Gunaryanto, Nanang (2014) Kajian Kritis terhadap Putusan Hakim yang Menjatuhkan Pidana Lebih Ringan dari Ancaman Pidana Minimum Khusus dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi. Magister thesis, Universitas Brawijaya.
Abstract
Pada kenyataan hakim dalam memutuskan perkara tindak pidana korupsi lebih banyak menekankan pada keyakinannya, daripada berdasarkan kepastian hukum mengenai adanya pidana minimum khusus dan pidana maksimum khusus. Masih banyak dijumpai hakim memutuskan perkara pidana korupsi dengan pidana penjara dibawah minimum khusus. Ini merupakan fakta yang terjadi dari beberapa perkara tindak pidana korupsi yang ada. Sehingga permasalahan yaitu putusan hakim dalam memutuskan perkara tipikor lebih ringan dari sanksi ancaman pidana minimum bertentangan dengan kaidah hukum Cq. Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 dan kebebasan hakim tidak dapat digunakan sebagai dasar memutus perkara tipikor bertentangan dengan ketentuan Undang-undang. Karena tujuan yang akan dicapai adalah ilmu hukum secara mendalam mengenai sumber hukum antara pemidanaan dengan kewenangan hakim dalam memutus perkara bertentangan dengan batasan yang ditetapkan oleh undang-undang secara normatif dan batasan hakim dalam memutuskan perkara tidak semata-mata pada pertimbangan dalam kebebasan berdasarkan keyakinannya saja sehingga bertentangan dengan ketentuan undang-undang. Metode yang dipergunakan dalam melakukan penelitian ini adalah dengan menggunakan penelitian normatif dengan menggunakan pendekatan undang-undang. Undang-undang yang dimaksud adalah Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Undang-undang tersebut menjadi dasar berpijak hakim dalam menggali nilai-nilai hukum dan rasa keadilan masyarakat. Sehingga cenderung untuk mengunakan keyakinannya dalam memutus perkara tindak pidana korupsi yang secara pasti telah diatur pembatasan sanksi penjara dengan menetapkan pidana minimum khusus dan pidana maksimum khusus. Permasalahan tersebut diuji dengan menggunakan teori kritis dan teori progresif. Karena dari putusan hakim dalam memutus perkara tindak pidana korupsi terjadi putusannya dibawah pidana minimum khusus. Oleh karena itu perlu dikaji secara kritis, dan yang perlu dikaji lebih mendalam adalah hakim melakukan progresif hukum dengan menggunakan rumusan pasal 5 ayat (1) undang-undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Sementara progresif yang dimaksud adalah menerobos positivisme hukum dalam undang-undang dengan alasan keadilan masyarakat. Keadilan masyarakat tersebut ditafsirkan hakim adalah termasuk terdakwa atau terpidana. Muncul pertanyaan, apakah ini yang dimaksud progresif hakim dalam memutus perkara tindak pidana korupsi. Terjadi pertentangan dalam penafsiran mengenai rasa keadilan masyarakat. Dalam melakukan penafsiran hakim telah melakukan generalisasi keadilan masyarakat tersebut juga termasuk bagi terdakwa atau terpidana. Pertentangan itu antara positivisme hukum pidana korupsi yang secara pasti telah disebutkan adanya pidana minimum khusus dan pidana maksimum khusus dengan hakim dengan menggunakan kekuasaannya untuk mencari rasa keadilan masyarakat. Upaya hakim dalam menerobos kekakuan hukum, khususnya pidana korupsi perlu dilihat, apakah benar hakim memiliki pandangan berdasarkan pada rasa keadilan. Lalu keadilan yang dimaksud itu rasa keadilan untuk siapa. Pasal 5 ayat (1) Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 itu jelas menyebutkan “rasa keadilan masyarakat”. Subyek yang disebutkan adalah “masyarakat”. Masyarakat tentunya adalah majemuk pada semua orang yang bersifat umum. Karena di dalamnya terkandung kepentingan umum yang dapat dinikmati oleh masyarakat secara umum. Berupa fasilitas umum yang dibangun berasal dari uang negara. Sementara negara salah satu unsurnya adalah rakyat atau masyarakat. Tingkat kerugiaanya sangat berdampak luas bagi kehidupan dan bisa menimbulkan kesulitan dalam hidup, bahkan tidak bisa meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Bila kembali pada tujuan negara pada hakekatnya adalah pencapaian kesejahteraan. Sesuai pembahasan itu, maka disimpulkan bahwa putusan hakim dalam memutuskan perkara tipikor lebih ringan dari sanksi ancaman pidana minimumsebagaimana perbuatan yang melanggar pasal 2 ayat (1) Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-undang Nomor 20 tahun 2001, melanggar kaidah hukum cq. Undang-undang Tindak Pidana Korupsi dan dapat melunturkan jaminan kepastian hukum. Meskipun hakim termasuk sebagai pihak pembuat hukum (judge make law). Putusan Hakim yang dalam pertimbangannya menyatakan lebih mengutamakan aspek keadilan dan kemanfaatan, dengan mengesampingkan aspek kepastian akan menemui kesulitan dalam menetukan parameter atau mengukur rasa “adil” Karena bilamana hakim mengesampingkan kepastian hukum dalam hal menyangkut sanksi hukuman minimum khusus, maka akan cenderung dalam pertimbangannya lebih mengutamakan pertimbangan yang bersifat non yuridis dan akan lebih bersifat subyektif bagi kepentingan terdakwa. Dengan demikian adanya penyimpangan dalam menjatuhkan putusan tersebut terhadap norma-norma hukum yang dilanggar. Positivisme sangat penting dipergunakan dalam penanganan perkara tindak pidana korupsi, khususnya bagi terdakwa atau terpidana dengan pertimbangan rasa keadilan masyarakat, tapi disini masyarakat bukan pelaku yang dimaksud. Bahwa hakim memiliki kebebasan dalam memutuskan perkara, tetapi terikat dengan sistem hukum yang dianut. Keterikatan tersebut secara pasti telah ditentukan mengenai batasan minimum khusus terhadap sanksi hukuman. Contoh sebagaimana dalam ketentuan pasal 2 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, mengenai ancaman pidana penjara minimum khusus dengan pembatasan paling rendah selama 4 (empat) tahun.
English Abstract
In fact the judge in deciding the corruption case more emphasis on belief, rather than by the rule of law on criminal presence of specific minimum and maximum punishment special. Laumann judges decide cases of corruption and imprisonment under special minumum. It is a fact that occurred from several corruption cases that exist. So the problem is the decision of the judge in deciding the corruption case is lighter than the minimum criminal sanctions threat contrary to the rule of law and the independence of judges can be used as a basis for deciding cases contrary to the provisions of the Corruption Act. Because the goal to be achieved is the science of law in depth about the source of the authority of law between the sentencing judge in deciding the case of conflicting restrictions set by law as a normative and limit judges in deciding cases is not solely based on consideration of the freedom of belief only so contrary to the provisions of the law. The methods used in conducting this research is to use normative research using law approach. The law in question is the Law No. 48 Year 2009 on Judicial Power. The law became the basis of the judge rests in exploring the values of law and sense of justice. So that tends to use his faith in deciding the case of corruption that must have set restrictions on criminal sanctions set minimum prison with special and specific maximum punishment. Those problems were tested using critical theory and the theory of progressive. Because of the decision of the judge in deciding the case of corruption occurs criminal decision under special minimum. Therefore, it needs to be studied critically, and that needs to be studied more in depth is a progressive law judges using the formulation of Article 5 paragraph (1) of Law No. 48 of 2009 on Judicial Power. While the question is a break through progressive legal positivism in law for reasons of justice communities. The community justice judge interpreted the accused or convicted person is included. The question arises, whether it is progressive judges in deciding cases of corruption. There is a conflict in the interpretation of the sense of justice. In its interpretation, the judge has to generalize the community justice also includes the defendant or convict. The contradiction between legal positivism corruption that must have a minimum specific mention of the criminal and the maximum criminal judge specifically with using his power to seek justice community. Efforts to judge the stiffness bypass law, particularly criminal corruption needs to be seen that whether the judge has a view based on a sense of justice. Then justice is the sense of justice for anyone. Article 5 paragraph (1) of Act No. 48 of 2009 clearly states that "sense of justice" . Subjects mentioned is "public". Pluralistic society is of course to everyone who is general. Because it contains the public interest that can be enjoyed by the general public. Public facilities constructed in the form of money from the state. While the country is one of the elements of the people or society. Losses very large impact level for life and can lead to difficulties in life, can not even improve the welfare of society. When returning to the destination country is essentially the achievement of well-being. As per the discussion, it was concluded that the decision of the judge in deciding the corruption case is lighter than the minimum penalty of sanctions as an act that violates Article 2 paragraph (1) and Article 3 of Law No. 31 of 1999 in conjunction with Law No. 20 of 2001, violated rule of law and legal certainty can fade. Although the judges included as the law maker (judge make law). Judges decision is in the discretion states prefer the values of justice and expediency, with the exclusion of certainty will find it difficult to determine or measure the parameters of a sense of "fair" Because when a judge ruled out in terms of legal certainty regarding the specific minimum penalty, it will tend to give priority consideration in the deliberations over non juridical and will tend to be subjective to the interests of the accused. Thus the existence of irregularities in the verdict against legal norms are violated. Positivism is very important use in the handling of corruption cases, especially for the accused or convicted person by reason of the public s sense of justice, but here the people instead of actors in question. That judges have the freedom to decide the case , but is bound by legal systems. The attachment has been determined with certainty regarding the specific minimum limit on punitive sanctions. As the provisions of Article 2 of Law No. 31 of 1999 in conjunction with the Law No. 20 Year 2001 on Eradication of Corruption, the minimum criminal sanctions specifically with the lowest restriction for 4 (four) years.
Item Type: | Thesis (Magister) |
---|---|
Identification Number: | TES/345.023 23/GUN/k/041500108 |
Subjects: | 300 Social sciences > 345 Criminal law > 345.02 Criminal offenses |
Divisions: | S2/S3 > Magister Ilmu Hukum, Fakultas Hukum |
Depositing User: | Endro Setyobudi |
Date Deposited: | 28 Jan 2015 17:01 |
Last Modified: | 28 Jan 2015 17:01 |
URI: | http://repository.ub.ac.id/id/eprint/156280 |
Actions (login required)
View Item |