Mutiara, Farah (2013) Keunggulan Komparatif dan Dampak Kebijakan Subisidi Input Output terhadap Pengembangan Komoditas Kedelai (Glycine max) di Kabupaten Pasuruan (Studi Kasus di Desa Kalirejo, Kecamatan Sukorejo dan Desa. Magister thesis, Universitas Brawijaya.
Abstract
Pangan merupakan kebutuhan dasar utama bagi manusia yang harus dipenuhi setiap saat. Sebagai kebutuhan dasar dan hak asasi manusia, pangan mempunyai arti dan peran yang sangat penting bagi kehidupan suatu bangsa. Hal ini sesuai dengan visi pembangunan pertanian Indonesia adalah terwujudnya masyarakat yang sejahtera, khususnya petani melalui pembangunan sistem agribisnis yang berdaya saing, berkerakyatan, berkelanjutan dan desentralisasi. Kedelai adalah salah satu bahan pangan yang dikonsumsi masyarakat Indonesia karena kandungan gizi kedelai cukup tinggi dan relatif murah dibandingkan dengan protein hewani. Sebagai sumber protein nabati, kedelai umumnya dikonsumsi dalam bentuk produk olahan, yaitu: tahu, tempe, kecap, tauco, susu kedelai dan berbagai bentuk makanan ringan. Hal tersebut menjadikan kedelai sebagai salah satu komoditas penting di Indonesia. Meskipun kedelai bukan sebagai bahan pangan utama, tetapi kedelai merupakan komoditas palawija yang dimasukkan ke dalam kebijakan pangan nasional. Akan tetapi, Kementerian Pertanian Indonesia (2012) menilai daya saing kedelai Indonesia mulai melemah. Hal ini ditandai dengan produksi kedelai turun karena melemahnya daya saing kedelai dengan komoditas lain. Selain kalah bersaing di dalam negeri, daya saing internasional kedelai juga rendah. Beberapa kebijakan pemerintah untuk meningkatkan daya saing adalah dengan penerapan harga benih kedelai seharga Rp 14.000/kg dan kebijakan harga output kedelai kering sebesar Rp 7.000/kg di seluruh Indonesia. Berdasarkan hal tersebut, ada beberapa masalah yang perlu dianalisis yakni: 1) Apakah usahatani kedelai di Kabupaten Pasuruan memiliki daya saing dari keunggulan komparatif? 2) Bagaimana kebijakan pemerintah terhadap pengembangan komoditas kedelai? Berdasarkan permasalahan yang ada, diperoleh tujuan penelitian: 1) Mendeskripsikan dan menganalisis daya saing usahatani kedelai secara intensif dan konvensional dari perspektif keunggulan komparatif. 2) Menganalisis pengaruh kebijakan pemerintah terhadap pengembangan komoditas kedelai. Dari rumusan permasalahan dapat dibuat hipotesis yakni: 1) Diduga, usahatani kedelai di Kabupaten Pasuruan memiliki daya saing komparatif. 2) Diduga, dampak kebijakan komoditas kedelai baik harga input maupun harga output akan menjadikan pengembangan kedelai lebih baik. Pemilihan daerah penelitian dilakukan dengan secara purposive di Desa Kalirejo, Kecamatan Sukorejo dan Desa Oro-oro Ombo Kulon,Kecamatan Rembang, Kabupaten Pasuruan. Lokasi penelitian ditentukan berdasarkan pertimbangan bahwa Kecamatan Sukorejo dan Kecamatan Rembang merupakan salah satu daerah sentra produksi kedelai di Kabupaten Pasuruan. Metode pengambilan sampel untuk di Desa Kalirejo dilakukan dengan sensus. Sedangkan metode penelitian yang dilakukan di Desa Oro-oro Ombo Kulon ini secara proportionate stratified random sampling dengan menggunakan teknik Parell. Dari penelitian yang telah dilakukan, hasil penelitian menunjukkan bahwa berdasarkan keunggulan komparatif, nilai DRCR pada sistem intensif adalah 0,802 dan pada sistem konvensional adalah 0,908. Hal ini berarti bahwa untuk menghemat US$ 1,00 memerlukan US$ 0,802 dan US$ 0,908. Pada analisis kebijakan pemerintah (PAM) menunjukkan nilai NPCO adalah 1,102 dan 1,245 dimana pemerintah melakukan proteksi terhadap output sehingga harga aktualnya lebih tinggi dibandingkan dengan harga sosialnya. Sedangkan nilai NPCI pada sistem budidaya intensif adalah 1,034 dan 1,006 pada sistem budidaya konvensional maka pemerintah melakukan proteksi terhadap produksen input tradeable. Nilai PC pada sistem intensif adalah 1,777 dan pada sistem konvensional adalah 6,30. Hal ini menunjukkan bahwa intervensi pemerintah membuat petani mendapat keuntungan yang lebih besar dibandingkan dengan konsumen. Nilai EPC pada sistem intensif adalah 1,12 dan pada sistem konvensional adalah 1,30. Hal ini berarti bahwa efektivitas kebijakan pemerintha bersfiat protektif dan mendorong produksi kedelai domestik untuk dikembangkan ke arah perdagangan ekspor sehingga produsen domestik diuntungkan dan menyebabkan nilai harga domestik lebih tinggi. Nilai Input Transfer (IT) pada sistem intensif adalah Rp 68.538,30 dan pada sistem konvensional adalah Rp8.645,68 dimana nilai tersebut menunjukkan bahwa terdapat kebijakan pemerintah pada input tradeabel dan mengakibatkan harga input tradeable menjadi mahal. Pada nilai output transfer (OT) pada sistem intensif adalah Rp1.271.857,00 sedangkan pada sistem konvensional nilai OT adalah Rp1.815.354,74. OT yang diterima petani dengan sistem intensif lebih besar yang menununjukkan bahwa keuntungan kompetitif yang diperoleh petani dengan sistem intensif lebih besar dibandingkan keuntungan yang diperoleh konsumen.
English Abstract
Food is a basic need of human beings to be fulfilled at all times. As a basic needs and a human right, food has the important meaning and role to the life of a nation. This is in accordance with the vision of agricultural development to realization Indonesia a prosperous society, especially of farmers through agribusiness development, competitive agricultural system, sustainable and decentralized. Soy bean is one of the foodstuffs consumed Indonesia society because soy is high nutrient content and cheaper than animal protein. As a source of vegetable protein, soy is generally consumed in the form of processed products, namely: toffu, tempe, ketchup, taucho, soybean milk and of various snacks. It makes soy bean as one of important commodities in Indonesia. Although soybean not as main food, soybeans are commodity crops were include into the national food policy. However, the Ministry of Agriculture Indonesia (2012) said that the competitiveness of soy Indonesia began to weak that is characterized by the production of soybeans is decline because of the weakening competitiveness of soy with other commodities. In addition, in international competitiveness soybean is also low. Based on this, there are some issues that need to be analyzed: 1) Is farming soybeans in Pasuruan District have the competitiveness of comparative advantage? 2) How government policy towards the development of soybean commodity? Based on existing problems, we can get research objectives: 1) Describes and analyzes the competitiveness of farming in soy intensively and non intensively from comparative perspective. 2) Analyze the influence of Government policy relating to the input (NPCI) and output (NPCO) towards the development of soybean commodity. From the previous discussion, can be made hypothesis: 1) Presumption that farming the cultivation of soybeans in Pasuruan has a competitiveness comparative 2) Presumption, farming the cultivation of soy cultivation intensive system with more had comparative advantages in compare with non intensive systems. Research conducted in Kalirejo Village, Sukorejo Subdictrict; and Oro-oro Ombo Kulon Village, Rembang Subdistrict, Pasuruan Regency. Research location is determined based on that Sukorejo and Rembang Subdistrict are two production centre in the Pasuruan Regency. Methods of sampling for the village Kalirejo conducted with the census while the methods of research conducted in the village of Oro-oro Ombo Kulon is proportionate stratified random sampling using Parell Methods. From the research that have been done, the results show that based on comparative advantages, the intensive system was the DRCR 0,802 and non intensive systems is 0,908. This indicates that each system save $ 1.00 requires US $ 0,198 and US $ 0,092. Analysis of government policy by PAM method shows that the value of government of which 1,102 and 1,245. NPCO is doing the protection against output so that the actual price is higher than the social price. While the value of intensive system NPCI is 1,034 and 1,006 in non intensive system so the government does the protection against input tradable. The value of the PC on the system of intensive system and is 1,77 non intensive was 6,30. This shows that government intervention to make farmers benefit greater than the consumer. It means that effectiveness government policy protective and encourages domestic soybean production to be developed toward trade export so producer`s domestic benefited and cause value price domestic higher. The value Input Transfer (IT) on a intensive system is Rp 68.538,30 and on a system non intensive is Rp 8.645,68 where the values indicated that there are government policies on input tradable and resulting in input prices tradable be expensive. In Output Transfer (OT) on a intensive system is Rp 1.271.857,00 while in system non intensive value OT is Rp 1.815.354,74. OT received farmers with a intensive system of bigger than consumers.
Item Type: | Thesis (Magister) |
---|---|
Identification Number: | TES/338.173 34/MUT/k/041307542 |
Subjects: | 300 Social sciences > 338 Production > 338.1 Agriculture |
Divisions: | S2/S3 > Magister Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian |
Depositing User: | Endro Setyobudi |
Date Deposited: | 19 Dec 2013 10:55 |
Last Modified: | 19 Dec 2013 10:55 |
URI: | http://repository.ub.ac.id/id/eprint/155973 |
Actions (login required)
![]() |
View Item |