Anwar, Khoirul (2011) Kajian Yuridis tentang “Pengalihan Hak Kepemilikan” Pasal 1 Ayat (1) Undang-Undang No. 42 Tahun 1999 yang Bertentangan dengan Pasal 33 Undang-Undang No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia. Magister thesis, Universitas Brawijaya.
Abstract
Lembaga pembiayaan dalam pemberian kredit umumnya menggunakan jaminan fidusia sebagai jaminan untuk perjanjian hutang piutangnya. Fidusia ini disebut juga dengan istilah penyerahan hak milik secara kepercayaan dalam bahasa indonesianya. “Dalam terminologi belandanya sering disebut dengan istilah lengkapnya berupa fiduciare eigendom overdracht, sedangkan dalam bahasa Inggrisnya secara lengkap sering disebut dengan istilah Fiduciary Transfer of Ownership. Pasal 1 ayat 1 Undang-undang No. 42 Tahun 1999 tentang jaminan fidusia, menyatakan bahwa fidusia adalah pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan tetap dalam penguasaan pemilik benda. Sedangkan, Pasal 33 Undang-undang No. 42 Tahun 1999 menyatakan,bahwa setiap janji yang memberikan kewenangan kepada penerima fidusia untuk memiliki benda yang menjadi obyek jaminan fidusia apabila debitur cidera janji adalah batal demi hukum. Kelihatannya secara sepintas memang tidak ada pertentangan yang menyolok antara kedua pasal tersebut, akan tetapi kalau kita cermati kedua pasal tersebut sebenarnya bertentangan. Khususnya berkaitan dengan pengalihan hak kepemilikan yang ada dalam pasal 1 ayat (1) Undang-Undang No. 42 Tahun 1999. Fidusia sebagai jaminan merupakan suatu bentuk perjanjian tersendiri, terkait erat dengan perjanjian hutang piutang. Ketentuan kedua perjanjian terletak pada kedudukan masing-masing perjanjian tersebut. Perjanjian hutang piutang merupakan perjanjian pokok, sedangkan perjanjian jaminan fidusia merupakan perjanjian accesoir. Perjanjian accesoir konstruksi penyerahan hak milik pada si perpiutang dengan syarat batal adalah tidak perlu, karena perjanjian ini bersifat accesoir maka dengan dibayarnya hutang pada saat itu juga benda kembali pada debitur, seperti halnya hak-hak jaminan lainnya hak eigondom ini melekat/mengikuti pada kreditur. Sebaliknya, apabila debitur melakukan ingkar janji(wanprestasi) maka benda jaminan menjadi milik kreditur. Dalam upaya untuk mengetahui maksud pengalihan hak kepemilikan yang terdapat dalam Pasal 1 Ayat (1) Undang-undang No. 42 Tahun 1999 tentang jaminan fidusia, yang bertentangan dengan pasal 33 Undang-Undang No. 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia dan untuk mengetahui konsekuensi hukum pengalihan hak kepemilikan tersebut, maka metode pendekatan yang dipakai adalah yuridis normatif, yaitu dengan mengkaji dan menganalisa bahan hukum, berupa bahan hukum primer, sekunder, maupun tersier yang terkait dengan pasal 1 ayat 1 Undang-undang No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia. Berdasarkan hasil penelitian penulis memperoleh jawaban atas permasalahan yang ada bahwa Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang No. 42 Tahun 1999, mengenai “pengalihan hak kepemilikan” merupakan sebuah janji yang akan menjadikan kreditur sebagai pemilik benda yang menjadi obyek jaminan apabila kreditur cidera janji (wanprestasi), sedangkan pasal 33 Undang-Undang No. 42 Tahun 1999 melarang adanya janji untuk menjadikan barang jaminan sebagai milik kreditur apabila kreditur cidera janji, dengan ancaman batal demi hukum. Larangan adanya janji untuk memiliki benda yang menjadi obyek jaminan fidusia apabila debitur cidera janji adalah sudah selaras dengan asas hukum jaminan. Jadi pasal 1 ayat (1) Undang-Undang No. 42 Tahun 1999 yang seharusnya dirubah, karena dapat menimbulkan penafsiran keliru, sehingga merugikan pihak kreditur, dan sekaligus bertentangan dengan asas hukum jaminan. Pengalihan hak kepemilikan dalam pasal 1 ayat (1) Undang-Undang No. 42 Tahun 1999 kaitannya dengan pasal 33 Undang-Undang No. 42 Tahun 1999 mengandung konsekuensi batal demi hukum/perjanjian fidusia dianggap tidak pernah terjadi. Konsekuensi ini dapat terjadi apabila kita konsisten terhadap pengertian pengalihan hak kepemilikan yang terdapat pada pasal 1 ayat 1 Undang-Undang No. 42 Tahun 1999 . Tetapi ketentuan dalam pasal 33 Undang-Undang No. 42 Tahun 1999 menjadi dikesampingkan baik dalam Undang-Undang No. 42 Tahun 1999 maupun dalam perjanjian-perjanjian antara kreditur dan debitur dalam masyarakat, karena adanya pasal 1 ayat 1 Undang-Undang No. 42 Tahun 1999, yang dimana menjadi dasar dari berlakunya Undang-Undang No. 42 Tahun 1999 tersebut.
English Abstract
Financing institutions in the lending fiduciary is generally used as collateral for the debt covenant claims. This fiduciary is also called a surrender of property rights in the trust in the Indonesian language. "In the Dutch terminology is often referred to as the full form of fiduciare eigendom overdracht, whereas in English the complete often referred to as Fiduciary Transfer of Ownership. Article 1 paragraph 1 of Law. 42 Year 1999 on fiduciary, stating that the fiduciary is a transfer of ownership of an object on the basis of trust provided that the objects are transferred ownership rights remain in control of the object owner. Meanwhile, Article 33 of Law No. 42 of 1999 states that every promise that authorizes the recipient has a fiduciary for objects that become the object of fiduciary breach of contract if the debtor is null and void. It seems at first glance there is no striking contradiction between the two aforementioned article, but if we look at these two chapters are actually contradictory. Particularly in relation to the transfer of existing ownership rights in Article 1 paragraph (1) of Act No. 42 of 1999. Fiduciary as a form of collateral arrangements, closely related to the promissory note receivable. Terms of the two agreements lies in the position of each agreement. Promissory note receivable is a principal agreement, while the treaty is a treaty accesoir fiduciary. Construction accesoir Agreement on the transfer of property void perpiutang condition is not necessary, because of this agreement are accesoir then to pay the debt in that same object back to the debtor, as well as other rights guaranteed eigondom rights are attached/to follow the creditors. Conversely, if the debtor did broken promise (default) then the object belongs to the lender guarantees. In an effort to know the purpose of transfer of property rights contained in Article 1, Paragraph (1) of Law No. 42 Year 1999 regarding the fiduciary, which is contrary to article 33 of Law No. Warranty 42 Year 1999 on Fiduciary and to determine the legal consequences of the transfer of ownership rights, then the approach used is the juridical normative, that is by reviewing and analyzing legal materials, legal materials in the form of primary, secondary, and tertiary associated with article 1 paragraph 1 of law No. 42 of 1999 on Fiduciary Warranty. Based on the results of the study authors to obtain answers to existing problems that Article 1 paragraph (1) of Act No. 42 of 1999, regarding the "transfer of ownership" is a promise that would make the lender as owner of the object that the object of collateral if the creditor default (default), while Article 33 of Law No. 42 of 1999 forbids the existence of a promise to make the collateral as a creditor if the creditors breach of contract, with the threat null and void. Ban the pledge to have the object become the object of fiduciary breach of contract if the debtor is already in tune with the principle of legal guarantees. Thus Article 1 paragraph (1) of Act No. 42 of 1999 which should be changed, because it can lead to erroneous interpretations, to the detriment of the creditors, and also against the principle of insurance law. The transfer of ownership rights in article 1, paragraph (1) of Act No. 42 of 1999 related to Article 33 of Law No. 42 of 1999 has the consequence null and void/fiduciary agreement is considered never happened. These consequences can occur if we are consistent to the notion that there is a transfer of ownership rights in article 1 paragraph 1 of Law No. 42 of 1999. But the provisions in Article 33 of Law No. 42 of 1999 be set aside either in Law No. 42 of 1999 as well as in agreements between creditors and debtors in society, because of Article 1 paragraph 1 of Law No. 42 Year 1999, which became the basis of the enactment of Law No. 42 of 1999 it.
Item Type: | Thesis (Magister) |
---|---|
Identification Number: | TES/346.043 6/ANW/041103869 |
Subjects: | 300 Social sciences > 346 Private law |
Divisions: | S2/S3 > Magister Ilmu Hukum, Fakultas Hukum |
Depositing User: | Endro Setyobudi |
Date Deposited: | 18 Oct 2011 13:08 |
Last Modified: | 18 Oct 2011 13:08 |
URI: | http://repository.ub.ac.id/id/eprint/156448 |
Actions (login required)
![]() |
View Item |