomor 9 Tahun 2015 yang merupakan perubahan kedua atas UU 23 Tahun 2014. Kedua, konstruksi pengaturan yang kabur (vague norm) pada pasal 66 ayat (1) UU 23 Tahun 2014 dan adanya norma yang tidak lengkap (uncompletly of norm)tidak ada atau tidak diatur pengaturan mengenai wewenang Wakil Kepala Daerah maka mutlak harus dilakukan rekonstruksi pengaturan mengenai job discription Wakil Kepala Daerah yang lebih jelas, tegas dan secara rinci dalam peraturan perundang-undangan untuk menciptakan keadilan politik dan kepastian hukum. Kata Kunci :Perubahan Ketiga Undang-Undang Pemerintahan Daerah. Hal Ihwal Tugas dan Wewenang Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.
Item Type: | Thesis (Doctor) |
---|---|
Identification Number: | DIS/320.8/SUS/r/2015/061505062 |
Subjects: | 300 Social sciences > 320 Political science (Politics and government) > 320.8 Local government |
Divisions: | S2/S3 > Magister Ilmu Hukum, Fakultas Hukum |
Depositing User: | Endang Susworini |
Date Deposited: | 17 Sep 2015 13:58 |
Last Modified: | 17 Sep 2015 13:58 |
URI: | http://repository.ub.ac.id/id/eprint/160373 |
Actions (login required)
![]() |
View Item |