Kumara, Shakty (2011) Kriminalisasi Kumpul Kebo (Samen Leven) dalam Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia. Magister thesis, Universitas Brawijaya.
Abstract
Manusia ditakdirkan untuk membentuk keluarga, minimal dua orang yaitu laki-laki dan perempuan. Pembentukan keluarga tersebut haruslah melalui perkawinan yang sah. Kumpul kebo ( Samen Leven ) adalah pembentukan keluarga yang dilakukan tanpa adanya ikatan perkawinan yang tidak sah. Namun di Indonesia belum ada peraturan perundang-undangan yang mengaturnya. Dasar-dasar pertimbangan perlunya dikriminalisasikan kumpul kebo yaitu; Pertama , dilihat dari pentingnya suatu ikatan perkawinan yang sah, yang dapat menjamin hak dan kewajiban dari suami dan isteri, dapat menentukan status kedudukan anak, dan harta waris. Kedua , dilihat dari yang terkandung dalam nilai-nilai Pancasila sila kesatu sampai kelima. Ketiga , karena dianggap masalah sosial yang perlu ditanggulangi dan perbuatan Kumpul Kebo ( Samen Leven ) tidak dapat dikatakan sebagai hak asasi manusia karena tidak diatur dalam deklarasi hak asasi manusia, Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945, dan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang hak asasi manusia. Keempat , dilihat dari perbandingan KUHP Negara-negara lain yang telah mengaturnya. Penulis sependapat dengan pengaturan Kumpul Kebo ( Samen Leven ) yang dirancang dalam rancangan kitab undang-undang hukum pidana pada konsep tahun 1999/2000, yang mengatakan bahwa laki-laki dan perempuan yang membentuk sebuah keluarga tanpa adanya suatu ikatan perkawinan yang sah menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku akan dapat dikenakan sanksi pidana. Namun perbuatan kumpul kebo ini harus ada sebuah laporan dari pihak ketiga, seperti; keluarga yang bersangkutan, lurah atau kepala desa, yang diketahui berdasarkan keterangan dari warga setempat. Penulis memberikan saran, karena banyaknya perbuatan Kumpul Kebo ( Samen Leven ) di kota-kota atau daerah-daerah tertentu, namun belum adanya peraturan perundang-undangan yang mengaturnya, alangkah baiknya apabila dibentuknya suatu perda (peraturan daerah), seperti yang telah dilakukan di kota Batam dalam Perda Nomor 6 Tahun 2002 tentang ketertiban sosial pasal 7 ayat (3) dan (4).
English Abstract
Humans are destined to found a family, at least two of the men and women. Family formation through marriage must be valid. Cohabiting ( Samen Leven ) is a family establishment that is done without the bond of marriage is not valid. But in Indonesia there are no laws and regulations that govern them. The basics of the need for consideration of cohabiting criminalized namely: First, judging from the importance of a valid marriage bond, which can guarantee the rights and obligations of husband and wife, can determine the status of the position of children, and property inheritance. Second, judging from that contained in the values of Pancasila principles of unity until the fifth. Third, because it is considered a social problem that needs to be addressed and action cohabiting ( Samen Leven ) can not be said as a human right because it is not stipulated in the declaration of human rights, the Constitution of the Republic of Indonesia, 1945, and Law No. 39 of 1999 on of human rights. Fourth, judging from the comparison of the Criminal Code Other countries that have been set. The author agrees with cohabiting arrangements ( Samen Leven ) designed in the draft statute-books on the concept of criminal law in 1999/2000, which says that men and women who form a family, without a valid marriage according to the laws and regulations law and regulations will be subject to criminal sanctions. But this act of cohabiting there should be a report from a third party, such as family is concerned, headman or village head, who is known based on information from local residents. The author gives advice, because it has much to do the deed cohabiting ( Samen Leven ) in the towns or certain regions, but the absence of laws and regulations that govern it, it would be nice if the establishment of a regulation (regulatory regions), as has been conducted in the city of Batam in the regulation No. 6 of 2002 concerning social order article 7 paragraph (3) and (4).
Item Type: | Thesis (Magister) |
---|---|
Identification Number: | TES/346.015/KUM/k/041201248 |
Subjects: | 300 Social sciences > 346 Private law > 346.01 Persons and domestic relations |
Divisions: | S2/S3 > Magister Ilmu Hukum, Fakultas Hukum |
Depositing User: | Endro Setyobudi |
Date Deposited: | 22 Nov 2012 12:52 |
Last Modified: | 22 Nov 2012 12:52 |
URI: | http://repository.ub.ac.id/id/eprint/156358 |
Actions (login required)
![]() |
View Item |