Sulistyaningrum, IkaSari (2012) The Implementation of Tourism Policy in Preserving Local Culture: A Comparative Study between Yogyakarta Special Region (Indonesia) and Kyoto Prefecture (Japan). Magister thesis, Universitas Brawijaya.
Abstract
Penelitian ini bertujuan untuk memeriksa dan membandingkan implementasi kebijakan pariwisata terutama dalam melestarikan budaya lokal, termasuk `budaya nyata seperti warisan dan arsitektur serta` budaya tidak berwujud` seperti kinerja seni dan praktik sosial antara Daerah Istimewa Yogyakarta, Indonesia dan Prefektur Kyoto, Jepang. Penelitian ini berupaya menjawab tiga pertanyaan penelitian: 1) Strategi apa yang dilakukan oleh pemerintah daerah Kyoto dan Yogyakarta untuk merekonsiliasi dilema antara menarik wisatawan untuk datang dan pada saat yang sama melestarikan budaya lokal. 2) Apa faktor pembatasan dan pendukung untuk implementasi kebijakan pariwisata dalam melestarikan budaya lokal di kedua wilayah. 3) Apakah ada karakteristik spesifik kebijakan pariwisata dalam melestarikan budaya lokal di Kyoto bahwa Yogyakarta dapat mengambil sebagai pelajaran dan sebaliknya. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dan menggunakan model Sabatier dan Mazmania sebagai alat analisis pada proses implementasi. Studi ini menemukan bahwa pariwisata di Yogyakarta dan Kyoto berkontribusi baik untuk meningkatkan ekonomi dan mempromosikan budaya. Namun disarankan bahwa pariwisata sebagai salah satu aspek globalisasi mungkin berdampak pada komunitas lokal seperti gangguan budaya lokal. Oleh karena itu, perlu bagi pemerintah untuk mengembangkan kebijakan untuk mempromosikan pariwisata berkelanjutan yang tidak hanya mempertimbangkan aspek ekonomi tetapi juga aspek budaya. Sejalan dengan ini, terkait dengan implementasi kebijakan khususnya strategi dalam menarik wisatawan untuk datang dan pada saat yang sama melestarikan budaya lokal, penelitian ini mengidentifikasi bahwa kedua daerah berusaha mempertahankan pariwisata berdasarkan pelestarian budaya lokal. Pertama, kedua daerah merumuskan kebijakan yang jelas dan konsisten berurusan dengan pariwisata dan melestarikan budaya lokal dengan mengeluarkan beberapa peraturan. Selain itu, kedua pemerintah daerah juga mencoba untuk meningkatkan dukungan publik dan dukungan media dalam mempromosikan pariwisata serta melestarikan budaya lokal. Selain itu, kedua daerah juga memiliki beberapa program atau kegiatan untuk mendukung implementasi kebijakan. Selanjutnya, penelitian ini juga menemukan bahwa ada beberapa faktor pembatasan dan pendukung dalam mengimplementasikan kebijakan pariwisata dalam melestarikan budaya lokal di kedua wilayah. Dalam kasus Yogyakarta, ada tiga faktor konstraining yaitu: 1). Kondisi sosial (pengaruh budaya modern lebih cepat daripada program pelestarian budaya yang disiapkan oleh pemerintah, partisipasi terbatas, dan rendahnya kesadaran orang dalam memperkuat ketahanan budaya lokal). 2) Karakteristik lembaga pelaksana (kurangnya staf yang berkualifikasi atau sumber daya manusia berurusan dengan urusan budaya). 3). Sumber daya keuangan (anggaran terbatas dalam mendukung program). Sementara itu di sisi Kyoto Faktor konstraining dalam melaksanakan kebijakan pariwisata dalam melestarikan budaya lokal adalah: kondisi sosial (tekanan pembangunan perkotaan). Selain itu faktor-faktor yang membatasi di atas, penelitian ini juga mengidentifikasi beberapa faktor pendukung dalam mengimplementasikan kebijakan pariwisata dalam melestarikan budaya lokal di kedua wilayah. Dalam konteks ini, di Yogyakarta, ada tiga faktor pendukung. Pertama, keterampilan komitmen dan kepemimpinan dari pejabat implementasi menjadi faktor kunci dalam menerapkan pelestarian budaya sejak Yogyakarta memiliki pemimpin karismatik, yaitu Sri Sultan HB X yang memiliki posisi tidak hanya sebagai gubernur tetapi juga didukung oleh Raja. oleh sikap kelompok konstituensi yang toleransi masyarakat dalam keanekaragaman. Faktor pendukung lainnya adalah kondisi lingkungan. Yogyakarta dianggap sebagai lingkungan kemudahan untuk hidup dan memelihara budaya. Sementara itu dari Kyoto, ada tiga faktor pendukung: 1) dukungan publik. 2) Dukungan keuangan yang memadai untuk menerapkan program. 3) dukungan teknologi. Selain itu, penelitian ini mengidentifikasi karakteristik khusus kebijakan pariwisata terutama berurusan dengan melestarikan budaya lokal di Kyoto dari mana Yogyakarta dapat belajar sebagai pelajaran dan sebaliknya. Dari praktik kebijakan pariwisata dalam melestarikan budaya lokal yang dilakukan oleh Kyoto, Yogyakarta dapat mempelajari pelajaran tentang bagaimana lembaga pelaksana (pemerintah) lebih memperhatikan budaya lokal dengan menyediakan anggaran yang cukup dan mengundang donasi dari masyarakat. Selanjutnya, Yogyakarta dapat mempelajari tentang cara bagaimana Kyoto mengoptimalkan penggunaan teknologi (seperti Internet) untuk mendukung melestarikan program budaya lokal. Selain itu, dalam hal manajemen budaya berwujud, Yogyakarta dapat belajar tentang cara Pemerintah promosi pariwisata Prearo Kyoto untuk warisan dengan memberikan informasi detail kepada orang-orang di dalam dan di luar Jepang dan menyediakan area warisan pameran yang memadai. Selanjutnya, terkait dengan manajemen budaya tidak berwujud, upaya pemerintah Kyoto untuk mengundang partisipasi masyarakat untuk melestarikan budaya lokal dengan mendukung `Perjanjian Komunitas` dan menghargai orang untuk mempraktikkan budaya lokal dalam hidup sehari-hari dapat dipraktikkan pada kearifan lokal. Sementara itu untuk Kyoto, pengaruh langsung dari Sultan dan Keluarga Kerajaan dalam peristiwa sejarah dapat diambil sebagai pelajaran untuk memperkuat kesadaran warga untuk melestarikan nilai budaya tradisional. Akhirnya, penelitian ini memberikan beberapa pelajaran untuk perbaikan lebih lanjut. Bagi Yogyakarta, kebijakan yang merumuskan harus didasarkan pada nilai budaya Yogyakarta. Budaya Jawa harus ditambahkan sebagai bahan dalam pendidikan sekolah. Promosi peristiwa budaya selanjutnya harus dilakukan di semua tingkat domestik maupun internasional. Sementara itu, untuk Kyoto, menyebarkan tindakan tindak lanjut dari program penelitian dan pelatihan ilmiah tentang manajemen risiko warisan di situs web yang cocok tampaknya bermanfaat untuk meningkatkan konservasi risiko situs warisan di Kyoto.
English Abstract
This study is aimed to examine and compare the implementation of tourism policy particularly in preserving local culture, including `tangible culture`such as heritage and architecture as well as `intangible culture` such as art performance and social practices between Yogyakarta Special Region, Indonesia and Kyoto Prefecture, Japan. This study attempts to answer three research questions: 1) What strategies are done by both local government of Kyoto and Yogyakarta to reconcile the dilemma between attracting tourist to come and at the same time preserving local culture; 2)What are the constraining and supporting factors for the implementation of tourism policy in preserving local culture in both regions; 3) Is there any specific characteristic of tourism policy in preserving local culture in Kyoto that Yogyakarta can take as a lesson and vice versa. This study uses qualitative research method and uses Sabatier and Mazmanian model as a tool of analysis on implementation process. This study finds that tourism in Yogyakarta and Kyoto contributes both to increase economy and promote culture. However it is suggested that tourism as one of globalization aspects may have an impact for local community such as the disruption of local culture. Therefore , it is necessary for the government to develop policy to promote sustainable tourism which not only considers the economic aspect but also the cultural aspect. In line with this, related to the implementation of the policy particularly the strategy in attracting tourist to come and at the same time preserving local culture, this study identifies that both regions try to maintain tourism based on preservation of local culture. First, both regions formulate a clear and consistent policy dealing with tourism and preserve local culture by issuing some regulations. Besides, both local governments also try to improve public support and media support in promoting tourism as well as preserving local culture. In addition, both regions also have some programs or activities to support the implementation of the policy. Furthermore, this study also finds that there are some constraining and supporting factors in implementing tourism policy in preserving local culture in both regions. In Yogyakarta case, there are three constraining factors which are: 1). Social condition ( the influence of modern culture is faster than the cultural preservation program prepared by the government, limited participation, and low awareness of people in strengthening the resilience of local culture); 2) Characteristic of implementing agencies (lack of qualified staff or human resources dealing with cultural affairs);3). Financial resources (limited budget in supporting the program). Meanwhile in Kyoto side the constraining factor in implementing tourism policy in preserving local culture are: Social condition (urban development pressure). Besides those constraining factors above, this study also identifies some supporting factors in implementing tourism policy in preserving local culture in both regions. In this context, in Yogyakarta, there are three supporting factors. Firstly, commitment and leadership skill of implementing officials becomes the key factor in implementing cultural preservation since Yogyakarta has a charismatic leader, namely Sri Sultan HB X who has a position not only as a governor but also as a king.Secondly, it is also supported by the attitude of constituency groups which is society tolerance in diversity. Other supporting factor is environment condition. Yogyakarta is considered as convenience environment for living and maintaining culture. Meanwhile from Kyoto, there are three supporting factors: 1) Public support; 2) Sufficient financial support for implementing the program; 3) Technological support. In addition, this study identifies the special characteristic of tourism policy particularly dealing with preserving local culture in Kyoto from which Yogyakarta can learn as lesson and vice versa. From the practice of tourism policy in preserving local culture done by Kyoto, Yogyakarta can learn a lesson about how the implementing agencies (government) pay more attention to preserve local culture by providing sufficient budget and invite donation from community. Furthermore, Yogyakarta can learn about the way how Kyoto optimizes the use of technology (such as internet) to support preserving local culture program. In addition, in terms of management of tangible culture, Yogyakarta can learn about the way the government of Kyoto prepars tourism promotion for Heritage by providing detail information to people inside and outside Japan and provide adequate exhibition facilities inheritage area. Furthermore, related to management of intangible culture, Kyoto government efforts to invite community participation to preserve local culture by supporting `community agreement` and appreciating people to practice local culture in daily live can be taken into practice in Yogyakarta based on local wisdom. Meanwhile for Kyoto, direct influence of Sultan and royal Family in historical event may be taken as a lesson in order to strengthen citizens awareness to preserve traditional culture value. Finally, this study provide some lessons for further improvement. For Yogyakarta, formulating policy should be based on Yogyakarta cultural values. Javanese culture should be added as a material in school education. Further promotion of cultural event should be conducted in all level both domestic and international. Meanwhile, for Kyoto, spreading out the follow up action of scientific research and training programs on heritage risk management on a suitable website seems beneficial to improve conservation of heritage site risk in Kyoto.
Item Type: | Thesis (Magister) |
---|---|
Identification Number: | TES/354.73/SUL/i/041205650 |
Subjects: | 300 Social sciences > 354 Public administration of economy and environment > 354.7 Public administration of commerce, communications, transportation |
Divisions: | S2/S3 > Magister Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik |
Depositing User: | Endro Setyobudi |
Date Deposited: | 11 Jan 2013 14:34 |
Last Modified: | 11 Jan 2013 14:34 |
URI: | http://repository.ub.ac.id/id/eprint/157038 |
Actions (login required)
![]() |
View Item |